Jakarta Bukan Rumahku Lagi

9 1 0
                                    

"Bintang?"

"Iya? Ada apa?"

"Jakarta?"

"Iya, kenapa dengan Jakarta?"

"Bagaimana ya Jakarta? Suasananya? Kehidupan di sana? Orang-orangya? Dan..." Secara reflek pandanganku tertuju serius ke arah bintang.

"Dan dia?" Bintang pun membalas pandanganku dengan serius juga.

"Eh, enggak kok. Kita tidak sedang membicarakan dia." Aku bergegas mengubah arah tatapanku, menutupi tujuan pembicaraan ini.

"Kamu masih sama, gak bisa bohong..."

Kamu juga masih sama Bin, selalu tahu aku daripada diriku sendiri. Bintang gak pernah berubah, tetap menjadi si serba tahu. Sampai saat ini, aku selalu bersyukur punya sahabat seperti kamu, Bin. Dari jutaan penghuni bumi, kenapa harus ia yang selalu mau aku repotin dan buat susah ya? Mungkin jawabannya ada pada manusianya sendiri, bukan pada semesta. Aku pikir semesta hanya membuat keajaiban-keajaiban yang diperlukan pada waktu genting. Pun dengan kebetulan, semesta hanya membantu manusia untuk belajar banyak hal. Manusialah yang memilih pada siapa harus terhubung, maksudnya rela terhubung dan menerima segala bentuk konsekuensinya di akhir. Mau itu sedih atau bahagia.

"Sudah jelas, aku selalu tertebak olehmu Bin. Tidak ada yang bisa mengalahkan Bintang."

"Ada kok."

"Siapa? Oh, aku tahu. Pasti kecoa yang selalu kamu takuti itu ya? Hahahha, itu lucu sekali," Sindirku sambil tertawa licik.

"Kamu," Jawab Bintang datar.

Beberapa menit kami terdiam. Disela-sela suasana canggung ini, hanya jangriklah yang tampaknya bernyanyi dengan riang.

"Bintang?"

"Iya? Kamu masih mau tahu bagaimana keadaan Jakarta?"

"Bukan itu yang ingin kubicarakan,Bin."

"Lantas apa?" Dia mengernyitkan dahinya.

"Kamu baik Bin, hanya saja aku belum bisa baik padamu. Aku ternyata tidak baik. Aku sedang bersamamu, tapi aku malah menanyakan Jakarta kepadamu. Aku sungguh tidak baik Bin."

"Jangan bicara seperti itu. Kamu gak salah kok, hanya saja setiap perasaan gak bisa dipaksakan. Aku paham atas semua kesuliatanmu."

Bagaimana bisa hatiku tetap tertaut pada dia yang jauh di sana, sedangkan sekarang ada seorang pria yang selalu hadir di sampingku. Sampai sekarang, aku tidak paham bagaimana hati bekerja. Sungguh pelik.

Apa setiap perasaan begitu egois? Selalu saja memilih sakit daripada sembuh. Berkali-kali disakiti, tapi masih tetap saja bertahan. Bagaimana jika hanya aku yang ingin bertahan tapi dia tidak? Aku selalu merasa dekat, tapi sebenarnya dia sungguh jauh untuk kugapai. Bagaimana jika dia hanya jendela asing bagiku? Bukan benar-benar jendela untuk rumahku. Aku selalu menunggunya kembali, padahal pergi adalah kata mutlak yang dia berikan untukku terakhir kalinya. Sungguh ironis.

"Kamu tetap mau tahu bagaimana Jakarta?"

"Sebenarnya, iya..." Aku menunduk.

"Jadi begini, Jakarta akan jadi tempat yang paling ramai, walau kamu sedang sedih. Jakarta akan tetap jadi kota gemerlap, walau kamu menangis sekarang juga. Suasananya pun tetap sama, selalu jadi suasana kota besar penuh dengan gedung-gedung tinggi yang menjulang. Dia... iya, dia juga masih akan tetap sama. Dia adalah orang yang akan pergi walau sampai sekarang kamu masih mengharapkannya pulang." Jelas bintang

Akhirnya, air mataku pun tumpah. Sepertinya ini adalah air mata yang kubendung setahun penuh yang belum sempat kukeluarkan. Aku terus menunduk dan menangis tersedu-sedu. Dengan lembut, Bintang memeluk dan menepuk pelan punggungku. Dia berusaha menenangkanku.

"Aku selalu gak bisa melihatmu menangis."

Dengan mata sedu dan kondisi wajah yang tak karuan, aku berusaha tegar. "Maaf ya Bin. Aku sudah jadi manusia bodoh setahun ini."

"Gapapa, kamu gadis kuat Bin. Aku selalu percaya itu."

"Aku yakin, Jakarta bukan rumahku lagi. Sekarang, aku lebih yakin daripada sebelumnya."

Jendela itu sudah tak menampakkan lagi cahaya pagi yang indah. Jendela itu sudah berdebu, bukan waktunya untuk membersihkan kembali. Warnanya sudah mulai memudar. Jendela itu tidak cocok lagi jika diletakkan di rumahku. Begitu asing, aku hampir tidak mengenalinya. Bahkan memandangnya bisa melahirkan cerita sedih tak berkesudahan.

"Bintang?"

"Iya? Ada apa?"

"Jika semesta mempertemukanku dengan Jakarta, apa yang harus aku lakukan?"

"Dia bukan rumahmu lagi. Rumahmu di sini, sedang menunggumu."

***

Datang dan pergi, itulah sifat manusia. Menunggu bukanlah suatu hal yang menyenangkan, tidak buatku. Sampai tiba di suatu momen kalau menunggu, juga bukan suatu hal yang salah. Jika yang ditunggu memberi kepastian.

Hari ini merupakan hari kelulusan Bintang dari sekolahnya. Sesempat mungkin aku harus datang menghadiri acara itu. Aku tahu kalau ia sedang menungguku, selalu. Dari arah gedung pertemuan, ia menyapaku dengan senyum merekah. Sungguh di luar ekspetasi, kenapa ia lebih kelihatan bahagia melihatku dibanding melihat acara kelulusannya sendiri? Kami pun segera masuk ke gedung, mengambil langkah pertama menuju akhir bahagia dari seorang Bintang.

"Aku bingung Bin, kenapa kamu bisa senyaman ini di tengah keramaian?"

Bintang pun sedikit mendekatkan telingannya ke wajahku, sepertinya ini memang tempat yang berisik buat jiwa sepiku. "Apa? Kamu ngomong apa tadi?"

"Kenapa kamu bisa senyaman ini di tengah keramaian, Bin?" Dengan wajah yang super konyol aku menaikan volume suaraku dekat telinga Bintang.

Bintang membalas pertanyaanku dengan pertanyaan yang sama kembali. "Apa? Kamu ngomong apa tadi?"

"Ih, gak mau nanya lagi! Titik!!!"

"HAHAHAHAHA... Aku dengar kok, jangan marah dong. Nanti Kalau marah, kamu keliatan kaya bebek," Jelas Bintang dengan nada sedikit mengejek.

"Ih Bintanggggg!!!!" Aku tambah memanyunkan bibirku.

"Dengerin dulu, bebek itukan hewan yang aku suka dan juga lucu. Emangnya kamu gak mau jadi orang yang aku suka?"

Sekarang apa yang terjadi pada hatiku? Sedang tersenyum lebar, selebar-lebarnya. Bukan karena bebek, bukan. Mungkin sekarang aku bisa berpikir bahwa, hati yang terluka pada akhirnya bisa sembuh bukan karena waktu, tapi karna diri sendiri yang mau berusaha untuk sembuh. Setiap hati layak dibiarkan untuk sembuh, oleh alasan apapun.

Merajut kembali kain yang telah robek diperlukan usaha dan waktu yang cukup. Sepertinya waktuku belum cukup, belum secukup itu. Aku hanya ingin meraih mimpi bersama kumpulan bintang di langit. Bersama seorang yang cukup baik dalam hal menjaga hati untuk tidak retak kembali. Bunga-bunga yang berada di depan kami pun sepertinya setuju akan pendapat ini.

"Gapapa, gak usah dijawab sekarang. Berusahalah untuk jadi manusia paling bahagia dulu."

Aku memeluk bintang saat itu juga. "Kata siapa aku belum bahagia? Sekarang sudah bahagia, tapi sedang cari cara untuk buat bahagianya tambah awet."

"Pake formalin aja biar awet," Balas Bintang.

"Iya, ini sudah aku dapatkan formalinnya. Gak usah cari ke ujung bumi lagi." Perlahan kulepaskan pelukanku.

"Jadi, Jakarta milik siapa sekarang?"

"Bukan milik siapa-siapa lagi. Biarlah Jakarta menemukan pemiliknya yang baru, dia bukan untukku." Aku menyudahi percakapan ini dengan perayaan sedih paling bahagia.



Hai, terimakasih sudah membaca cerpenku

Semoga hari-harimu dipenuhi kebahagiaan

Untuk mendukungku tetap berkarya di Wattpad, kamu bisa like, comment, dan share  cerita ini.

Terimakasih banyak ^^



Jakarta Bukan Rumahku Lagi (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang