20 || Freedom

4.8K 1.2K 353
                                    

Semua orang ingin bebas. Dan kebebasan ingin semua orang memilihnya. Namun lagi-lagi—semesta tak semudah itu berpihak.

.

.

.

Saat Jeongin masih berusia lima tahun, laju otaknya telah berkembang—dimana ia bisa membedakan antara sesuatu yang ingin ia lakukan dengan sesuatu yang harus ia lakukan. Jeongin tak langsung mengerti, tapi seiring berjalannya waktu—Jeongin pikir manusia sepertinya hanyalah bidak catur. Pergerakannya tergantung dengan apa yang masyarakat pandang sebagai sesuatu yang baik.

Menurut keluarga Jeongin, yang dinamakan hidup itu adalah kekuasaan. Apapun asas yang terkandung dalam bumi ini akan tunduk pada kekuasaan. Dan Jeongin, adalah satu dari sekian banyak bidak yang mau tak mau bergerak sesuai kuasa ayahnya. Apakah ia akan melangkah pada petakan putih maupun hitam, tergantung keinginan si pemain catur. Karena pada masa itu, Jeongin tak punya kuasa dan hanya bisa menerima.

Baru kali ini, Jeongin keluar dari papan catur. Menyusun pion-pion kehidupannya sendiri sesuai dengan apa yang ia mau. Melangkah sejauh yang ia inginkan, dan menempelkan label baru di tubuhnya mengenai kebebasan.

"Jeongin, bantu aku!" Teriak Chan yang kepayahan menahan salah satu jiwa berisi roh hitam yang menyerangnya.

Mereka sudah separuh jalan menuju kawasan Bukchon Hanok. Setidaknya dalam perjalanan mereka harus bertarung sesekali karena banyaknya manusia yang dirasuki sudah melebihi manusia yang masih sadar.

"Okay!" Jeongin berlari kearah Chan dan meniupkan angin sampai manusia bermata hitam itu terpelanting agak jauh. Senyumnya merekah kemudian.

Jeongin senang karena dia sudah bebas melakukan apapun yang ia mau di luar pengawasan orangtuanya.

Han dan Hyunjin yang juga sedang sibuk mengeluarkan tenaga mereka untuk menghambat serangan pun menoleh heran. Hyunjin bahkan menyenggol lengan Han kemudian. "Apa kau pernah lihat seseorang berkelahi sebahagia itu?"

Han hanya menggeleng sambil masih menatap betapa semangatnya Jeongin yang meniupkan angin-anginnya dengan wajah berseri-seri. Hyunjin geleng-geleng kepala—seumur hidupnya, ia tak pernah merasa bersyukur karena harus bergerak. Maka, posisinya yang harus terus berlari dan bertarung saat ini menurutnya adalah hal paling merepotkan.

Pagar beton sudah tampak tak jauh dari kesembilannya berpijak. Minho dan Changbin menyusul paling terakhir. Minho bilang, Changbin habis buang air. Meskipun itu tidak terlalu penting untuk di-informasikan kepada yang lain. Kedua kakak Minho masih setia mengekor meskipun tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati, mereka takjub akan kesembilan manusia ajaib tersebut. Hal tidak logis perlahan menjadi sedikit masuk akal.

"Kita berpencar saja bagaimana?" Tanya Chan. Ntah mengapa semuanya satu pikiran. Akan lebih mudah jika mereka tak berkomplotan satu arah.

 Akan lebih mudah jika mereka tak berkomplotan satu arah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
stray society ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang