21. Hope

7.3K 1.8K 680
                                    

Raut muka Papa kelihatan kacau. Capek. Dan khawatir secara bersamaan. Gua merasa bersalah jadinya. Pasti selama ini Papa nggak pernah tidur dengan tenang atau bahkan sekedar bernafas dengan tenang di setiap detiknya karena punya anak dengan penyakit seperti gua.

Kenapa orang sebaik Papa harus dikasih cobaan seperti ini sama Tuhan? Apa Tuhan suka melihat umatnya yang taat menderita? Atau, ujian ini memang diberikan benar-benar untuk menguji seberapa kuat dan ikhlas manusia?

Tanpa gengsi seperti kebanyakan temen-temen gua, sebelum pergi mandi, gua nyamperin Papa ke kamarnya untuk minta maaf dan bilang kalau selamanya, laki-laki nomor satu di hidup gua cuman Papa. Gua ngga tau kenapa hal itu katanya memalukan bagi teman-teman gua. Tapi menurut gua, hal seperti itu sangat wajar dan memang perlu di ucapkan. Sebagai anak yang belum bisa bales jasa orang tua, sering minta maaf ketika salah dan mengungkapkan seberapa besar kita sayang sama orang tua kita menurut gua adalah salah satu hal benar dan mudah untuk dilakukan.

Begitu membuka pintu kamarnya, yang gua lihat adalah pemandangan Papa lagi berbaring di ranjangnya. Masih dengan pakaian kerjanya dan tatapan kosong menatap langit-langit. Tapi setelah menyadari gua datang, Papa duduk dengan benar.

"Kok belum mandi juga? Udah malem ini. Mandi dulu, jangan jorok! Anak gadis kok males mandi."

"Maaf ya, Pa."

"Udah, Papa ngerti kok itu bukannya sengaja."

Gua duduk di sebelah Papa. Meletakkan handuk dan baju ganti di pangkuan, gua meluk Papa dari samping.

"Maaf kalau dari lahir Anya nyusahin Papa. Maaf karena lahir cacat. Maaf kalau Anya selalu sakit dan bikin Papa khawatir setiap detik. Papa jangan terlalu sayang dan khawatir sama aku. Aku takut aku merasa bersalah suatu hari nanti karena belum bisa balas merawat Papa pas Papa tua."

Papa nggak langsung jawab. Beliau mengelus bagian belakang kepala gua sambil memeluk punggung gua erat. Seolah, beliau nggak mau gua lepas dan hilang dari dekapannya.

Setelah beberapa saat, Papa belum juga menjawab. Gua enggan melihat ke atas karena tau kalau Papa pasti diam-diam nahan nangis. Hal itu cukup menyakitkan buat gua lihat.

Gua yang juga nangis ini hanya bisa menatap lurus ke depan. Melihat foto cantik Mama yang tersenyum ceria seolah semuanya baik-baik saja yang terpajang di pigura putih di nakas sebelah ranjang Papa.

Mama, Mama di atas lihat kita juga kan sekarang? Kalau iya, Mama jangan ikutan nangis ya! Ini khusus Anya sama Papa yang boleh.

🌟


Tok tok tok ...

Pintu kamar gua diketuk. Tanpa beranjak dari kursi belajar, gua berteriak. Mengujinkan siapapun yang di luar untuk masuk. Ternyata itu Mba Anna. Datang membawa nampan berisi mangkuk kaca yang kelihatan kalau isinya sup daging, segelas air putih dan beberapa tabung kecil berukuran 10cm. Itu obat-obatan yang harus gua konsumsi. Jumlahnya sekitar dua belas pil.

"Nggak istirahat aja?" Tanya Mba Anna. Beliau menarik kursi dan duduk di sebelah gua.

"Belajar kan sama aja sama istirahat. Duduk juga Anyanya. Nggak sambil lari-lari." Jawab gua.

"Mau makan sendiri apa disuapin?"

"DISUAPIN. AAK." Gua membuka mulut lebar-lebar. Mba Anna senyum kecil kemudian memberikan gua sesendok suapan besar.

Dari umur berapa ya gua disuapin Mba Anna? Gua ngga begitu ingat kapan pertama kali, yang jelas, waktu itu gua pasti masih kecil banget.

"Mba Anna, suatu hari mau punya anak yang kayak gimana?"

When I Hate You | Jaemin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang