26. Heart heart

6.7K 1.7K 828
                                    

Gua nggak pernah takut sama yang namanya kesepian.

Dari kecil gua udah terbiasa sendiri.

Dari pagi sampai pagi lagi.

Yang ada di samping gua palingan cuman Papa dan Mba Anna. Rumah nenek dan tante yang lainnya lumayan jauh, jadinya kami nggak selalu bisa ketemu kecuali di perayaan hari-hari besar seperti hari raya atau kalau ada saudara yang menikah, atau meninggal.

Masa kecil gua habis di rumah sakit karena gua rapuh banget waktu itu. Gua nggak bisa melewatkan tidur siang, gua nggak bisa kehujanan sedikit, gua nggak bisa main kemana-mana karena papa takut ada anak lain yang nakal dan bikin gua sakit.

Waktu kecil, sepanjang hari menghabiskan waktu di rumah sakit, gua cuman bisa mewarnai. Papa beli banyak buku mewarnai dan krayon yang warnanya lengkap. Ada warna emas, silver dan bahkan magenta. Kotak tempat pewarnanya besar banget. Mungkin sekitar se laptop besarnya? Awalnya gua seneng dan berpikir kalau mewarnai sepanjang hari cukup menyenangkan. Ternyata, itu bosen juga. Gua jadi nggak suka mewarnai lagi dan mematahkan semua crayon yang gua punya karena gua marah. Gua benci mewarnai.

Hari itu, hari dimana gua marah, Papa ngajak gua ke makam mama. Mungkin waktu itu niatnya untuk memberi gua pengertian kalau Papa cukup sibuk untuk selalu ngajak gua main. Beliau bilang, "Natasha, Papa harus kerja supaya Natasha cepat sembuh. Mama udah meninggal, kalau Natasha marah terus, Papa sedih. Papa harus urus Natasha sendiri. Papa harus cari uang juga. Natasha nggak mau kan di rumah sakit terus?"

Gua merasa bersalah. Gua nggak berani marah lagi karena takut Papa sedih. Sejak hari itu, gua jadi anak yang baik dengan cara nurut setiap disuruh makan dan minum obat.

Di umur delapan tahun, gua udah mulai kuat. Gua jarang masuk rumah sakit walau harus terus mengkonsumsi obat. Tapi Papa masih tetap melarang gua main keluar. Main sama tetangga dekat rumah yang kebetulan ada beberapa yang seumuran sama gua.

Gua dengan batunya tetap pergi keluar pas Papa berangkat kerja. Awalnya gua seneng. Tapi begitu kumpul sama temen-temen itu dan berusaha mengakrabkan diri supaya bisa main bareng. Mereka malah nyuruh gua pulang. Dengan polosnya, gua tanya. "Kenapa nggak boleh ikut main?"

"Kata Mama kita kamu sakit? Kamu pulang aja deh, nanti kita ketularan."

"Tapi sakitku kan nggak menular?"

Tanpa menjawab, mereka pergi berpindah tempat tanpa ngajak gua. Gua mau nangis rasanya. Apa iya, penyakit gua menular?

Seorang anak laki-laki yang kayaknya berusia satu atau dua tahun di atas gua ngasih gua cokelat. Dia tiba-tiba datang aja tanpa gua tau dari mana. Gua nggak ingat betul wajahnya kayak gimana. Yang jelas, hari itu dia pakai topi warna biru dan senyum kelihatan gigi sambil nyodorin cokelat.

"Mau?"

"Mau tapi sungkan karena kamu orang asing."

Cowok itu ketawa. "Yaudah aku taro di deket kamu terus kamu ambil ya pas aku udah pergi."

"Iya kalo gitu aku nggak akan sungkan. Makasih ya."

"Sama-sama."

"Namamu siapa?"

"JㅡAku pergi dulu ya, Mamaku udah siap. Aku mau pindah rumah gitu karena rumah ini dijual. Kamu jangan nangis lagi ya. Kalo nggak ditemenin yaudah jangan sedih. Berarti mereka bukan temen yang baik. Kapan-kapan kita ketemu lagi. Okay?"

Beberapa waktu kemudian, mobil sedan hitam lewat di hadapan gua. Cowok itu melambaikan tangannya melalui jendela mobilnya yang bahkan nggak dibuka.

Kalau di umur gua yang sekarang gua ingat-ingat lagi, dia apa kabar ya? Dia kelas 11 atau kelas 12 kira-kira?

Gua senyum sambil membuka kotak pensil di hadapan gua untuk mengeluarkan pensil dan penghapus untuk mencoret hitungan di kertas buram.

When I Hate You | Jaemin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang