Prolog

183 3 0
                                    

Kakiku serasa sangat lemas. Aku lelah setelah berjam – jam berdiri menjaga toko bunga dimana aku bekerja paruh waktu untuk mengisi waktu kosongku di negara ini. Aku tetap berjalan menuju rumah walau rasanya aku ingin berbaring sekarang juga.

“Aku sudah pulang” ujarku walau hanya seperti bergumam ketika baru saja melangkah memasuki pintu rumah.

Tidak ada orang? Batinku.

Aku tetap melangkah masuk ke rumah dan menyalakan lampu ruang keluarga. “Mama?”  Ujarku sambil membuka pintu kamar orang tuaku dan melihatnya kedalam. Aku tetap tidak menemukannya.

“Papa?” Aku juga tidak menemukan papa diruang kerjanya. Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul segini papa sehaurusnya sudah pulang. Tapi kenapa ia tidak ada dirumah? Pada kemana semua orang? Pikirku

Aku kembali melangkah menuju dapur, hanya untuk mengambil minum dan berniat membawanya ke kamar. Sudah terlalu biasa aku sendiri di rumah karena papa dan mama akan pergi atau berbelanja hanya bersama Ara, adikku. Dan meninggalkanku sendiri.

Aku terpaut umur yang cukup jauh dengan adikku. Walau sempat aku tidak terima jika memiliki adik, tetapi setelah aku pikirkan alasanku tidak jelas menagapa aku tidak menerimanya. Aku berpikir kehadirannya akan membuat rasa sayang kepadaku berangsur – angsur hilang. Aku yang sudah merasakan menjadi anak tunggal selama 17 tahun pasti akan terasa terusik akan kehadirannya.

8 tahun berlalu, dan 8 tahun itu aku selalu menganggap adikku tidak pernah ada. Aku tidak pernah menjaganya, aku tidak pernah merawatnya, dan aku selalu berusaha menjauh dari dirinya. Aku hanya menanggapnya dia seseorang yang tidak akan lama dihidupku jadi aku hanya perlu bersabar.

Tetapi 8 tahun itu aku terus berpikir. Bukankah aku terlalu egois? Terlalu memikirkan diriku sendiri? Terlalu berharap bahwa ini tidak nyata, walau aku sudah tahu ini nyata.

Sejak saat itu, sejak 8 tahun aku menganggapnya tidak ada. Aku mulai menganggapnya ada. Aku mulai merubah sikap dinginku kepadanya. Walau hanya dimulai dengan senyuman. Aku tetap tidak banyak berbicara. Hanya berbicara yang perlu bagiku.

Tetapi aku baru sadar untuk kedua kalinya. Dia tetap tersenyum. Dia tetap bahagia. Dan dia tetap menanggap aku sebagai kakaknya, tanpa ada rasa benci yang terlihat dimatanya. Dia tetap hormat kepadaku sebagai kakaknya walaupun aku sudah membentaknya berulang kali. Walau aku sudah membuatnya menangis di malam hari dengan alasan aku selalu membuatnya merasa tidak berarti dikehidupanku.

Maaf Moca, mama, papa dan adikmu harus pergi untuk membeli keperluan Ara. Kalau kau lapar sudah ada makanan di lemari tinggal dipanaskan. Kalau kau sudah mengantuk dan ingin segera tidur. Tidur duluan saja, mama membawa kunci kok. Sekali lagi maaf. –Mama. Aku membaca memo yang ada di atas meja makan dalam hati.

Benar yang ada dipikiranku mereka pergi. Aku membawa gelas yang sudah berisi air kedalam kamar dan meletakkannya di atas meja belajar.

Aku menghempaskan tubuhku diatas kasur sambil menghembuskan napas panjang. Tanganku merentang berusaha sebebas mungkin. Tetapi ujung jariku menyentuh sesuatu di atas kasur.

Aku bangkit dan mengambil yang ternyata adalah sebuah amplop. Ini apa? Pikirku.

Tanganku berusaha menyalakan lampu kamar. Memang saat aku masuk ke dalam kamar aku tetap membiarkan lampunya mati. Seketika tubuhku membeku melihat kertas yang sudah aku keluarkan dari amplop. Mataku membulat dengan sempurna. Rasanya tubuhku ingin meloncat, berlari, tetapi rasanya aku juga ingin menangis. Menangis bahagia.

“Kakak suka?”

Aku melihat kesumber suara yang ternyata berasal dari adikku yang sedang berdiri di ambang pintu. Aku hanya tersenyum.

“Kita akan berangkat besok sayang” Ucap mama yang berdiri di belakang Ara, Adikku.

“Kenapa mama tidak bilang dari awal kalau kita akan kembali ke tanah kelahiranku?” Tanyaku kepada mama.

“Kado ulang tahun” Jawab papa yang semakin membuat bibirku tersenyum semakin lebar.

16 November. Umurku bertambah. Dan ini kado terbaik yang pernah aku dapatkan. Aku sudah rindu dengan tanah keliharanku. Mungkin sangat – sangat rindu. Sudah 11 tahun aku disini dan belum pernah balik ke tanah kelahiranku. Tempat yang sangat mengandung berjuta kenangan.

“Selamat ulang tahun” Adikku memelukku secara tiba – tiba. “Kakak” Lanjutnya. Ini yang membuatku semakin berpikir akan ulahku dahulu kepadanya. Ini yang membuatku semakin berusaha menyayanginya bagaimana pun caranya, karena dia selalu menanggapku ada walau aku pernah menganggapnya tidak ada.

Tanganku tergerak untuk mengelus rambut adikku yang baru berumur 8 tahun ini.

- - - - - -

Hari esoknya tiba. Aku bersama mama, papa dan adikku sudah tiba di bandara. Aku akan kembali meninggalkan bandara walau ini bandara yang berbeda dan dengan perasaan yang berbeda.

Kalau dulu aku meninggalkan bandara dengan perasaan tidak rela sekarang aku meninggalkan bandara dengan perasaan yang sangat rela. Kalau dulu aku meninggalkan bandara dengan langkah yang berat sekarang aku melangkah meninggalkan bandara dan menaiki pesawat dengan langkah yang sangat ringan.

Dan disinilah aku sekarang setelah menempuh perjalan berjam – jam. Aku menghirup udara dari tanah kelahiranku, tetap sama. Sejuk, sedikit lembab tetapi tidak sedingin disana.

Halo tanah kelahiranku! Bagaimana keadaanmu sekarang? Tanyaku di dalam batinku.

Oh iya, bagaimana juga keadaan dirimu? Apakah kau merindukanku? Apakah kau sudah merasakan bahagia? Tanyaku kembali di dalam batinku sambil tersenyum ketika membayangkannya tiba – tiba dia melihatku sudah berada di depannya.

Hanya KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang