Asing

91 8 1
                                    

Waktu mengubah segalanya. Termasuk kamu. Tapi mengapa waktu tak mengubah amarahmu padaku?

♥️♥️♥️

"Aku nggak mungkinkan minta tante untuk cari sekolah lain, Han?" Ucap seorang gadis dengan pandangan sayu. Dia cukup tahu diri untuk tidak merepotkan keluarga tantenya lebih jauh lagi. Sudah cukup selama ini dia memberi beban bagi mereka. 

"Aku yang bakal bilang sama mama dan papaku. Mereka pasti setuju, Sha." Jihan kekeh pada pendiriannya agar mereka pindah dari sekolah yang baru 3 hari ini mereka masuki.

Shanum menggeleng tegas. Segala kenyataan yang terjadi harus dihadapi.  Ini sudah takdir jika mereka dipertemukan kembali saat ini. Bagaimana Shanum mengelak? Nasi sudah menjadi bubur, tinggal bagaimana dia membuat bubur itu menjadi yang spesial. Karena tak selama juga dia dapat menghindar.

"Udah terlalu lama untuk membenci, Han. Aku nggak apa-apa kok, kalau kamu memang khawatir. Toh aku nggak pernah marah sama dia." Shanum menggenggam tangan sepupunya yang duduk berhadapan dengannya di kelas.

"Tapi nggak menutup kemungkinan dengan adanya Reynan, maka luka lama kamu bakal timbul kepermukaan."

Reynan. Nama yang dulu menghiasi cerita Shanum masa SMP. Seseorang yang selalu bersamanya dengan dalih seorang sahabat sekaligus kakak baginya. Karena sebuah kesalahpahaman, mereka harus berpisah. Tanpa kata pamit ataupun salam perpisahan yang lain. Dan dihari itu juga shanum harus kehilangan kebahagiaannya bertubi-tubi.

Di sinilah akhirnya mereka dipertemukan kembali. SMA Karya Bakti. Tentu saja dengan pandangan yang berbeda. Shanum dengan tatapan sayunya, sedangkan Rey dengan tatapan angkuh tak tersentuh. Shanum cukup terkejut saat pertama kali bertemu Rey di sekolah yang baru saja menjadi tempat pindahnya. Ya, dia dan sepupunya harus pindah sekolah karena Tante Fatiman dan Om Abrarnya dipindah tugaskan.

Rey yang saat ini menjadi seniornya di sekolah, lelaki yang menghukum Shanum dan Jihan pagi ini karena telat masuk ke sekolah. Begitulah, mereka terlambat karena lama menunggu angkutan umum, ditambah lagi dengan jalanan macet yang tak bisa mereka hindari.

"Siapa nama kamu?" Bentak seorang senior perempuan dengan tegas pada Shanum.

"Saya Shanum, Kak." Jawabnya dengan kepala menunduk.

Reynan yang berdiri tak jauh dari mereka, menoleh kearah gadis yang tengah dintrogasi oleh Kiara, teman OSISnya. Penasaran dengan suara yang bahkan sudah lama tak dia dengar. Rey mendekat kearah Kiara yang tengah membentak gadis bernama shanum itu.

"Apa alasannya?" Tanya Rey yang membuat Kiara menoleh padanya.

"Jalanan macet katanya. Kayak nggak bisa berangkat lebih pagi aja. Pemalas." Shanum tertegun sesaat mendengar suara lelaki yang berada di samping Kiara. Suara yang begitu dia kenali sejak dulu. Perlahan dia mendongak, menatap pada Rey yang ternyata memandangnya juga. Mereka sama sama terkejut, terdiam sesaat lalu Rey membuang muka dari Shanum.

"Lari 10 putaran." Ucap Rey tanpa menatap ke arah Shanum yang terpaku menatapnya.

Tak jauh dari mereka berdiri, Jihan yang menatap sosok tak asing di hadapan sepupunya melotot tak percaya. Apalagi saat mendengar lelaki itu menghukum Shanum dengan berlari 10 putaran. Gila! Hanya telat 3 menit dihukum seberat itu? Dasar tak punya hati. Dumel Jihan dalam hati.

Jihan dengan tidak sopan melangkah meninggalkan senior yang tengah menanyainya dan menghampiri sepupunya dengan dua senior yang menatap tajam Shanum.

"Lo gila? 10 putaran untuk terlambat 3 menit? Siapa lo seenaknya kasih dia hukuman begitu?" Bentak Jihan saat baru saja sampai di dekat ketiga orang itu. Shanum cukup terkejut dengan suara sepupunya yang tak bisa dibilang pelan. Apalagi ini dengan seorang senior. Mereka bahkan menjadi bahan tontonan pagi ini.

"Lo yang siapa berani bentak-bentak kami?" Sarkas Kiara dengan jari telunjuk mengarah wajah Jihan. Namun tak sama sekali membuat gentar gadis itu.

"Gue murid baru! Dan apa karena kalian seorang senior lantas bisa menghukum sepupu gue seenaknya!" Jihan tak kalah emosi dengan Kiara. Dia berani menatap tajam senior, bisa gawat ini, pikir Shanum.

"Aku nggak apa-apa, Han." Shanum sedikit berbisik, mengusap lengan sepupunya agar sepupunya itu tak melanjutkan perdebatan ini.

"Tapi mereka nggak waras, Sha. Sepuluh putaran kamu pikir! Gimana kondisi kamu setelahnya?" Desis Jihan yang membuat Shanum meringis ngilu mendengarnya. Dia bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah itu pada dirinya. Tapi tak ada pilihan lain, ini resiko sekaligus hukuman atas ketidakdisiplinannya. Dia harus menanggung akibatnya, bukan?

"Kenalin gue Reynan, Ketua OSIS di sekolah ini. Jadi, cukup perdebatannya dan laksanain hukuman kalian. Kamu lari 10 putaran," Rey menunjuk Shanum, " dan kamu bersihin toilet wanita." Tegas Rey kemudian pergi begitu saja.

Kini keduanya hanya bisa pasrah menjalani hukuman. Shanum memberikan seulas senyum pada sepupunya, meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja. Semoga...

1 putaran,

2 putaran,

Saat putaran kelima, Shanum merasakan kaki kanannya ngilu dibagian tertentu. Dia berhenti sejenak untuk memijat kakinya dan sedikit mengatur laju napasnya. Tapi Kiara berteriak memerintahkan dia untuk kembali berlari.

Shanum berlari, terus mengitari lapangan tanpa berhenti. Putaran kedelapan, putaran kesembilan, dia merasa kaki kanannya ngilu, bahkan sakit untuk kali ini. Dan rasa sakit itu semakin menjadi hingga pertengahan putaran kesepuluh. Shanum tetap melanjutkan, meski merasa tulang kakinya akan patah. Selesai. Shanum berdiri dekat tiang bendera. Kakinya Sakit, kebas, bahkan mati rasa setelahnya. Shanum berusaha berpegangan pada tiang bendera. Namun, belum sempat tangannya menggapai, dia lebih dulu jatuh terduduk di pinggir lapangan. Shanum mendesis lirih menahan sakit. Memegang kakinya, dan memejamkan mata menahan rasa sakit yang tak terkira.

"Kamu terluka?" Suara lembut perempuan yang baru saja tiba dihadapannya memaksa Shanum membuka matanya. Dilihatnya seorang perempuan berjongkok di depannya.

"Kakiku..."erang Shanum tertahan karena rasa sakit itu tidak kunjung hilang.

"Ayo Ke UKS, aku bantu." Shanum mengangguk dan membiarkan perempuan itu memapahnya keluar lapangan. Tepat di depannya Shanum.melihat seorang lelaki berperawakan tinggi memandang kearahnya. Bukan, bukan pandangan kasihan atau khawatir yang dia tangkap, tapi sorot mata tajam dan angkuh yang setia melekat untuk memandangnya.

Shanum tersenyum kecut sambil melanjutkan berjalan. Semua telah berubah. Bahkan iris yang dulu menatap penuh kasih dari sosok yang perhatian, kini berubah menjadi sorot mata tajam dan dingin yang siap membekukan dirinya. Shanum bisa apa jika memang takdir berkata mereka harus seasing ini? Biar sang waktu yang berbicara dan takdir bertindak atas mereka. Shanum hanya manusia biasa.

♥️♥️♥️

Assalamualaikum🙏
Hai sahabat orange. Selamat datang diceritaku ya. Kisah sederhana dari para tokoh yang sederhana pula. Tentunya dengan aku yang masih belajar menyusun kata dan menulis cerita🙂

Semoga kisah ini bisa memberi pelajaran baik untuk kita semua, dan menemani waktu luang kalian ditengah pandemi saat ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya, bisa tekan bintang ataupun komen dicerita ini🤗🤗 percayalah kritik dan saran kalian mengobarkan semangatku, Sahabat♥️♥️

ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang