Happy reading🤗🤗
♥️♥️♥️
"Kamu boleh aja suka sama seseorang, tapi akal kamu juga dipakai dong, Sha!" Jihan menatap tajam Shanum yang masih diam tak berkutik di depannya. Sementara Fatimah berdiri mengusap lengan putri satu-satunya yang penuh amarah itu.
"Ji...udah." Ujar Fatimah sama sekali tak menyurutkan amukan Jihan.
"Kamu mikir dong, siapa yang udah buat kamu celaka begini."
"Han, maaf." Lirih Shanum merasa bersalah.
Jihan masih tak habis pikir dengan sepupunya yang dengan mudah kembali dekat dengan Reynan. Orang yang ia pandang sebagai penyebab kehancuran sepupu semata wayangnya itu.
Sore tadi, Jihan dan mamanya menunggu Shanum yang tak kunjung pulang. Padahal jam sekolah jelas sudah selesai sejak lama. Mereka menunggu di teras rumah, sesekali Jihan maupun Fatimah berdiri di depan gerbang dengan perasaan cemas menanti gadis berlesung pipi itu. Lama mereka menunggu hingga sang surya akan menyembunyikan diri dan berganti dengan rembulan yang melengkapi kegelapan.
Tak berselang lama, saat Jihan dan Fatimah akan kembali ke teras rumah, suara deru motor yang berhenti di depan gerbang rumah membuat mereka membalikkan badan dan menatap siapa yang datang. Shanum lah di sana turun dari motor Rey yang mengenakan jaket hitamnya. Tatapan cemas mereka sirna, berganti kelegaan karena gadis yang mereka khawatirkan itu baik-baik saja.
Fatimah segera mendekati Shanum. Namun, berbeda dengan Jihan yang memandang cuek Shanum dan Rey, lalu melenggang masuk ke dalam rumah begitu saja tanpa sepatah katapun.
Shanum dan Rey mengernyit bingung atas sambutan Jihan yang begitu dingin menurut mereka. Tanpa banyak bertanya Shanum dan Rey menyalimi Fatimah dan mengucapkan maaf atas keterlambatan Shanum pulang. Kemudian lelaki itu pamit pulang. Dan saat masuk ke dalam rumah, Shanum dan Fatimah disambut dengan sosok Jihan yang marah dengan Shanum, bahkan tatapan gadis itu membuat Shanum meringis.
"Kamu tau, aku sama mama berdiri berjam-jam nunggu kamu di depan, Sha. Berjam-jam! Tapi ternyata diluar sana kamu bernostalgia sama Rey. Kamu pikir, kami nggak khawatirin kamu?"
"Jihan, aku minta maaf," Shanum bergerak mendekat pada Jihan dan menggenggam tangan sepupunya.
"Aku sadar aku buat kalian khawatir, aku minta maaf. Hp aku lowbat, jadi nggak bisa hubungin kalian, maaf." Shanum tertunduk menyesal.
"Apapun alasan kamu, Sha, tapi kamu dengan mudahnya nerima dia lagi. Kamu tau, aku yang menjadi saksi penderitaan kamu karena laki-laki itu! Kamu sadar nggak, semua gara-gara Rey, Sha, Rey yang buat kamu begini!" Muka Jihan memerah, Shanum tau gadis itu pasti akan menangis setelah ini. Shanum tidak marah dengan bentakan Jihan, karena baginya itu bentuk kasih sayang Jihan padanya.
Setelah itu Jihan melepaskan genggaman tangan Shanum dan berbalik badan berjalan menuju kamarnya.
"Sekarang terserah kamu, Sha." Ujar Jihan sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras. Shanum memejamkan mata sejenak sebelum menatap penuh rasa bersalah pada Fatimah.
"Tante, Sha minta maaf ya. Maaf udah buat tante khawatir." Fatimah mengusap kepala Shanum dengan sayang, lalu memeluk tubuh Shanum.
"Nggak apa-apa, Sha." Ujar Fatimah menenangkan.
"Jihan marah sama Sha, tante." Shanum meneteskan airmata bersalahnya.
"Sha kayak nggak tau Jihan aja. Nanti juga dia baik sendiri kok. Tadi, Jihan cuma terlalu khawatir sama Sha. Jihan kan sayang banget sama Sha." Fatimah mengusap kepada Shanum lalu mengecup kening keponakannya itu.
Setelah itu, Shanum diminta untuk masuk ke kamar untuk membersihkan diri sebelum makan malam.
♥️♥️♥️
Shanum menghampiri Jihan yang sedang duduk di kursi depan meja belajar. Shanum duduk dikursi sebelah gadis yang masih bertahan untuk mendiamkannya. Bahkan saat makan malam tadipun gadis itu sama sekali tidak bersuara. Jadi, Shanum berniat meminta maaf lagi pada Jihan.
"Han," Panggil Shanum yang hanya dibalas gumaman gadis depannya.
"Aku minta maaf, ya? Aku memang salah." Ungkapnya yang masih dibalas kebungkaman Jihan.
"Tadi, aku pergi sama Kak Rey untuk ngejelasin ke dia tentang kesalahpahaman kami dulu. Han, aku nggak mau dia terus salah paham sama aku dan membuat kita semakin asing. Aku udah ikhlasin semua yang terjadi dulu dan saat ini. Semua diluar kuasa kami yang hanya manusia biasa. Aku mau nggak ada dendam dan amarah lagi, Han."
"Kak Rey nggak sepenuhnya bersalah, kan? Semua yang terjadi dalam hidup kita itu adalah takdir-Nya. Jadi kita harus ikhlas nerima semua itu." Jihan menatap sepupunya yang tersenyum menatapnya.
"Sama seperti yang kamu inginkan untuk kebaikan aku, mau aku bisa berjalan normal dan nggak dicemooh orang lagi. Aku jauh sangat menginginkan hal itu juga, Han." Jihan segera memeluk sepupunya yang matanya mulai berkaca-kaca. Amarahnya luruh saat itu. Sebernarnya gadis itu tidak benar-benar marah, dia hanya begitu khawatir pada Shanum tadi dan begitulah akhirnya.
"Maaf ya, han. Maaf selalu menyusahkan kamu, tante dan om. Maaf udah buat kamu khawatir. Maaf." Shanum memohon sambil memeluk erat Jihan.
"Aku yang minta maaf udah bentak-bentak kamu. Maaf ya? Aku khawatir banget tadi dan merasa bersalah udah pulang duluan tadi." Jihan terisak memeluk Shanum. Sudah Shanum bilang bukan, bahwa Jihan adalah gadis yang mudah menangis di depan keluarganya.
Shanum melepas pelukan itu, lalu menghapus air mata Jihan.
"Aku bersyukur sama Allah, meski Dia mengambil orang tuaku, tapi Allah masih menitipkan aku pada keluarga yang sangat menyayangi aku. Kamu, tante dan om adalah kebahagian aku saat ini dan selamanya. Terima kasih kamu udah mau berbagi kasih sayang orang tua kamu ke aku, Han." Jihan mengangguk.
"Orang tua aku juga orang tua kamu, Sha. Sama-sama kesayangan kita, Kan?" Shanum tersenyum tulus begitupun dengan Jihan yang wajahnya memerah akibat menangis.
"Cuma kalian yang aku punya, Han. Maafin kesalahan aku ya. Aku sayang kamu sepupu cengengku." Jihan segera menghambur memeluk Shanum erat. Fatimah yang menyaksikan dua gadis itu sampai meneteskan air mata bahagia atas luapan kasih sayang dua princess kesayangannya.
"Terima kasih atas kasih sayang kamu, Han." Keduanya tersenyum bahagia dibawah rembulan yang bersinar terang malam ini.
♥️♥️♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
Shanum
SpiritualAku percaya takdir-nya yang terbaik, karena tak ada satu daunpun yang gugur tanpa sebab, begitupun dengan kita. Tak ada satupun peristiwa yang terjadi tanpa alasan dan hikmah di dalamnya. Dia yang memisahkan, maka Dia juga yang akan mempertemukan...