Harusnya aku gak bodoh ninggalin kamu.
Harusnya aku tau, kamu satu - satunya alasanku bertahan hidup.;
"Abina?"
Asahi mengerjapkan mata, melihat ke sekeliling rumah lusuh yang menjadi tempat tinggal mereka selama bersembunyi.
Namun nihil, ia tak menemukan seorang pun selain dirinya di rumah kecil itu. Asahi langsung membulatkan mata setelah mendapati kertas bertulis tangan yang Abina sengaja letakkan di sebelahnya.
"Abina!"
Asahi berteriak kalut. Hatinya takut saat ini, Asahi tidak mau Abina pergi. Dilihatkan jam di ponsel miliknya, sudah pukul sepuluh pagi. Abina juga meninggalkan ponselnya. Asahi mengusak rambutnya kasar.
Diambilnya masker hitam dan topi yang menjadi alat bersembunyi agar orang - orang tidak mengenalinya selama ini.
Asahi bergegas keluar, mencoba menyusul Abina yang sekarang entah ada dimana.
Baru beberapa langkah keluar, Asahi sudah melihat beberapa polisi berjaga di depan rumahnya. Sialnya lagi belum sempat ia kembali masuk, salah seorang polisi melihatnya terlebih dahulu.
"Tangkap dia!"
Mau tidak mau Asahi harus berlari menghindari para polisi itu. Mungkin Asahi harus berterima kasih pada sang ayah karena sudah mewariskan bakat berlari dengan cepat kepadanya.
Asahi terus berlari, ia tidak mau tertangkap karena kecil kemungkinan ia akan bertemu Abina jika tertangkap. Di saat saat seperti ini Asahi merindukan Yoshi, adik semata wayangnya itu pasti kalut saat ini. Asahi tidak mau tertangkap, demi Abina, dan demi Yoshi.
Asahi masih ingin menemui keduanya.
Brakk! Dugh!
Sakit.
Cahaya.
Darah.
Hanya tiga hal itu yang Asahi lhat dan rasakan disaat pandangannya berutar - putar. Badannya seakan dilempar dengan keras. Kulit kepalanya seakan ingin lepas sampai Asahi tidak bisa menjerit.
Pandangannya mulai memburam, saat melihat para polisi yang berlarian ke arahnya dengan khawatir barulah Asahi sadar dirinya tertabrak.
Didepan matanya hanya ada genangan darah. Asahi sudah tidak bisa merasakan kakinya. Bahkan Asahi sudah tidak bisa mendengar suara polisi yang sepertinya berteriak kepadanya itu.
"A– abina."
Asahi menyodorkan kertas yang ia genggam erat dari tadi, kertas dari Abina.
Setelahnya Asahi memilih diam, menikmati detik - detik hilangnya nafas dalam dirinya. Detik berikutnya Asahi tersenyum, senyum paling manis yang sebenarnya ingin ia tunjukkan pada Abina saat ia akan melamarnya nanti.
"Saya sayang kamu, Abina."
. . .
November, 2019
