Saya akan terus mencari kamu, meskipun kamu memutuskan pergi dan tidak akan kembali.;
Juli, 2019
"Abina! Abina, lihat saya!"
Asahi menggoncangkan bahu gadis yang hampir tak sadarkan diri dengan darah menempel di tubuhnya itu dengan keras.
"A-asahi."
"Kamu sudah sadar? Kamu terluka?"
Beberapa tahun bersama Asahi cukup membuatnya terkejut karena ini kali pertama Asahi menunjukkan ekspresi wajah yang benar - benar khawatir.
"Aku bunuh orang."
Abina mengatakan hal itu dengan tatapan kosong. Asahi melirik sejenak sesosok lelaki tinggi yang tergeletak bersimbah darah. Asahi tau, itu adalah ayah Abina, orang yang menyiksanya hampir dalam separuh hidupnya.
Di tangan lelaki itu ada sebuah senapan kecil yang hampir terlepas dari genggamannya. Itu berarti ayah Abina ingin membunuhnya bukan?
Abina tidak salah, ia hanya membela diri, begitu pikir Asahi.
"Abina dengarkan saya! Kamu tidak salah, kamu hanya membela diri! Jadi sekarang ayo ikut saya lari dari tempat ini."
Belum sempat Abina menjawab, tangannya sudah ditarik lebih dahulu oleh Asahi. Entah akan kemana, intinya mereka akan lari dari tempat ini sebelum tetangga menyadari dan memanggil para polisi.
. . .
Agustus, 2019
"Abina, kamu sekarang aman disini."
Asahi sedikit mengusap bahu Abina, berusaha menenangkan perempuan itu. Bus yang mereka tumpangi melaju perlahan, di jam sore hari seperti ini tidak banyak penumpang. Hanya ada lima orang, termasuk Asahi dan Abina.
Saat ini mereka ada di sebuah kota kecil yang minim penduduk. Aksesnya pun terbatas, tidak ada taksi di sini, hanya ada beberapa bus yang beroprasi pada jam tertentu.
Abina tidak menjawab. Kejadian beberapa minggu lalu masih menghantui bayangannya. Saat dimana sang ayah hendak mengarahkan pistol ke arahnya, tanpa berpikir panjang Abina segera mengambil pisau dapur dan menusuk sang ayah, tepat di jantungnya.
Abina kira setelah ini ia akan bebas, nyatanya kejadian itu masih sangat membekas. Ia yakin ibunya akan sangat terluka, bagaimanapun ibu Abina masih sangat menyayangi ayahnya lebih dari dirinya sendiri.
Ditatapnya lelaki yang agak kurus disebelahnya itu. Asahi, kenapa dia orang yang harus membantunya?
"Asahi, kenapa kamu harus bantu aku? Kamu gak salah sama sekali."
Abina melayangkan pertanyaan yang dari tadi menghantui pikirannya itu. Pandangan Abina terlempar jauh ke jalanan, ia menatap kosong orang - orang yang sedang berlalu lalang.
"Karena saya sayang kamu."
Abina menatap lurus lelaki itu.
"Tapi kamu gak perlu ikut campur. Ini bukan masalah kamu."
Nada bicara Abina mulai dingin, sebenarnya ia sedikit tidak suka dengan Asahi yang ikut campur. Sudah begitu Asahi malah membawanya kabur menghindari polisi, jika tau akan seperti ini tidak seharusnya Abina menelfon Asahi saat itu.
"Masalah kamu masalah saya juga."
Asahi membalas tak kalah dinginnya. Abina kembali diam, pikirannya masih berkecamuk. Lambat laun tempat persembunyiannya pasti akan ditemukan. Abina tidak mau melibatkan Asahi. Lebih baik dia mengaku pada polisi tanpa sepengetahuan Asahi.
. . .
September, 2019
Pukul dua dini hari.
Abina meninggalkan secarik kertas di samping Asahi yang masih tertidur pulas. Ia yakin lelaki itu akan mencari dirinya meski dalam kertas ia tuliskan untuk tidak mencarinya.
Tapi Abina sudah tidak tahan. Ia bisa gila mendengar teriakan kesakian sang ayah setiap hari. Lebih baik ia mendapatkan hukuman yang pantas. Lari dari masalah membuatnya seperti pecundang.
"Asahi, aku sayang kamu."
Abina mengecup pelan kening Asahi. Lantas ia pergi, tanpa membawa ponsel ataupun makanan. Setelah ini ia akan berjalan kaki menuju stasiun terdekat, ya sebenarnya cukup jauh, lalu ia akan menuju kantor polisi di pusat.
Abina berpikir ini keputusan yang tepat.
Benar, ini keputusan yang tepat. Tapi keputusan Abina berhasil melukai orang yang ia sayangi.