Kuusap kasar wajahku. Memandang frustrasi pada gadis di hadapanku. Kemarin, usianya baru genap tujuh belas tahun. Arlina Putri Rahista namanya. Jika diurutkan berdasar silsilah, dia masih terhitung keponakanku meskipun tidak ada ikatan darah. Ibunya menikah dengan sepupuku. Ibu sepupuku itu adik dari ibuku. Bingung? Ya pokoknya seperti itulah.
Hari ini ia datang, merecokiku di kantor, menuntutku memberikannya hadiah ulang tahun. Padahal kemarin aku sudah memberinya hadiah ponsel keluaran terbaru. Tapi hari ini dia datang dan mengatakan hadiahku itu tidak sesuai dengan keinginannya.
"Terus apa dong? Handphone itukan yang kamu inginkan? Atau Om belikan sneakers model terbaru?" Arlina menggeleng. Matanya lurus menatapku.
"Jam tangan?"
Dia menggeleng.
"Baju?"
Dia menggeleng lagi.
"Make up? Tas? Laptop? Motor? Mobil?" aku sudah kehabisan tawaran, sementara gadis itu terus menggeleng.
"Lalu Arlin maunya hadiah apa?" tanyaku mulai kehilangan kesabaran.
"Ehmmm.... tapi Om jangan marah ya?" Ia memandangku ragu.
Aku mengangguk.
"Janji ya Om."
Aku mengangguk lagi.
"Tapi dikabulkan nggak?"
Aku menghela nafas.
"Iya maunya Arlin apa?" nada suaraku sedikit meninggi. Aku memang menyayanginya, tapi aku bukan orang yang punya kesabaran berlebih. Aku sudah cukup pusing dengan segunung pekerjaan yang menunggu, dan kini ditambah dengan teka -teki Arlin.
"Tuh, Om marah ya sama Arlin?"
Kuusap lagi wajahku, lalu menggeleng memandangnya. Menghela nafas dalam-dalam, meredakan emosi yang sedikit beriak.
"Begini saja, Om kasih kartu kredit punya Om, Arlin bisa beli sendiri apa yang Arlin mau. Bagaimana?" kusodorkan kartu kredit berwarna hitam dengan coretan dan logo berwarna keemasan.
Arlin mengerucutkan bibirnya, pertanda ia tidak setuju dengan ideku,
Aku menarik nafas dalam-dalam. Sikap Arlin kali ini sungguh aneh. Sehari-hari dia adalah gadis muda yang ceria dan energik. Terkadang kekanakan dan labil. Tapi itu wajar diusianya yang baru saja menginjak usia tujuh belas. Aku berdiri dan berpindah duduk di sebelahnya. Di antara sebelas keponakanku, ia memang yang paling dekat denganku. Kata Rinda, ibunya, aku ini Om kesayangan putri semata wayangnya.
Arlin memang manja padaku. Aku memaklumi karena dia putri satu-satunya karena ketiga saudaranya yang lain adalah laki-laki. Bungsu pula. Dia juga sering berkunjung ke kantorku, jadi tidak heran jika sekretarisku dan sebagian pegawai mengenalnya.
"Lalu Arlin maunya bagaimana?" tanyaku pelan.
Arlin tersenyum malu. Wajahnya memerah. Ia terlihat semakin cantik.
"Arlin mau.... uhm... Arlin pengen..." Arlin meragu.
Aku menunggu dengan sabar.
"Tapi beneran ya, Om Tara gak marah dan bersedia menuruti permintaan Arlin?"
"Iya, Om gak akan marah. Tapi Arlin bilang dong, apa mau Arlin," bujukku lembut.
"Uhm.... Arlin mau... mau punya pacar," ia lalu cepat-cepat menunduk menyembunyikan wajah meronanya.
Aku terdiam mencerna, lalu menarik kedua sudut bibirku ke atas, hingga membentuk sebuah lengkungan senyum.
"Arlin menyukai seseorang?" tanyaku hati-hati.