Ketukan di pintu kamar membuatku mengernyit.
"Om, Arlin masuk ya?" kepala Arlin melongok masuk. Ah, aku lupa mengunci pintu.
"Ada apa?" aku kembali menunduk, membaca buku yang berada di pangkuanku.
"Arlin bosan, Om," katanya mendekat dan duduk di dekatku yang bersandar di sandaran tempat tidur.
"Kamu kan bisa belajar, atau pergi jalan-jalan dengan teman-temanmu. Bukannya anak seusiamu senang hang out?" tanyaku tetap memelototi jajaran baris kalimat.
"Arlin cuma mau jalan sama Om Tara," katanya memanyunkan bibir.
"Memang kamu mau jalan kemana?" tanyaku mengambil pembatas dan menyelipkannya di halaman buku yang kubaca.
Arlin diam memandangku, lalu menunduk, menggeleng sambil mengais-ngaiskan ujung jari kaki telanjangnya di lantai berkarpet.
Baru saja aku menghela nafas dan membuka kembali buku di atas pangkuanku, Arlin memanggilku lirih.
"Om, apa Arlin boleh bertanya?"
Kututup dan kuletakkan bukuku di atas nakas, memberikan perhatianku sepenuhnya padanya.
"Bertanya apa?"
Arlin nampak gelisah.
"Uhmm.... menurut Om, Arlin cantik tidak?"
"Cantik," sahutku jujur. Memang di antara para keponakan perempuanku, dia yang paling cantik. Dan ia yang tercantik dari antara semua perempuan yang aku kenal.
"Benarkah? Om tidak bohong kan?" serunya dengan mata berbinar, namun sekejap pipinya merona. Ia terlihat makin cantik. Jantungku berdesir.
"Mana pernah Om bohong sama Arlin," kucolek pucuk hidungnya.
"Kata Romi, Arlin sexy. Benar ya Om? Memang Arlin sexy?"
Aku tersedak.
"Siapa Romi?"tanyaku gusar. Berani-beraninya laki-laki itu memperhatikan tubuh Arlin!
"Teman Arlin, Om. Dia bilang Arlin sexy. Diia juga bilang kalau Arlin harus jadi pacarnya. Arlin nggak mau, Om. Arlin sukanya sama Om Tara," adu Arlin mengerucutkan bibirnya sambil menggamit, mendekap lenganku.
Lagi-lagi dadaku berdesir. Apalagi merasakan bagaimana kenyalnya dada Arlin yang menyentuh lenganku.
"Apa Arlin dekat-dekat dengan Romi?" tanyaku lagi. Dadaku bergemuruh dipenuhi amarah yang aneh. Aku tidak suka mendengar ada teman lelaki yang mencoba mendekatinya.
Arlin menggeleng polos. Ia berdiri, lalu duduk di pangkuanku sembari tangannya melingkari leherku. Aku terkejut, terdiam kaku melihat aksi beraninya. Apa dia tidak tau kalau aku bisa saja kehilangan kewarasanku dan menerkamnya?
"Om," panggilnya ragu.
"Ya?" tanpa sadar kedua tanganku sudah berada di pinggul Arlin, mengusap-usap pelan.
"Boleh Arlin minta cium lagi? Di sini," ia menunjuk bibirnya yang berwarna merah muda alami.
Aku menelan ludah. Godaan ini sangat berat.
"Om, aku mau ini sebagai hadiah ulang tahunku dari Om," bisiknya dengan wajah merona.
"Arlin-" punggungku menegang ketika bibir kenyal yang lembut itu kini menempel di bibirku, bergerak-gerak kaku dan tidak berpengalaman. Namun tetap saja membuat kewarasanku menguap cepat. Apalagi dadanya menggesek-gesek dadaku, membuatku makin merasa panas dingin. Oh, jangan lupakan pantatnya yang bulat menekan milikku!