Aku mendesah lega, meskipun aku harus mengeluarkan dana ratusan juta untuk sebuah resepsi yang diinginkan Damar. Belum lagi sebagian besar saham perusahaanku yang kualihkan pada Arlin. Semua atas keinginan Damar, mertua matre dan sewenang-wenng yang sialnya adalah ayah dari istriku.
Pintu kamar mandi terbuka, menampilkan sosok Arlin yang.... ya ampuuuunnn.... kalau dia seperti ini terus, aku bisa kalap. Lingerie hitam transparan yang sangat kontras dengan kulit putihnya benar-benar menyuguhkan pemandangan yang menggoda jiwa, raga dan gairahku. Perutnya yang sedikit membuncit makin membuatnya terlihat sexy.
Aku menelan ludah ketika ia berjalan gemulai mendekat. Juniorku langsung bereaksi sejalan dengan mataku yang menelusuri tubuh Arlin.
"Om..."
Aku mendesah lagi. Panggilan itu membuatku merasa tua dan tidak pantas berdampingan dengan Arlin.
"Kita menikah sudah tiga bulan, Lin. Apa kamu benar-benar tidak bisa mengubah panggilan itu?"
Arlin berhenti tepat di depanku. Lengannya dilingkarkan di leherku. Bibirnya mencebik cemberut, namun tampak menggemaskan di mataku.
"Kita hanya berdua di sini, Om. Kenapa masih mempermasalahkan panggilan? Bukannya Om suka kalau Arlin memanggil Om saat kita bercinta?"
Aku menarik nafas. Ucapannya tidak salah. Aku memang suka saat ia menyebut panggilan Om ketika kami bercinta. Tapi aku takut ia terbiasa dengan panggilan itu dan apa kata orang jika mendengar Arlin masih memanggilku Om? Mereka akan mengira aku adalah om-om yang suka memelihara gadis-gadis muda. Aku sudah cukup kesal saat orang-orang yang melihat kami menyangka bahwa kami adalah ayah dan anak.
"Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Terserah kamu saja, Sayang," akhirnya aku pasrah. Daripada Arlin ngambek dan aku tidak mendapat jatahku malam ini setelah hampir dua minggu kami dipisahkan oleh ayah mertuaku yang tengilnya minta ampun.
Ya, dua minggu yang lalu, Damar tiba-tiba datang ke rumah dan mengatakan akan membawa pulang istri kecilku. Katanya ini keharusan.
Huh! Keharusan macam apa? Kami sudah menikah sah secara hukum dan agama. Dan hanya karena resepsi, Damar memisahkan kami dua minggu sebelum resepsi diadakan. Damar memang keterlaluan!
Aku masih ingat di malam pertama kami dipisahkan, aku nekat menghubungi Arlin dan memanjat pohon mangga di sebelah rumah Damar hanya untuk bertemu dengan istriku. Bayangkan, aku harus mengendap-endap seperti maling hanya untuk bertemu dengan istriku sendiri! Namun lagi-lagi Damar dengan kekuasaannya yang mengatas namakan dirinya 'mertua'!
"Om..."
Panggilan Arlin menyentakkanku dari lamunan.
"Hmm?"
"Apa sepanjang malam ini kita hanya seperti ini?" tanya Arlin menatap mataku dengan malu-malu.
Aku menunduk, menyadari posisi kami. Aku sedang duduk di pinggir tempat tidur, sementara Arlin bergayut di leherku dan duduk di pangkuanku. Tubuhnya yang putih mulus berbalut kain transparan hitam dengan dada terekspos. Aku menelan ludah. Gairahku kembali merambat naik.
Kudekatkan wajahku, kucium bibir merah mudanya dengan lembut.
Arlin melenguh pelan ketika kususupkan lidahku ke mulutnya. Pinggulnya bergerak merapat, menyentuh juniorku yang tengah menggeliat bangun. Sebelah tangan Arlin menyusuri dadaku yang shirtless, lalu meraih tangankunyang tengah meremas pinggulnya, membawa ke dadanya yang membusung.
Perlahan, kuremas bukit dadanya yang kenyal itu. Matanya terpejam, sesekali ia mengerang ketika aku meremasnya sedikit lebih kuat. Bibir dan lidah kami masih bergulat dengan serunya.