Sudah hampir satu bulan aku sedikit menjauh, menghindari Arlin. Aku tidak ingin kejadian di apartemen dua minggu yang lalu terulang lagi. Aku takut tidak mampu menahan diri jika berada di dekat Arlin. Karena sejujurnya, aku mulai merasa kelimpungan setiap melihat Arlin dengan tubuhnya yamg mulai beranjak sempurna.Namun demikian, aku tidak serta merta mengabaikannya. Aku tetap mengawasinya. Bagaimanapun aku sudah merenggut kesuciannya. Dan kemungkinan buruk bisa saja terjadi.
Kusandarkan punggungku di sofa, memejamkan mata yang hanya membuatku mengingat apa yang sudah kumulai dari sini bersama Arlin.
Suara ketukan menyertai bunyi bel pintu apartemen menandakan seseorang di luar sana sedang tergesa. Aku mengernyit. Hampir jam sepuluh malam. Siapa yang datang bertamu semalam ini? Dengan enggan aku beranjak membuka pintu.
Seseorang menubrukku begitu pintu terayun kubuka.
"Om... Arlin harus bagaimana? Tolongin Arlin , Om...." keponakan cantikku kini tersedu dalam pelukanku.
Aku membawanya duduk di sofa tempatku tadi merenung setelah menutup pintu terlebih dulu.
"Tenang dulu, Lin. Sebentar, Om ambil minum dulu untuk kamu," aku beranjak ke pantry, menuang air dengan hati bergemuruh. Berbagai dugaan muncul tak beraturan dalam benakku.
Kuulurkan segelas air yang langsung ia terima.
"Pelan-pelan," ujarku mengusap punggungnya saat Arlin nyaris tersedak.
Wajah sembabnya membuat hatiku seperti diremas. Sakit.
"Ada apa?" tanyaku akhirnya setelah melihatnya sedikit tenang. Kuambil gelas dari tangannya dan meletakkannya di meja.
"Arlin... uhm..."
"Katakan saja, Lin. Jangan takut," aku menenangkannya meskipun jantungku sendiri tidak bekerja dengan normal saat ini.
"Sudah dua minggu Arlin telat, Om. Pagi tadi Arlin coba test, dan hasilnya...." Arlin terisak lagi.
"Ssshhh..... tenanglah...." kudekap lagi tubuh mungilnya yang berlekuk.
"Arlin takut, Om.... Papa dan Mama pasti marah besar.... tapi Arlin cinta sama Om Tara.... Arlin tidak suka kalau Tante Nindi dekat-dekat dengan Om Tara," kurenggangkan pelukanku mendengar kalimatnya yang terakhir.
"Kenapa bawa-bawa Nindi?" dahiku berkerut. Seingatku, aku tidak pernah bersikap berlebihan dengan Nindi, begitupun sebaliknya. Hubunganku dengan Nindi adalah hubungan profesional yang murni urusan kerja. Memang setiap hari aku dan Nindi selalu berinteraksi dengan intens karena dia adalah sekretarisku.
"Arlin takut Om Tara menyukai Tante Nindi. Om Tara kemana-mana selalu dengan Tante Nindi," rajuknya merengut.
"Astaga Arlin, itu karena Nindi sekretarisku. Kami tidak ada hubungan apapun diluar konteks pekerjaan," jelasku mengusap rambutnya.
"Jadi bagaimana, Om?"Arlin mendongak menatapku.
Kembali ke topik utama, aku tercenung. Bagaimanapun juga aku harus bertanggung jawab. Bukan keterpaksaan jika aku harus menikahi Arlin. Tapi apa reaksi Damar dan Rinda jika mengetahui hal ini?
"Mama dan Papamu tau?"
"Belum Om," gelengnya menyembunyikan wajahnya kembali di dadaku.
"Besok Om antar ke dokter untuk memastikan kehamilanmu, ya? Setelah itu, Om yang akan bicara pada Papamu," kataku menenangkannya.
"Om mau menikahi Arlin?" tanyanya ragu.
"Ya," sahutku mengecup puncak kepalanya.
"Sekarang Om antar kamu pulang ya?"
Arlin menggeleng, mengeratkan pelukannya.
"Arlin mau tidur sama Om lagi," bisiknya malu-malu, makin membenamkan wajahnya.
"Nanti kalau kita sudah menikah, kita akan tidur bersama setiap malam, Sayang. Tapi sekarang kamu Om antar pulang dulu ya," bujukku, berharap Arlin menurut. Aku tidak mau tersiksa mendekapnya sepanjang malam tanpa melakukan apapun.
"Om janji ya, kita akan menikah," akhirnya ia menguraikan pelukannya.
Aku mengangguk.
.
=====
.
Kupejamkan mataku menahan sakit pada wajah dan tubuhku. Rasanya semua tulang-tulangku retak bahkan patah. Pukulan-pukulan Damar benar-benar keras dan sakit. Terutama pada rahang dan rusukku.
Kalau saja tidak mengingat ia ayah Arlin dan akan menjadi mertuaku, aku sudah membalas pukulannya dan menghajarnya balik. Bukankah sebenarnya ia dan Rinda turut andil pada kehamilan Arlin? Kalau saja mereka tidak ngotot mempercayakan Arlin padaku, tentu kejadian ini tidak akan terjadi.
Tapi biar saja. Aku ikhlas demi agar aku dapat menikahi Arlin. Toh kelulusan Arlin hanya tinggal tiga bulan lagi. Kami akan menggelar resepsi setelah Arlin lulus. Minggu depan kami akan menikah secara hukum dan agama.
Pintu ruang kerjaku terbuka dengan kasar. Wajah panik Arlin langsung terlihat begitu ia menghambur padaku sambil terisak.
"Om gak apa-apa? Ini pasti sakit. Papa kok tega berbuat seperti ini sama Om? Maafin Arlin ya Om. Arlin bantu kompres ya? Ini bengkak dan lebam. Aduh, bagaimana ini?"
Aku meringis mendengar kepanikannya. Untuk tersenyum saja sakit. Ya jadilah aku hanya meringis.
"Tidak apa-apa, Lin. Yang penting Om bisa menikahimu," sahutku berusaha bangkit dari berbaringku.
Arlin tengah berusaha mengambil kotak obat di atas rak saat aku berdiri limbung hendak membantunya, bertepatan dengan Nindi yang masuk membawa beberapa berkas di tangannya, secara refleks ia menahan tubuhku.
Dengan ditopang oleh Nindi, aku kembali duduk sambil mengerang karena tanpa sengaja Nindi menekan rusukku.
"Maaf Pak. Saya letakkan berkasnya di meja Bapak saja," ujarnya cepat-cepat meletakkan berkasnya di meja dan bergegas keluar. Aku mengernyit heran melihatnya dan menoleh ke sudut dimana Arlin berada.
Dan astaga! Gadisku itu kini tengah melotot galak dengan tangan mengepal di sisi kanan dan kiri pinggangnya yang masih kelihatan ramping.
"Tuh kan, Tante Nindi suka sama Om Tara! Om juga genit!"
Aku melongo mendengarnya mengomel marah-marah. Dia seperti seorang istri yang cemburu pada suaminya. Lucu sekali. Ia terlihat manis dan menggemaskan.
"Nindi cuma bantuin Om, Sayang," bujukku meredam kemarahannya.
"Arlin nggak suka!"
"Iya... Sini dong, katanya mau bantu kompres lebam di wajah Om?"
Seperti tersadar, Arlin bergegas membungkus es batu dengan sapu tangannya, lalu menghampiriku dengan sekotak P3K di tangannya yang lain.
"Papa tega sekali," desis Arlin saat mengompres lebamku, membuatku kembali berjenggit meringis merasakan nyeri.
.
.
.
.
Bersambung.....
.
.
.
Up lagi niiiih....
Semoga suka.....
.
.
.
Lianfand
18072020