"Berisik."
Auva sedang menahan kekesalannya sampai ke ubun-ubun. Soalnya dari pagi dibuat jengkel dengan kelakuan Faisal yang menuntutnya untuk balikan karena masih merasa tidak terima diputuskan. Sekarang suara yang sorak-sorai perempuan itu yang masuk ke pendengarannya membuatnya ingin menggebrak meja.
"Va," panggil Aurel pelan, untuk kesekian kalinya sahabatnya mengingatkan dirinya agar tidak terpancing dengan hal sepele.
Tetapi Auva memilih mengabaikannya, mood-nya sudah hancur. Daripada menambah masalah, lebih baik pergi secepat mungkin.
"Bu Naya, saya izin ke toilet ya." Auva mengangkat tangan, Bu Inaya yang melihat langsung mengangguk, mempersilakan.
"Va, lo kok pergi, sih? Nggak ngajak-ngajak gue lagi ...." Aurel mendesis. Merasa Auva izin untuk bolos serta bersenang-senang, sementara Aurel terjebak di kelas dengan perkenalan yang menurutnya sangat membosankan.
"Yah, masa gue ditinggalin?!" Aurel bergumam mengeluarkan umpatan kasarnya. Dasar Auva! Sangat tidak setia kawan! Aurel akan balas dendam!
"Kamu kenalin diri di depan teman-teman. Yang nyaring, ya, saya liatin."
Bu Inaya melipat tangannya, memperhatikan cowok yang menjadi pusat perhatian itu tampak memasukkan tangan ke saku celananya. Beliau memicingkan mata.
"Tau aja nih orang, itu pose orang sok ganteng," cibir Aurel tak suka. Entah faktor pengap atau apa, perasaannya jadi seberantakan ini.
"Padahal tipe wajahnya biasa-biasa aja, nggak keren-keren amat. Cuma modal kacamata aja, tuh."
"Revan," aku cowok bernama Revan itu. Wajahnya yang datar menatap lurus ke arah Bu Inaya yang tersenyum kikuk setelah menatap seisi kelas yang hening.
"A-ah y-ya gitu ... aja perkenalannya?" Bu Inaya terbata-bata, baru kali ini menemukan siswa yang tidak memperkenalkan diri dengan gaya alay, modus, dan sebagainya. Terkesan simpel dan kalem. Namun, mengapa Revan tak mengenakan nametag? Apa lupa?
Revan mengangguk singkat. "Boleh duduk?" tanyanya dengan nada rendah.
Bu Inaya mengiyakan. Revano berjalan ke tempat duduknya.
"Disuguhin cogan yang flat gitu, gak ada senyumnya. Membosankan!" Aurel bertopang dagu, mendengkus malas.
"Coba aja gue ikut bolos sama Auva, pastinya nggak bakal begini! Ih, guenya juga, sih, yang pengen keliatan teladan. Percuma kayaknya." Aurel menguap, sepertinya ketularan kemalasan sahabatnya.
"Pura-pura biar good looking? Cih, apa manfaatnya?" Tiba-tiba sebuah suara menginterupsinya, membuat Aurel tersentak lalu celingak-celinguk. Suaranya mirip si cowok bernama Revan itu!
"Aurel, jangan melamun! Sekarang giliran kamu yang maju!" sentak Bu Inaya memukul meja dengan penggaris rotannya. Aurel tergesa-gesa beranjak ke depan, bergidik ngeri melihat betapa lancipnya penggaris yang dipegangnya oleh guru wanita itu.
"Bu Naya, ini bukan perang, bukan juga waktu yang bagus buat gencatan senjata! Hati-hati, loh, Bu, kalo galak melulu susah dapet jodohnya." Bu Inaya mendelik ke arah Aurel yang menyengir.
"Aurel .... " Guru muda itu menggeram.
"Ya, Ibu manggil saya?" Aurel menyahut panggilan itu sambil tersenyum iseng.
"Enggak, sama tembok di belakangmu! Yaiyalah, kamu! Hormat di tiang bendera dua jam sampai jam istirahat! Cepat!"
"Kapan-kapan, Bu, saya ngelakuin. Saya mau ke UKS, tiba-tiba sakit kepala ngeliat Ibu!"
Aurel memeletkan lidahnya, langsung kabur keluar kelas ketika mendapati suara melengking dari Ibu Inaya yang memanggil namanya.
Aurel masa bodoh, intinya bisa kabur saja sungguh sebuah anugerah yang kebetulan.
***
Auva berjalan santai menuju kamar mandi perempuan. Seraya bersiul-siul senang, ia membelah koridor yang memang sedang sepi-sepinya. Rasanya sangat bebas, tidak terkekang oleh suara-suara yang bisanya memancing singa dalam dirinya.
Kedua matanya mengedar, memperhatikan para murid yang fokus mendengarkan penjelasan dari guru bidangnya. Banyak juga yang diam-diam asyik sendiri, memperagakan berbagai profesi semasa kelas berlangsung. Tahulah pasti apa saja yang dilakukan saat bosan melanda, bukan?
Auva cekikikan. Ingin pamer kalau sedang dalam aksi bolos, ia mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi, menghentakkan kakinya cukup keras. Menciptakan suara yang membuat murid-murid yang tadinya asyik sendiri menoleh kepadanya dan melongo. Seakan ingin mengatakan, bagaimana bisa dia bisa bolos?
Tampang mereka berhasil meledakkan tawa Auva yang ditahan mati-matian. Tentunya ia tutup mulutnya agar tawanya tidak terdengar sampai ke telinga guru. Bisa berabe kalau aksinya ketahuan, tidak seru namanya.
Auva menoleh, menatap lagi mereka yang masih melongo. Auva menggerakkan tangannya sebagai isyarat, menggerakkan bibir tanpa bersuara. Membisiki dari jauh.
"Mau nggak ikutan bolos?" Auva menaik-turunkan alisnya. Ajaran sesat memang, siswa-siswa itu-menatap satu sama lainnya. Bertanya lewat tatapan mata.
Dengan ragu, mereka menganggukkan kepalanya. Sialnya, Auva belum sempat menimpali persetujuan mereka, rambutnya sudah dijambak duluan oleh seseorang dari arah belakang.
"Aduh-duh ... sakit anjir!" Auva meringis dan mengumpat. Menengok ke belakang, ternyata kerjaan sahabatnya yang kurang ajar. Siapa lagi kalau bukan Aurel?
"Gue habis main di lapangan sambil bolak-balik make skateboard gue!" cerita Auva semangat. Aurel mengernyitkan dahi.
"Bercanda mulu deh, Va. Lo bisa-bisa ketauan terus di skors dua minggu, mau elo?" Auva tersenyum meremehkan atas perkataan Aurel yang penuh ancaman.
"Dibilangin bebal, tau gitu gue aduin ke mama biar barang kesayangan lo itu disita!" Auva menghela napas kesal. Harus sabar menghadapi Aurel yang berpikir untuk mengadukannya.
"Lo pake kabur, nggak ngajak-ngajak gue. Asem, udah gitu suasana kelas bikin sesak napas, panas." Aurel membuka alat make up miliknya. Lantas mengambil bedak.
"Tuh, kan, muka gue jadi basah keringat, gara-gara ngejar lo. Riasan gue jadi rusak."
"Lagian siapa suruh lo ngejar gue, hah? Muka lo udah jadi kayak adonan kue yang gagal," ledek Auva. Membuat Aurel manyun.
"Sabar gue, lo harus tanggung jawab kalo make up gue sampe abis. Belikan yang baru!" rengeknya.
"Apa? Baru aja dibelikan seminggu yang lalu, lo minta beliin lagi? Boros temannya setan." Aurel melotot. Apa? Dia disamakan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang terkutuk itu?
"Gue bidadari lo kata setan? Mata lo burem kayaknya. Perlu dibawa ke dokter mata, Va?"
"Udahlah, Rel, gue males berdebat sama lo lama-lama, yang ada gue bisa-bisa migrain."
Auva menatap lorong koridor. "Oh, ya, sekarang udah masuk jam mapel kedua. Kita balik kagak?"
"Enggak ah, gue belum puas. Kita balik abis pas jam istirahat. Kita jalan-jalan ke tempat rahasia yang biasanya, mau?" Auva menggeleng, kemudian menatap Aurel yang kebingungan setelah beberapa menit terdiam.
Auva menunjuk dengan dagunya mengisyaratkan sesuatu. "Itu bukannya cowok yang maju di kelas, ya?"
Aurel mengikuti arah pandang Auva, mengernyitkan dahinya. Memfokuskan diri ke seorang cowok yang termenung di tribun lapangan basket. "Eh, dia tadi ada di kelas. Ngapain? Kok tiba-tiba sudah di sana?"
Auva mengedikkan bahunya cuek. Aurel yang tak bisa menahan jiwa penasarannya yang meronta-ronta menyeret sahabatnya untuk melihat dari jauh, sebenarnya apa yang ingin dilakukan Revan?
"Kayaknya dia abis nolak cewek. Ada coklat sama bingkisan di sampingnya," bisik Aurel ke telinga Auva yang tak melepaskan mata dari objek yang keduanya amati. Mereka bersembunyi di bawah pohon yang lumayan tinggi dan lebar, cukuplah untuk menyembunyikan tubuh dua gadis yang tak seberapa.
"Aha!" Auva yang mendapat ide bagus balik membisiki Aurel yang manggut-manggut mengerti. Baiklah, mari lakukan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia, Revan! ✓
Teen FictionMENUJU PROSES REVISI Aurel Apdilla Preanliza dan Deanna Auva Benazir adalah sahabat sejak kecil. Fisiknya bagai pinang dibelah dua, tak terpisahkan, dan saling melengkapi. Sifat pun bersenjangan. Satu tomboy, sedangkan satunya feminim. Mereka membu...