Revan.
Cowok itu tampak diam melamun, memandangi lapangan yang berwarna hijau menyegarkan itu sendirian. Seakan sedang menerawang jauh masa-masa yang sudah berlalu. Satu tangannya memangku buku gambar itu seakan mengingat-ingat sesuatu yang terlupakan.
Dapat ditebak kalau ia sedang menekuni sesuatu di buku gambar itu. Sejak kapan dia membawanya? Entahlah. Keduanya pun bingung. Revan suka menggambar dan melukis? Wah, bisa jadi poin plus selain sifatnya yang kelewat pendiam untuk Auva dan Aurel.
Aurel dan Auva menatap satu sama lain, ragu melangkahkan kakinya menghampiri Revan yang termenung dari belakang. "Lo ngomong sama dia gih."
Aurel menganga lebar ketika lengannya disikut oleh Auva yang mencebikkan bibirnya sebal.
"Idihh, ogah! Lo yang ajak dia ngobrol dong, jangan gue!" Aurel menolak, ikut berbisik seraya melirik Revan yang tidak terusik akan kehadiran mereka berdua.
"Lah, ngapa jadi gue, sih? Katanya mau ngagetin dia! Lo, kan, yang paling cakep, makanya lebih cocok lo yang maju!"
Auva mendorong-dorong punggung sahabatnya sampai Aurel terjatuh tepat menempel ke punggung Revano yang duduk dengan tenang.
"Jahatnya ... menumbalkan sahabatnya sendiri lagi," gerutu Aurel seraya meringis memegangi bokongnya, salah-salah tangannya yang terasa nyeri.
Aurel berdiri, membersihkan rok abu-abunya yang dirasanya ada debu yang menempel. Mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah Revan yang tidak sedikit pun memalingkan wajahnya dari objek yang dicermati.
"Lo sebegitunya perhatian sama pohon, ya? Padahal ada cewek cantik, nih, di samping lo," sindir Aurel merasa tidak diacuhkan. Yup, yang diperhatikan cowok itu menurutnya mengarah pada pohon yang ada di hadapannya.
"Heh? Lo tadi habis ditembak sama cewek? Kakak kelas kita, bukan?" Auva mengawali obrolan duluan, tetapi tetap diabaikan oleh Revan.
"Seistimewa apa objeknya sampe-sampe lo mengabaikan cewek cantik gini, hah?" Aurel merasa gemas, memberanikan diri menyentuh lengan cowok itu dan menarik wajahnya. Berharap atensi Revan teralihkan kepadanya.
"Hm." Selain perkenalan yang terlalu singkat di kelas mereka, kini hanya dehaman yang menjadi kalimat kedua yang keluar dari mulut Revan yang terkatup rapat.
"Bisakah lo berbicara lebih banyak?" Aurel menyatukan dahinya dengan dahi Revano yang menatap dingin. Menginterupsi.
"Lo nggak sopan! Kalo diajak ngomong sama orang, ya, setidaknya respon lebih buat menghargai lawan bicara lo!"
Gadis itu mengoceh, menatap manik coklat itu dengan intens. Bagus, Revan terus diam tanpa sebuah jawaban.
"Ya Tuhan, lo jadi bisu atau gimana?" omel Aurel tidak berhenti.
"Rel, asli mata gue ternodai. Lo mau cipokan sama dia?!" tegur Auva terkejut. Apalagi Aurel.
"Auva! Gue jadi khilaf, kan, huhu." Melepaskan tangan dari wajah cowok tampan itu. Aurel merasa jengah sebab sudah melakukan tindakan yang lebih tak etis dibanding Revan yang tidak menjawab ucapannya. Ya, dipikirkan pun membuat semburat merah muncul ke kedua pipinya. Menyadari perbuatannya.
"Muka dia bikin gue lupa sama dunia," tutur Aurel setelah mengajak Auva menjauh dari Revan yang bergeming di tempatnya.
Auva menghela napas panjang. Beruntung, urat malu Aurel masih bisa terselamatkan berkat dirinya. Memang dasarnya Aurel yang lemah terhadap manusia tampan. Gampang terlena sampai berbuat nekad.
"Sadar juga lo, Rel. Untung gue tolongin. Coba kalo enggak, mampus." Auva menggelengkan kepala. Sahabatnya beralih cengengesan tanpa dosa. Gadis itu melirik Revan yang menatap keduanya dengan sorot tak terbaca.
"Apa elo lihat-lihat? Suka sama gue, hah?" tanya Auva nyolot. Ia sangat-sangat tak suka pandangan yang seakan tak bernyawa itu, gelap dan tak bercahaya. Tiada sinar yang berarti, hampa.
"...." Revan memalingkan wajahnya, beranjak untuk membuang setumpuk coklat dan surat yang dipegang ke tong sampah di dekatnya. Tak acuh sambil mendekap buku gambarnya,
"Oi, lo mau ke mana? Revan!" Aurel hendak mengejarnya, tetapi Auva buru-buru mencegat sahabatnya. Rasanya gadis itu ingin berteriak tepat di telinga Aurel, memberitahu bahwa gelagatnya terlalu impulsif.
"Rel, udahlah. Gue ...." Aurel melirik Aurel tajam membuat gadis tomboy itu menelan ludah, nyalinya menciut.
"Gue udah tau namanya barusan, jangan tatap horor." Aurel yang semula nampak cuek kini tertarik pada topik yang Auva bawakan.
"Nama lengkapnya? Mau gue catat di 'misi kita' selanjutnya, Va!"
Auva dan Aurel saling mengulas senyum iblis, lalu berdiskusi sambil duduk berhadapan di tribun penonton—tempat Revan nangkring beberapa menit yang lalu. Keduanya memang selalu begini, jika sudah terlalu bosan dengan hidupnya yang itu-itu saja alias monoton, mereka akan melakukan taruhan—tentu targetnya sekarang sedikit berbeda, yakni manusia.
"Namanya Revano Aprileo. Cukup menarik, kan?" Aurel mengusap dagu—berpikir sejenak, kemudian mengangguk kuat. Auva bilang kalau dia tahu itu saat melirik sketsa gambar Revan yang setengah jadi sebelum ditutup kilat oleh cowok itu.
"Gimana kalo kita begini aja?" Auva berpindah tempat duduk ke sebelah sahabatnya. Mengeluarkan tablet berukuran mini yang dirogoh dari saku, menuliskan sesuatu, dan menunjukkan hasilnya kepada Aurel yang tersenyum senang.
"Boleh banget. Lo jenius!" sanjungnya. Auva yang dipuji membusungkan dadanya bangga. Aurel merebutnya dan ingin menambahkan yang kurang di sana, dia mencoret-coret menggunakan pen khusus smartphone.
Aurel menggambar targetnya secara detail, tak melewatkan seinci pun visual Revan yang terekam di ingatan. Dimulai dari rambutnya yang tertata sempurna, bola mata tajam biru kelabu, hidung yang terpahat mancung, bibir merah natural, rahangnya yang seksi serta bentuk tubuh atletisnya membuat air liurnya menetes. Sungguh menggiurkan!
Auva tertawa terbahak-bahak.
"Amboi, Air liur lo sampe jatuh, tuh. Segitunya pengen dapetin dia?" Aurel yang terlonjak langsung menghapus sisa-sisa air liurnya yang menempel. Matanya melotot dengan air muka pundung.
"Y-ya, enggak salah, sih. Cuman elo yang heboh amat soal beginian." Auva merotasikan mata sembari tersenyum menggoda.
"Maap-maap, abisnya muka lo lucu sampe gue gemes buat komen," imbuhnya membuat Aurel semakin manyun. Auva mengambil smartphone yang dibawanya diam-diam ke SMA Nusaria dan kembali menyerahkannya ke Aurel yang keheranan, tanda tangan? Namun, tetap membubuhkan tanda tangan miliknya.
"Untuk apa, sih, Va?" Auva menyeringai lagi, Aurel bergidik setelah membaca sorot mata sahabatnya yang penuh makna seakan bilang 'sebagai bukti kalau taruhan kita itu bukan main-main.'
Walau Aurel ingin menyanggahnya, ia mengerti secara luar-dalam karakter sahabatnya. Mereka berdua memiliki satu kesamaan yang permanen, yaitu sama-sama kepala batu. Percuma saja untuk mengubah keputusan yang Auva tetapkan sekarang.
Auva tak sengaja melihat siluet Revan yang tengah mengobrol dengan seorang cewek, entah siapa karena tertutupi oleh tubuh cowok itu yang tingginya kebangetan. Terbukti tinggi badan cewek yang cukup manis itu sepertinya hanya sedada Revan saja. Mungkinkah tipenya adalah cewek berbadan mungil?
Sesekali, mereka tertawa lepas. Aurel yang mengikuti arah pandangnya juga menerka-nerka, walau sekilas.
"Kayaknya bakal seru, nih. Gue udah gak sabar, Rel." Aurel pun melengos sambil mengiyakan ketika melirik Auva yang nampak menggebu-gebu. Sahabatnya pasti sangat excited kalau menyangkut taruhan mereka.
Jujur, Aurel tidak mau menyetujui taruhan yang menargetkan cowok, karena kurang etis menurutnya. Cowok adalah manusia dan bukan barang dan gadis itu tidak mau mempermainkannya.
Akan tetapi, kalau Aurel menolak akan berdampak pada harga dirinya sebagai seorang Aurel Apridilla Prealinza, anak tunggal dari keluarga konglomerat. Makanya, dia terpaksa mengikuti aturan yang telah mereka buat sedari kecil.
Aurel tertantang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia, Revan! ✓
Ficção Adolescente#Twins #TriangleLove #Teenfiction Aurel Apdilla Preanliza dan Deanna Auva Benazir adalah sahabat sejak kecil. Fisiknya bagai pinang dibelah dua, tak terpisahkan, dan saling melengkapi. Sifat pun bersenjangan. Satu tomboy, sedangkan satunya feminim...