Bab 2

46 15 44
                                        

Yang benar saja!

Aurel menatap keduanya dengan tatapan was-was. Ya, bagaimana tidak, dia takut akan terjadi peperangan besar yang mungkin sebentar lagi akan terjadi.

"Lo mau ngapain?" Auva menatap tajam cowok yang terkenal berandal itu.

"Ya, suka-suka gue ... lo mau ngelawan gue, hah?" tanyanya ketus. Cowok itu bernama Faisal Dafia, perilakunya seringkali membuat para guru di sekolah kewalahan menghadapinya, bahkan nyaris menyerah.

Saking nakalnya, ia sudah mengoleksi banyak sekali surat SP yang dikeluarkan sekolah. Kalau dihitung, perkiraan jumlahnya mungkin sudah tidak terhingga.

Mempertanyakan informasi yang Aurel dapatkan, ia mengetahuinya dari teman-teman yang membuat geng lambe turah yang suka bergosip. Sebenarnya, Aurel tidak menyukai mulut-mulut yang mudah menyebarkan hal-hal buruk tentang orang lain. Itu menyakitkan saat membayangkan dirinya yang terkenal, tetapi dengan reputasi yang buruk, bukan dari prestasi.

"Gue gak bermaksud ngelawan, tapi bisa minta tolong gak? Kembaliin skateboard punya gue!"

"Nggak segampang itu, Deanna Auva Benazir." Faisal mengeluarkan senyum miringnya.

"Lo harus balikan sama gue lagi!" putus Faisal tanpa tedeng aling-aling.

"Ogah!" sela Auva rendah dan tajam.

"Yah, gue, sih, bukannya gak terima. Tapi kalo lo yang ngatain, anggap saja begitu." Faisal mengangkat bahunya, merasa tidak peduli pada kalimat menusuk yang dilontarkan Auva.

Aurel pun ingin sekali merelai kedua orang yang berseteru di depannya, tetapi tidak punya keberanian. Lagipula untuk apa ia melakukannya kalau yakin Auva bisa menyelesaikannya sendiri.

"Kalo lo nggak mau, harus tetap mau. Kalo enggak liat aja besok. Sampe jumpa!" Tak lupa dengan senyum liciknya, Faisal berlalu pergi. Gayanya yang sok keren itu malah membuat cewek-cewek berteriak histeris.

Aurel tersentak merasakan tangan Auva yang menarik lengan seragamnya, gadis itu menduga kalau Auva tengah menahan rasa dongkolnya.

"Lo balas dia jangan pake nada emosi. Harusnya lo bisa nahan, Va," ucap Aurel menggeleng.

Auva langsung menoleh. "Gimana jangan emosi? Dia aja gak berhenti gangguin gue, kok. Dia nggak bisa dibilangin pake mulut! "

"Mau bagaimanapun dia itu mantan elo." Benar, Faisal dulunya adalah pacar Auva sewaktu SMP. Namun, break di tengah jalan saat gadis itu menemukan cowok itu tengah bermesraan dengan teman sekelasnya.

"Ya, gue tau fakta itu." Aurel menarik napas, lalu membantu Auva yang sempat berjongkok untuk meredam emosinya.

"Sudah, ya, kita masuk kelas dulu. Nanti gue beliin es teh, deh, biar emosi lo cepat reda." Auva mengangguk saja, membiarkan Aurel menyeret lengannya menuju ke kelas.

Faisal itu termasuk musuh bebuyutan Auva sejak mereka putus. Orang yang paling dihindari oleh Aurel.

Mengapa? Selain karena benci, jika Auva dan Faisal bertemu, keduanya akan mulai cekcok sampai bermain baku-hantam. Aurel tidak mau kejadian terulang kembali dengan luka memar Auva yang kalah telak dipukuli oleh Faisal dan antek-anteknya.

Padahal yang membuat masalah selalu dari pihak Faisal, Auva yang tidak melakukan apa pun karena Aurel terus memantau kesehariannya. Tetap saja, si Faisal tidak berhenti melakukan kenakalan yang meresahkan warga sekolah.

Akan tetapi, selama Auva dalan pengawasan Aurel. Ia yakin sahabatnya tidak akan membuat masalah besar. Walaupun akibat ulahnya yang tidak berpikir dua kali, banyak menyebabkan masalah kecil yang kadang merepotkan.

"Ingat ya, Va, lo duduk manis dan jangan banyak tingkah. Kalo bosen, bilang ke gue. Boleh bobo, tapi awas ketauan." Aurel mengedipkan mata. Auva yang setengah menguap, hanya berdeham membalas.

"Oh, iya, kalo disuruh maju ke depan, harus nurut sama guru. Jangan ngelawan!"

"Kalo butuh apa-apa, buku kek, pulpen kek, atau lainnya ... lo tinggal datangin gue aja."

"Iya, bawel!" gerutu Auva malas.
Sudah hafal sikap Aurel yang berubah layaknya emak-emak yang cerewet kalau menyangkut masalah anaknya.

"Udah, ya, Rel. Gue udah bukan anak TK lagi sampe lo ingatin berkali-kali." Auva berhenti, membuat Aurel ikut terdiam.

"Nggak perlu berlagak sok nasehatin, kalo lo-nya aja belum bisa ngurus diri sendiri."

"Iya, deh, iya, gue ngerti. Lo ngapain jelasin lagi, sih? Telinga gue pengang jadinya." Aurel mencibir, kesal mendengar perkataan Auva yang dirasa diulang terus-menerus.

"Gue jelas mengulang, gue hapal banget sifat lo yang keras kepala." Auva melepas pegangan tangan Aurel pada dirinya, kabur masuk ke dalam kelasnya.

"Keras kepala? Apa iya?" Aurel mengecek mukanya lewat kaca kecil yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi.

"Gak tuh, gak keliatan. Gue malah cantik pake banget."

"Tuh liat aja. Ada aja yang kecantol ama kecantikan gue," gumamnya seraya mengulas senyum percaya diri.

***

Semua sudah duduk di tempatnya masing-masing. Ada yang duduknya tenang tidak bersuara, ada juga yang duduknya grasak-grusuk dan berisik di belakang.

Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi Aurel maupun Auva mampu mendengar suara yang sekecil suara tikus sedang mengagumi paras seorang cowok yang acuh tak acuh yang tengah memandang keluar jendela.

"Ganteng banget, itu siapa, ya, namanya?"

"Kepo ih, pengen deketin tapi gak berani."

"Tipenya gue nih, kayak cogan-cogan di aplikasi jingga yang sering gue baca."

Tangan Auva terkepal, Aurel dapat melihatnya. Sepertinya sahabatnya itu sangat terganggu dengan suara bising yang terjadi, meski tidak ia tunjukkan secara langsung.

"Jangan kelepasan, Va." Auva terdiam, tidak membalas ucapannya.

"Bentar lagi guru datang, jangan ribut bisa?!" Aurel sedikit menaikkan tinggi suaranya, hingga membuat para siswi yang tadi berbisik-bisik seketika tersentak kaget, kemudian menatapnya.

"Eh, iya, maaf, ya," kata mereka kompak,  kembali ke tempat duduknya.

"Selamat pagi anak-anak!" seru seorang wanita muda yang tampak modis berjalan memasuki kelasnya. Di genggaman tangannya ada sebuah map berwarna merah yang sepertinya adalah daftar absensi kelas.

"Selamat pagi juga, Bu!" balas seluruh isi kelas tak terkecuali Aurel dan Auva.

Auva terlihat berusaha memfokuskan diri menatap Bu Inaya yang membuka isi map merahnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kembali mengangkat kepalanya.

"Mumpung kemarin kalian baru menyelesaikan MOS, jadi hari ini Ibu akan memulainya dengan perkenalan. Kalo jadwal pelajaran berlangsung, mungkin besok atau lusa," jelas Bu Inaya, kedua bola mata beliau mengarah ke arah kiri, sedang mengira-ngira.

"Ah, iya! Kita bisa melakukan perkenalan secara acak, biar ibu tau siapa aja yang keciduk tidur pagi-pagi." Seringai Bu Inaya muncul, tatapan matanya mengawasi gerak-gerik anak didik barunya.

"Nah, kamu yang ganteng dekat jendela ... bisa maju ke depan?" Cowok yang hari ini menjadi pusat perhatian itu menelengkan kepalanya, menatap datar Ibu Inaya.

"Hm." Hanya dehaman singkat yang terdengar di telinga Aurel dan Auva. Cowok itu berkedip sambil memainkan pulpen bosan.

"Senyum dikit kek, gak sopan banget sama guru gitu." Mulut Aurel tidak tahan untuk berkomentar.

"Bisa maju ke depan?" ulang Inaya, guru wanita yang memakai baju atas bawah hijau itu berusaha sabar.

Perlahan, cowok itu mengangguk, melangkahkan kakinya tanpa suara melewati meja-meja yang berbaris rapi, mungkin sebuah kebetulan ujung sepatunya menabrak kursi milik Aurel. Membuat Aurel menatapnya dengan tatapan sinis.

Cowok itu tetap melangkah tanpa menghiraukan Aurel yang berdesis meminta cowok itu mengucapkan kata maaf.

"Bu, yang pake kacamata ketiduran!" seru Auva berteriak paling keras membuat suasana kelas mendadak hening.

Kalopsia, Revan! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang