Prolog

194 5 0
                                    

Cendol… Dawet… Seger…

Cendol… Cendol~

Sedang asyik-asyiknya bernyanyi ria di dalam kamar mandi, tiba-tiba saja musiknya mati bersamaan dengan air shower yang mendadak tidak keluar.

“AAAAAAK!”

Suara teriakannya terdengar hingga keluar.

Cklek!

Gadis itu nekat keluar dari kamar mandi bermodalkan tangan yang meraba-raba sekitar.

“MELO! MATAKU PERIH! JANGAN BERCANDA AH! INI NGGAK LUCU!” Teriak gadis itu, asal tuduh.

“Apaan si?! Gue aja baru bangun. Siapa juga yang ngajakin lo bercanda?!” Manik layu itu menatap malas sembari mengelak. Sedikit jengkel karena selalu namanya yang di sebut jika terjadi sesuatu yang seperti ini.

“Siapa lagi yang jahil begini kalo bukan kamu?! Cepet nyalain!”

“Listriknya mati bego! Gimana cara gue ngidupinnya?! Lo kata gue Thor apa?! Ngapain juga sih lo keluar nggak pake baju begitu? Gue nggak napsu!” Sarkasnya.

“Terus aku gimana? Harus bilas dimana dong?” Ya, kini dirinya kelabakan sendiri mencari sumber mata air lain.

Walau malas untuk sekadar bangun meninggalkan singgasana kebesarannya, Mau tidak mau ia harus membantu gadis yang terlihat sedang kesulitan itu.

Wajahnya kelewat datar. Tanpa menunggu persetujuan, dengan sigap ia memakaikan penutup agar tubuh sahabatnya itu tak terekspos bebas.

“Ini apa?” Gadis itu meraba, ingin tahu apa yang ia kenakan.

“Udah ayo ikut gue.”

---

Guys, gue bawa banyak makan—ASTAGHFIRULLAH MELO!!!”

“Kenapa sih baru pulang udah teriak-teriakan begitu?” Dengan malas gadis itu menoleh ke arah sumber suara sambil tangannya tetap mengusak-usak kepala yang masih setia menunduk pasrah.

“Lo ngapain Tari?!”

“Nggak liat? Gue lagi bantu bilas samponya.”

“YA TAPI NGGAK PAKE AIR KOLAM JUGA MELO!!!”

Namanya Melo, 22 tahun. Mahasiswa tingkat akhir jurusan agroteknologi di salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Anaknya humble, berjiwa bebas, anti ribet, sering asal berucap tanpa berpikir, jutek namun baik hati.

“APA?!!! Kamu bilang apa tadi?!” Gadis yang masih menunduk ini namanya Tari, 22 tahun. Mahasiswa jurusan sastra bahasa di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Sifatnya bertolak belakang dengan Melo. Tari ini penurut, baik hati, gemar membaca, agak pemalu, dan terkadang sulit di mengerti jika bahasa-bahasa sastranya menguar kala dirinya sedang bertutur kata. Satu lagi, sering menjadi bahan kejahilan Melo.

“Lo juga! Bego banget si, nurut aja di mandiin air ikan sama dia! Ini juga… Apa-apaan sih make-make jas hujan begini?!”

Kalau yang ini namanya Ara. Sebenarnya mereka seumuran, tapi karena masih awal tahun, Melo dan Tari menganggap Ara masih berumur 21 tahun karena bulan kelahirannya belum lewat. Satu kampus dengan Melo hanya berbeda jurusan. Ara memilih jurusan yang sesuai fashionnya yaitu tata boga. Katanya sih, supaya sahabatnya itu tidak kena penyakit busung lapar. Maklum, Melo dan Tari kalau sudah ketemu makanan suka lupa diri—apapun yang disediakan pastilah habis tak tersisa.

Hari ini bilangnya diet, tapi baru beberapa jam di lakuin sudah mengeluh lapar. Ujung-ujungnya, ‘makan ah… Dietnya ‘kan bisa besok’ selalu begitu.

Ara itu anak yang hyperaktif, pintar memasak pastinya, ramah, tapi baperan.

“JAS HUJAN?! Ara, emang sekarang lagi turun hujan?” Tari bertanya dengan mata yang masih tertutup rapat.

Begitulah Tari. Tetap manut, menuruti apa kata Melo yang terus menyuruhnya menunduk tidak berhenti menyiram walau sekarang ia jelas tahu darimana asal air yang mengguyur kepalanya.

“Dia nggak pake apa-apaan tadi, daripada nggak pake baju keluar rumah mending gue pakein jas hujan. Baik ‘kan gue. Lagi cuma itu yang tadi gue liat.” Terus dan terus ia bantu membasuh walau Tari sudah kewalahan meminta sudah. Bahkan sedari tadi Melo hanya melihat ke arah presensi Ara yang berada tidak jauh dari mereka.

“Mel udah… Amis.”

“Lagi mati listrik, kalo nggak pake air kolam… Pake air apalagi?”

“Mel…”

“Masih untung gue mau bantu, padahal tadi lagi tidur nyenyak banget.”

“Mel…”

“Gue mimpi ketemu—”

“UDAH BUSET! AERNYA MASUK IDUNG GUE!”

“Loh?! Lagian ngapain juga si lo balik badan jadi telentang begini?”

Jengah. Ara kelewat malas meladeni kedua bocah sinting itu. Sambil terus memasang wajah datar ia berjalan menuju MCB (miniatur circuit breaker) lalu dengan sekali sentuh, listrik pun kembali menyala.

Mengabaikan kedua makhluk abnormal itu, Ara memilih masuk ke dalam rumah. Meninggalkan keduanya yang masih terpaku di tempat, dengan tangan Melo masih menggenggam gayung berisi air, terus mengguyur makhluk lain yang juga tetap menerima dengan mulut menganga lebar.

Kamus TemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang