Pengakuan

1.4K 140 1
                                    

Happy reading
***

Anda
Assalamualaikum
Guys, kita ketemunya pindah ya. Diresto sebrang kafe langganan kita.

Aku menatap keluar dari balik kaca transparan yang ada di ruangan Kak Alan.
Ya. Sekarang aku lagi ada di ruangannya.

Hari ini aku diperkenalkan ke bawahan-bawahan Kak Alan. Tentu mereka kaget mendengar kabar pernikahan kami yang tidak mereka ketahui.

Ruangan Kak Alan cukup luas. Ada ruang tersendiri yang disulap jadi kamar. Kak Alan bilang, biasanya dia nginep di sini pas males pulang.

Sambil menunggu sahabat-sahabatku datang, aku melihat-lihat isi ruangan Kak Alan. Cukup rapih, sisi kanan lurus pintu terdapat meja dan kursi tempat Kak Alan bekerja di sisi kiri terdapat sofa dan juga meja tempat santai, di sampingnya berdiri kokoh rak buku yang tersusun rapih dan di belakang kursi itu terletaknya pintu kamar khusus Kak Alan.

Di meja kerja Kak Alan terdapat foto masa kecilnya. Omong-omong, tadi malam baru saja ia menceritakan tantang riwayat hidupnya. Menjadi yatim piatu saat usianya masih 5 tahun.

Orang tua Kak Alan meninggal karena kecelakaan. Karena hanya tinggal sendiri, akhirnya tetangganya sepakat menitipkan ia ke panti asuhan. Rumah peninggalan almarhum dijual oleh tetangga Kak Alan dan digunakan untuk biaya pendidikan Kak Alan. Itupun tidak cukup dan pada akhirnya kak Alan kerja paruh waktu saat kuliah dulu.

Ternyata seperti ini ya rasanya berbagi kisah dengan pasangan hidup.
Ah, bahasaku kayak orang dewasa saja.

Aku duduk di sofa sambil memperhatikan Kak Alan bekerja. Sesekali aku dapati ia memijit kepalanya.

"Kakak pusing?" tanyaku memperhatikan wajahnya yang sedikit lesu.

"Sedikit." Aku kasihan melihatnya yang berkali-kali memejamkan mata sejenak sambil memegang kepala.

"Kak, coba sini." Tanpa banyak bertanya ataupun membantah, Kak Alan menghampiri lalu duduk di sampingku.
Ia seperti sedikit kaget saat aku memijit kepalanya. "Maaf ya, Kak. Pegang-pegang kepala. Tapi Kakak terlalu tinggi, baring aja deh. Capek nih kayak orang mau metik mangga." Kak Alan tersenyum tipis namun agaknya ia seperti ragu saat aku minta untuk berbaring. Karena lama, akhirnya aku menarik tubuhnya dan meletakkan kepala Kak Alan di pangkuanku.

Walau sepertinya Kak Alan agak kaget, namun akhirnya ia diam dan menurut. Mungkin kepalannya memang sudah terlanjur sakit.

"Apa mau ke dokter, Kak?" tawarku yang sudah mulai panik saat melihat wajahnya yang memucat.

"Nggak usah. Saya nggak apa-apa, kok. Nanti juga sembuh," jawabnya sambil membuka matanya sejenak.

"Beneran?"

"Iya, Alina."

"Kak."

"Iya?"

"Sampai kapan kita akan seperti ini?" tanyaku membuat alis Kak Alan mengernyit.

"Sampai kapan kita bertahan dengan pernikahan yang hanya seperti sebuah mainan ini?" pertanyaan itu entah mengapa lolos begitu saja dari bibirku.
Kupikir, sepertinya Kak Alan memang tidak memiliki perasaan apapun denganku. Sejauh ini yang kutangkap ia seperti agak  menghindar dariku.

Terkadang saat aku terjaga di tengah malam, Kak Alan tidak tidur di sampingku tetapi tidur di sofa.

Rasa bersalah timbul begitu saja. Sepertinya ia begitu tersiksa dengan pernikahan ini. Ditambah lagi aku sebagai istri tidak berguna, masak tidak bisa, beberes tidak bisa. Saat belajar dengannya kemarin pun akhirnya aku hanya bisa memotong tomat dan daun bawangnya saja. Selebihnya Kak Alan lakukan sendiri.
Menghaluskan bumbu saja aku tidak bisa.

Kak Alan kini duduk di sampingku. Memandangku dengan sendu.

"Maaf sudah buat Kak Alan terlibat dalam masalah Alina sampai Kak Alan harus menjalani pernikahan ini." Aku terus menunduk tidak berani memandang wajahnya. Rasanya aku begitu jahat mengorbankan kehidupan seseorang yang tidak bersalah demi menolong nama baik keluargaku.

Aku merasa sangat licik saat ini membuat seorang yatim piatu harus terjebak dalam pernikahan ini.

"Kenapa tiba-tiba seperti ini?" Ia berucap begitu pelan membuat hatiku semakin teriris.

Bodohnya mengapa aku terlalu percaya diri hanya karena isi pesan Kak Alan yang kubaca di ponsel Abang.

Nyatanya, ia sekarang seperti tidak bahagia denganku. Dan lebih bodohnya lagi kenapa hati ini berharap lebih akan pernikahan ini?

"Maaf Alina sudah menjadi beban Kak Alan," lirihku tak berani mengangkat kepala. Perlahan tapi pasti air mata yang sejak tadi aku tahan akhirnya lolos juga.

"Kamu kenapa, hm? Saya ada salah ucap ya sama kamu?" Perlahan kepalaku terangkat saat tangan kekar Kak Alan menyangga dengan tangannya.

"Kamu bukan beban bagi saya."

"Lalu untuk alasan apa Kak Alan mau menjalani pernikahan ini?" Bibir lancangku begitu sulit dikendalikan. Entah mendapat keberanian dari mana aku pun tak tahu.

Aku beranikan diri menatap mata pria yang sekarang berstatus suamiku. Rasa bersalah begitu menjalar saat mendapati mata sendunya.

"Karena saya cinta kamu Alina. Apa kamu tidak tahu?"

Bersambung....

Double up kan?
Seneng nggak nih?

The power Of Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang