Belajar Masak

1.3K 134 4
                                    


Pukul 04.00 Alina terbangun mendengar seseorang membaca Alqur'an. Perlahan gadis itu mendongak, matanya menangkap sosok Alan yang duduk bersimpuh menghadap kiblat di atas bentangan sajadah.

Jujur, Alina sangat malu sekarang. Disaat suaminya telah khusyuk beribadah ia malah enak-enakan tidur.

Masih jam segini? Apa kak Alan habis sholat tahajud?

Perlahan Alina bangun. Matanya begitu mengantuk tetapi berusaha ia lawan. Alan sama sekali belum menyadari jikalau istrinya sudah bangun.

Alina beranjak dari kasur king size milik Alan. Namun nahas, baru melangkah satu kali Alina yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya tak sengaja kakinya tersangkut selimut. Alhasil kepalanya terbentur nakas.

Dugh

"Aawwww" Alina mengerang kesakitan sambil memegang dahinya. Alan yang terkejut langsung berlari menghampiri istrinya.

"Kamu kenapa?"

Alan begitu cekatan, meletakkan Al-Qur'annya di atas nakas lalu membantu Alina berdiri.

"Nggak tahu, nyangkut kakinya," ucap gadis itu sambil memegangi dahinya.

Alan membantu Alina berdiri dan meletakkan selimut ke atas kasur. "Masih sakit?" tanya Alan dengan nada khawatirnya melihat dahi Alina yang memerah.

"Lumayan, nggak apa-apa kok. Bentar lagi juga ilang sakitnya." Alina berlalu dari hadapan Alan menuju kamar mandi. Sebenarnya ia merasa sangat malu dalam hatinya tak henti-hentinya membodohkan diri sendiri yang ceroboh.

Setelah mencuci muka Alina memandang pantulan dirinya di cermin yang ada di sana. Tangannya meraba dahi yang masih terlihat memerah. Perlahan pipinya terasa memanas saat mengingat Alan yang begitu terlihat khawatir.

Beberapa hari tinggal bersama dengan
Alan perlahan membuat ia sedikit demi sedikit paham akan sikap Alan.

Pria itu terlihat pendiam, tidak banyak bicara. Beda dengan Alan yang sebelumnya Alina kenal. Biasanya pria itu bersikap wajar pada umumnya, tidak cerewet tapi juga tidak pendiam.

Apa mungkin karena Alan belum terbiasa?

Alina sendiri bingung. Katanya, Alan begitu mencintainya tetapi mengapa seolah saat ini gadis itu yang berusaha mendekat?

Lalu ada apa dengan gadis itu pula. Mengapa ia ingin sekali mendengar ucapan cinta dari Alan?

Ah, begitulah anak muda. Sering kali sulit dimengerti.

***

Pagi ini Alina tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ingin menyiapkan sarapan, tapi ia tidak bisa memasak. Terakhir kali ingin membantu Bi Asih saat itu, ia memilih kabur karena matanya pedih terkena bawang.

Tidak ada pengalaman memasak sedikitpun.

Hanya bisa memasak mie instan. Tapi sepagi ini apakah boleh makan mie instan?

Ck ck. Kasian sekali nasib perut pengantin baru.

"Mau ngapain, Dek?"

Alina menoleh mendapati Alan sudah berdiri dibelakangnya. Wajahnya terlihat segar karena habis mandi.

Lalu apa kata Alan tadi? "Dek?"

Alina sendiri tak percaya dengan yang baru saja ia dengar.

"Aa-anu, Kak. Mau siapin sarapan. Tapi nggak tau mau masak apa," jawab Alina sedikit tergagap. Pasalnya baru kali ini ada yang memanggilnya "Dek"  selain orang tua dan kedua kakaknya.

"Memang kamu bisa masak?" tanya Alan sambil menahan tawa. Pria itu paham jika sebenarnya Alina tidak bisa memasak. Gadis itu hanya menggeleng lemah sambil menunduk.

"Maaf."

"Tidak masalah, hari ini saya yang masak," tutur Alan sambil menepuk kepala Alina pelan.

Kepala yang disentuh kenapa hati yang nyes ya? Ayolah Alina, kamu kenapa?

Gadis itu merasa debaran aneh dalam dirinya beberapa hari ini.

"Tidak masalah kamu tidak bisa masak, bukannya menikah itu membangun rumah tangga, bukan rumah makan. Hm?" ucap Alan mencoba mencandai istrinya. Ia sedikit menyesal telah bertanya tentang kemampuan memasak Alina.

"Tapi Alina pengen belajar."

"Oke. Kalau begitu bantuin saya," ujar Alan. Tangannya sudah terlebih dulu cekatan menyiapkan peralatan masak yang ia butuhkan.

"Mau masak apa?"

"Pengen nasi goreng." Alina nyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Oke!"

Alan menyiapkan nasi yang kebetulan sudah ia masak sejak bangun tidur tadi.
Pria itu mengeluarkan nasi dari rice cooker  meletakkannya di atas meja.

"Alina yang halusin bumbunya ya." Alan mengangguk, dalam hati ia tak yakin Alina bisa melakukan hal itu. Tapi biarkan saja semau Alina. Mungkin gadis itu benar-benar ingin belajar.

"Kak Alan! Astaghfirullah, hahaha." Alan menoleh heran pada Alina yang sudah tertawa kencang sambil memegang cobek.
Tawa Alina menular membuat ujung bibir Alan ikut berkedut.

"Cantik, kan?" Alina hanya mengangguk tanpa berhenti tertawa.

Sebenarnya Alan malu, hanya saja sudah terlanjur. Alina sudah mengetahui aib Alan di dapurnya sendiri.

Siapa yang tak tertawa melihat seorang suami yang gagah memiliki barang seperti ini?

Siapa yang tak tertawa melihat seorang suami yang gagah memiliki barang seperti ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Kakak dapet dari mana?" tanya Alina. Tawanya perlahan berhenti.

"Umi yang belikan," sahut Alan sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
Alina kembali tertawa, sungguh ini sangat menggelikan.

"Yaudah ini apa dulu yang diulek?"

"Bawang putihnya dulu, 3 siung saja." Alina menurut, mengambil 3 siung bawang putih lalu mengulasnya. Sebelum dihaluskan tak lupa ia cuci dulu.

"Mau ulek nggak tega, ih. Sayang!" Alina kembali tertawa saat tangannya hendak melanjutkan aksi mengulek bawang putih.

"Sayang siapa? Saya?"

Gadis itu berhenti dari tawanya seketika saat Alan memandangnya dengan lekat. Bukan itu maksud Alina. 'Sayang cobeknya' harusnya tadi ia mengucapkan dengan lengkap.

Namun dengan bodohnya Alina hanya mengangguk menjawab pertanyaan Alan.

Kepala nggak tahu malu!

Rutuk Alina menyesali kelatahan kepalanya sendiri.




Bersambung....




The power Of Jodoh (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang