INTERVAL (Malika Adzra)

1.1K 120 36
                                    

Happy Reading⚘⚘

***

Mobil alphard berwarna putih itu melaju kencang melewati jembatan yang menghubungkan antara tanah jawa dan madura ini. Jalanannya tampak lengang dan sepi. Mungkin karena masih sangat pagi.

"Adzra, kita berhenti di pasar galis sebentar, Bunda harus membeli beberapa barang" ujar Bunda yang duduk di sebelahnya. Tapi seperti biasa, putri yang kini menjadi sematawayang itu hanya diam tak menanggapi. Dia sibuk menatap ke luar jendela.

Meski sudah hampir sembilan belas tahun hidup di surabaya, sekalipun dia tak pernah mencoba pergi melintasi jembatan yang melegenda ini. Bukan karena takut, hanya tak ingin dan tak memiliki kepentingan.

Adzra yang kini duduk di sebelah Bella, sang ibunda. Menjadi lebih parah dari sebelumnya. Semenjak kepergian Mentari yang meninggalkannya tanpa penjelasan, sikapnya menjadi apatis meski tak lagi kasar karena mencoba berubah. Pikirannya makin keras dan emosinya tak bisa terkontrol.

Mentari pergi di saat dirinya tertidur selama enam bulan. Selepas mendapatkan donor jantung milik orang yang meninggal karena kecelakaan saat itu dia terbaring koma. Enam bulan hanya terbaring di atas kasur tanpa bisa bergerak sama sekali. Seperti ingin mati, tapi dipaksa hidup. Sangat menyakitkan.

Laju mobil mewah itu benar-benar terhenti di salah satu pasar yang cukup ramai. Letaknya tepat setelah keluar dari area jembatan suramadu. Bunda menyebutnya pasar Galis, entah untuk apa dan membeli apa, Adzra hanya mampu memperhatikan tanpa ingin ke luar.

Bunda dan Mang Saswi keluar untuk membeli beberapa barang. Entah membeli apa Adzrapun tak tahu, menurutnya, Bunda membelikan banyak oleh-oleh untuk perempuan bernama Asyila yang baru beberapa bulan ini dia kenal.

Seorang istri Kyai yang mengajarkan banyak ilmu agama pada Bundanya yang awalnya sama sekali tak mau mengenal tuhan. Berkat dia juga Bundanya bertaubat dan hijrah dengan menutup aurat. Kini rasa cintanya pada Adzra benar-benar utuh meski tak pernah gadis itu tanggapi.

Adzra hanya tersenyum kecut mengingat fakta itu. Andai Bundanya mau menyadari kewajibannya lebih awal mungkin Kenan tak akan mati mereguk ekstasi karena stress dan Mentari tak akan pergi. Orang egois, selamanya tetap egois. Tak perduli semenyesal apapun mereka.

Memilih merekatkan lagi bluetooth yang berada di telinganya, Adzra mencoba tidur. Cukup lelah mengingat keadaan paling menyakitkan itu.

Tapi sebelum menutup mata, netranya menangkap sesosok pengemis di seberang jalan yang hendak menyebrang. Tongkat ringkih yang ia gunakan untuk membantu menunjuk arah dalam keadaan mata yang buta tampak tak lagi berguna.

Mata Adzra bergerak bergantian ke arah mobil yang berlalu lalang. Seketika gadis itu membuka pintu dan berlari tak tentu arah menghampiri wanita setengah baya yang hampir saja terserempet mobil.

Keduanya sama-sama jatuh ke samping. Perempuan itu berteriak histeris, sementara Adzra memegangi bekas operasinya yang sedikit terkoyak karena benturan yang cukup keras.

"Adzra!!!" Bunda yang melihat kejadian itu berteriak kalap dan hendak menghampiri Adzra. Beruntung orang-orang di sampingnya berhasil mencegahnya karena keadaan lalu lintas yang cukup padat.

"Ibu baik-baik saja?" tanya Adzra pada perempuan yang kini tengah meraba-raba sekitaran untuk mencari tongkatnya. "Kakeh sapa? Kakeh .... "

Malika AdzraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang