Lengang. Bercak-bercak pinggir jalanan Cam River bekas hujan satu jam yang lalu yang masih tersisa. Dikit orang yang berniat berjalan, meski waktu masih menunjukkan pukul tujuh. Barangkali malas sebab cuaca kelewat dingin.
Pemuda bertubuh tinggi itu mempercepat gerak kaki.
Tangannya juga ikut merapatkan jaket boomber sewarna tulang bak cukup lama tertimbun tanah. Setelah turun dari stasiun giliran jalan dipilihnya. Pasal menghemat— tak tahu kapan pekerjaan baru akan dihampiri atau menghampiri.
Tepat setelah Win Metawin yang malang baru saja dipecat dari pekerjaannya.
Win diam. Sudah hampir sepuluh menit berdiri di posisi yang sama, tetapi bos empat puluh tahunan itu tak kunjung membuka mulut.
Lama menatap Win ragu, sekali lagi akhirnya mampu dalam satu tarikan napas berbicara.
"Win... maaf, kau tidak bisa bekerja di sini lagi."
Sorot Win berubah nanar. "Maaf?"
Wanita itu prihatin. Namun, dia tidak bisa berbuat apa pun. Kafenya sudah terlalu minim pelanggan. Seiring waktu, wanita itu juga tidak mampu lagi menggaji seluruh karyawan.
Opsi paling tepat adalah memecat setidaknya satu, karenanya dia memutuskan Win dengan berat hati. Bukannya karena dia tak suka kinerja pemuda jangkung itu.
"Aku minta maaf, kau dipecat."
Di sela-sela pikirannya yang melayang-layang tentang biaya hidup. Win tetap tersenyum untuk mendongkrak anggukan pasif.
"Bos tidak perlu merasa bersalah, aku paham."
Wanita itu menepuk kilas bahu Win. Memberi amplop cokelat. Gaji Win. Tak perlu dan tanpa dicek pun Win percaya wanita itu memberi imbalan setimpal. Paling tidak setengah yang seharusnya didapat untuk bulan ini.
"Semoga kau lebih beruntung di pekerjaan baru, Win."
"Terima kasih."
Kemudian, di langkah kaki itu lah Win pergi.
Tak ada tempat lain yang akan ditujunya.
Hanya ruang sederhana yang menjadi perlindungan. Apartemen kecil yang setidaknya aman dari tunggakan, Win tidak perlu khawatir akan diusir mungkin untuk jangka tiga bulan.
Dilepasnya converse dan diletakkan di rak sudut pintu. Win buru-buru menuju kamar mandi, berita di televisi menunjukkan ramalan cuaca buruk. Bahwa temperatur tidak akan naik di hari dekat. Sembilan derajat celcius.
Win tidak terlalu percaya ramalan, hanya saja fakta empat puluh delapan jam kurang lebih, meski matahari masih memancar. Namun, di tiap hembusan angin yang menyerbak ke pori-pori hanya ada hawa dingin.
Besok, Win punya kelas pagi. Ia ingat itu. Setelahnya, Win akan habiskan waktu untuk mencari pekerjaan baru.
Jika tidak gesit, maka mungkin besok makan pun akan dilewatkan—lagi. Tidak, sebenarnya pemuda dua puluh satu itu juga tak terlalu terpaku dengan bahan pokok konsumsi. Hanya tubuhnya saja yang menentang keras Win hingga beberapa kali membuat Win dilarikan ke rumah sakit.
Shower diputar. Tak ada air hangat. Tubuhnya sudah menyamai hawa kulkas, tetapi Win masih betah berada di bawah pancuran.
Sebentar saja.
Win menggeleng samar.
Klakk
Sraasshhh
KAMU SEDANG MEMBACA
Novellus ×brightwin [discontinued]
FanfictionHidupnya monoton. Kuliah untuk melanjutkan pendidikan dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Pada dasarnya, Win hanya melakukan sesuatu untuk bertahan hidup. Dalam gemuruh petir dan hujan lebat. Suara ketukan samar menggerakkannya menarik kenop pintu...