dva

485 65 12
                                    

"Win!!"

Yang dipanggil menoleh. Win tersenyum, wanita setengah abad yang berlari kecil mendekat.

"Bibi May?" Sapa Win hangat.

Wanita itu mengangguk, memberi senyum balasan. "Kau akan kuliah?"

"Iya. Maaf Bi," Win menunduk sedikit. "Win hari ini sepertinya tidak bisa menjaga nenek." Rautnya penuh penyesalan.

Bibi May memaut kedua lengan Win. "Kenapa tidak bilang?" Ujar Bibi May sembari memicing.

Balas Win dengan rupa tak paham arah pembicaraan wanita itu. "Bilang...?"

"Kau habis dipecat dari pekerjaanmu kan? Dasar! Kan sudah bibi bilang kalau ada apa pun kau tidak perlu sungkan bicara dengan bibi, Win!"

Agak kaget. Win baru dipecat kemarin, tetapi wanita berdarah campuran asia ini sudah tahu. Entah dari mana, Win tidak memiliki cukup nyali menanyai langsung. Hanya seperti ini saja perasaan bersalah sudah membuncah.

Win menggigit bibir. "Win minta maaf ya? Win cuma tidak ingin bibi tambah repot... belum lagi bibi sudah terlalu banyak membantu Win."

Mimik muka bibi May melembut. Mengacak surai Win halus. "Bibi ini sudah menganggap kamu anak sendiri, Win. Ingat? Lain kali kau harus bilang kalau ada apa-apa, janji?"

Kepala Win bergerak naik turun. Tanda menurut. "Janji."

Selama ini bibi May terbilang kelewat baik terhadap Win. Semenjak Win pindah ke apartemen ini, bibi May bersikap sangat ramah. Win mudah dekat dengan bibi May, selain mengingatkan bibi May pada mendiang anaknya yang kebetulan sepantaran dengan Win. Juga karena nenek, ibu bibi May yang dekat pula dengan Win.

"Tunggu sebantar— jam berapa kelasmu akan dimulai?" Tanya bibi May.

"...sembilan." Jawab Win. "Bibi ingin minta tolong sesuatu?"

Direspon oleh gelengan.

"Ah, kau akan terlambat jika mampir..." Bibi May bergumam. Lalu, menepuk bahu Win kilas. "Tapi tak masalah jika itu cuma sebentar, kan? Kau tunggu di sini, oke? Bibi akan kembali."

"Bibi mau ke mana???"

Terlambat. Bibi May sudah tidak dengar. Berlari kecil menaiki tangga arah apartemen miliknya.

Astaga!

Sececah ingatan membuatnya berbalik. Sekitar tiga meter di belakang ternyata sang dewa kematian— Bright, tegak, masih dalam tatapan datar. Lurus.

Win menyengir gabir.

"Kak Bright yakin ikut gitu aja?" Win melirik dari atas hingga bawah.

Wajah sang kematian tanpa rona dan tak ekspresif.

Menghembuskan napas. Yang Win permasalahkan di sini adalah tampilan Bright— memang sih wajah itu tidak kusam, bajunya juga tidak kotor. Namun, Win tetap menginginkan Bright berpenampilan agak manusiawi.

Win menggosok ujung hidungnya, menimang-nimang. "Kak Bright mau mandi, gak?"

"Mandi?"

Win menunjuk ke arah satu-satunya kamar mandi yang tersedia. "Mau gak? Bersihin diri gitu, nanti aku siapin air hangat."

Bright mengangkat sebelah alis. "Aku sudah melakukan hal itu lima hari sebelumnya, di Flegethon."

"Fle—apa?"

"Sungai api."

Mata Win membeliak. "Api?! Itu kan bahaya... oh iya! Kak Bright kan dewa," Win mengangguk-angguk akan pertanyaan yang jawabannya ia temukan sendiri. "Tapi kan itu di dunia bawah, ya? Otomatis beda dong, kan kak Bright sekarang jadi manusia, di dunia manusia juga."

Novellus ×brightwin [discontinued]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang