3. BERBEDA

51 24 49
                                    

Seusai kegiatan berbelanja di pasar besar, Isabelle berjalan dengan riang memasuki rumah, dia menyapa semua orang yang ditemuinya. Hingga sampai di ruangan tengah, ia melihat Frederick Holle---papanya---sedang bersantai membaca koran hari ini.

Isabelle mendekatinya perlahan dan berdiri di dekatnya. "Selamat siang, Papa."

Pria itu mengangkat wajahnya melihat sekilas ke arah Isabelle. "Duduk! Bagaimana belanjanya? Elle senang?"

Isabelle menghempaskan tubuhnya di kursi dekat papanya, seraya mengangguk antusias. "Sangat menyenangkan, Papa! Ada banyak kain dengan warna cantik di sana. Oh, ya, Papa, di sepanjang jalan tadi, Elle melihat banyak pemuda yang sedang berlatih dengan senjata di lapangan, apa kakak juga seperti itu, Papa?"

"Bagus, kalau kamu senang. Tapi kakakmu bersekolah, bukan ikut militer seperti para pemuda yang kamu lihat."

"Oooh," Isabelle menunduk sambil memainkan jemarinya, bingung untuk memulai pembicaraan berikutnya. "Eeemm, Papa ...."

"Katakan."

Isabelle, memikirkan kata-kata yang tepat, "Anu ... apa Elle boleh ikut ibuk belanja ke pasar lagi?"

"Boleh."

"Benar? Boleh? Terima kasih, Papa."

"Tapi hanya sekali setiap bulan, bukan setiap minggu."

"Aaaah, baiklah." Isabelle sedikit kecewa, tapi itu jauh lebih baik daripada tidak diijinkan sama sekali. Menentang ucapan papanya pun tak ada gunanya. Akhirnya dia memutuskan untuk bangkit dan menyusul ibunya yang sibuk di dapur.

Belum lima langkah Isabelle berjalan, papanya berbicara lagi, "Bulan depan, kakakmu pulang."

Isabelle terdiam saat mendengar ucapan papanya, tak tahu harus berkata apa, rasa takut mulai merayap di hatinya. Dari dulu, kakaknya itu tidak pernah menyukainya, pemuda yang tiga tahun lebih tua itu sering kali membentak dan melontarkan kata-kata kasar padanya, tak jarang pula dia mendapat pukulan dari sang kakak.

"Iya, Papa," hanya kata itu yang bisa Isabelle ucapkan sambil kembali berjalan ke arah dapur dengan wajah sedikit pucat.

Ajeng yang melihat kedatangan putrinya, dengan wajah tertekuk, merasa sedikit khawatir. "Ada apa, Nduk? Kamu sakit? Apa kecapekan di jalan?"

Isabelle menggeleng, berusaha tersenyum, "Tak ada apa-apa, kok, Buk. Tadi, Isa sudah bilang pada papa, dan papa sudah ngasih ijin ke Isa buat ikut Ibuk belanja lagi. Tapi papa bilang cuma boleh sekali tiap bulannya."

Ajeng tersenyum teduh mendengar penuturan putrinya yang terdengar merajuk. "Isa harus menurut kata papa. Hmm?"

"Eemmn!" Isabelle mengangguk seperti anak kecil.

Isabelle menyadari posisinya di rumah itu, walaupun selama ini dia mendapat kasih sayang dari papanya, tetap saja tidak menghapus fakta jika dia hanya seorang anak nyai. Juga tidak menjamin kehidupannya di masyarakat.

Isabelle bersyukur menjadi bagian dari keluarga yang baik. Papanya, memperbolehkan dia belajar membaca dan menulis bersama sang kakak. Bahkan sekarang Mama Margaret memanggilkannya guru untuk belajar menjahit dan menyulam di rumah seminggu sekali.

"Nona Elle, sepertinya Anda memiliki bakat menjahit," puji Nyonya Ellen, guru menjahit yang di pilih untuk mengajarinya.

Isabelle tersenyum sumringah saat mendengar pujian dari sang guru. "Terima kasih, ini semua berkat Anda."

"Tidak, tidak. Nona, Anda belajar dengan sangat cepat, hasilnya juga sangat rapi, ini namanya bakat."

"Nyonya terlalu memuji."

Side Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang