4. KISAH

47 23 46
                                    

Waktu berlalu dengan cepat, tanpa terasa tujuh bulan telah berlalu sejak pertemuan pertama Hasan dan Isabelle. Hubungan mereka berdua saat ini sudah semakin akrab.

Hasan mungkin telah hilang akal, karena setiap kali Isabelle berkunjung ke tokonya, maka Hasan akan selalu bersiap sedia melayaninya. Di setiap kesempatan, mereka akan mengobrol ringan, dan sesekali bersenda gurau.

Hasan tidak lagi mempedulikan jauhnya perbedaan di antara kedua keluarga mereka yang pernah dikatakan Mei. Kali ini dia ingin mengikuti kata hatinya, tak peduli apa yang akan terjadi.

Bagi Hasan saat ini, yang terpenting adalah usaha. Jadi dia akan berusaha mengambil hati Isabelle terlebih dahulu. Masalah orang tua, akan dia pikirkan di kemudian hari.

Hasan sedang mengenang percakapannya dengan gadis pujaan hati saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Lancar usahanya?"

Hasan berjengit kaget, seketika menoleh ke belakang. "Bimo! Mengagetkan saja. Usaha apa maksudmu?"

"Tentu saja pendekatanmu sama nona cantik putri nyai Ajeng."

"Ahahaha." Hasan melihat ke sekitar. "Tak bisakah kau pelankan suaramu?"

"Ah, maaf! Jadi bagaimana?"

"Seperti yang kau lihat, aku masih berharap. Semoga aku bisa mengutarakan perasaanku padanya dalam tahun ini."

"Kamu tahu, aku selalu berada di pihakmu."

"Aku sangat berterima kasih untuk itu." Hasan menepuk balik pundak Bimo. "Bagaimana perkembangan situasi saat ini?"

Bimo menghela nafas berat. "Aku dengar BPUPKI sudah menyelesaikan 80% tugas mereka. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memerdekakan diri. Berharap saja semoga para Nippon itu tidak menipu kita."

"Semoga semua berjalan lancar."

Bimo tak menyahut selain mengangguk mengiyakan.

****

Beberapa hari kemudian, terdengar kabar menggemparkan tentang peristiwa pengeboman dua kota besar di Jepang yang dilakukan oleh pasukan sekutu, guna menaklukan tentara Jepang.

Kemudian menyusul berita tentang pasukan Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, yang disebarluaskan oleh stasiun radio pusat, serta ultimatum sekutu kepada seluruh pasukan Jepang untuk meletakkan senjata dan menyerahkan negara jajahan mereka.

Sebagian besar rakyat Indonesia menyatakan keberatan serta kekecewaan mereka, kemerdekaan sudah di depan mata, tapi dalam beberapa hari kedepan, tentara sekutu akan mengambil alih, dan kerdekaan mereka melayang.

Jeda waktu sebelum tentara sekutu datang tentu tidak disia-siakan oleh prajurit Indonesia. Beberapa pos tentara jepang terdekat segera mereka ambil alih.

Hasan tentunya tak ketinggalan dalam setiap aksi tersebut. Dia bergerak bersama Bimo dan anggota pasukan yang lain untuk mengambil alih senjata dari para prajurit jepang yang telah menyerah.

Hari kedua, pasukan Hasan mendapat perintah agar segera melakukan perjalanan ke Jakarta untuk mengamankan proses proklamasi. Para anggota PPKI telah melakukan segala cara supaya negara Indonesia bisa merdeka.

Malam itu juga mereka berangkat ke tempat yang di minta. Hasan dengan wajah gusar tetap berangkat menjalankan tugas.

Bimo yang sudah mengenal sifat Hasan menyadarinya. "Kamu kenapa? Seperti banyak pikiran."

"Gak apa-apa."

"Kepikiran gadis itu?"

Hasan mengangguk lemah. "Minggu ini jadwal dia keluar rumah. Sedangkan aku sekarang harus pergi dengan situasi seperti ini, tanpa tau pasti apa bisa kembali pulang atau tidak."

Side Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang