"Keluar kamu dari rumah ini!" Suara menggelegar Nura― Mamanya, terdengar memenuhi langit-langit ruangan.
"Kamu udah keterlaluan kali ini Nila! Cukup Nila, cukup. Mama udah lelah ngadepin kamu. Apa nggak ada rasa penyesalan di hati kecil kamu, hah? Diki meninggal gara-gara kamu. Jangan pura-pura nggak tahu, ya, kamu!" Bentakan campur tangisan yang Nura keluarkan mampu membuat Nila terguncang.
Ia tak mampu bersuara. Bibirnya mendadak kelu walau untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Yang dilakukannya hanya menangis terisak-isak di hadapan Nura. Nura terus saja mengeluarkan semua isi hatinya yang katanya beliau pendam selama ini. Sampai ia tak menyangka alasan beliau memperlakukannya setega ini hanya karena hal yang tak masuk akal.
"Karena kamu menyerupai ayahmu!" Nila tertegun.
"Tapi, Ma. Aku tak meminta untuk dilahirkan persis seperti ayah."
"Keluar kamu sekarang juga! Mama muak liat wajah kamu!"
Hancur sudah harapannya untuk meluluhkan hati Nura. Ia telah gagal melakukannya. Ini semua salahku. Benar kata mama, aku yang telah membuat Kak Diki meninggal. Padahal kakak yang sayang sama aku cuma Kak Diki.
Dua orang yang Nila sayangi telah meninggalkannya. Anton― Ayahnya dan kakak keduanya― Diki. Tersisa dua orang lagi, yakni Nura dan Dika― kakak pertamanya. Tetapi, kini mereka bahkan mungkin membenci dirinya.
Sekarang ia bingung harus bagaimana dan harus kemana. Kini Nila hanya seorang diri. Akhirnya ia melangkahkan kaki menyusuri jalan, tapi tak tahu harus pergi ke mana. Sekarang ia tak punya siapa-siapa lagi. Kalaupun ia pergi menumpang di rumah temannya, itu akan sangat merepotkannya. Belum tentu juga orang tuanya akan setuju.
Tak sadar kakinya menuju sebuah taman kota yang pada malam hari ini begitu ramai. Lalu ia mencari tempat yang lebih sepi dari ramainya orang-orang yang kelihatannya sedang bersenang-senang.
Berhenti sejenak. Istirahat sebentar tak jadi masalah. Kebetulan ada bangku kosong di taman ini dan tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang tidak jauh darinya.
Kini hanya tangisan pilu yang menemani dirinya. Bingkai mata sembab yang menghiasi wajahnya. Ia memeluk kakinya semakin erat dan mencoba untuk memejamkan matanya, tetapi air mata itu tak juga berhenti mengalir. Sangat sulit baginya 'tuk menghapus kilasan percakapan yang teringat di otaknya.
"Hey!" Perlahan Nila mengangkat kepalanya untuk melihat siapa orang yang menyapanya itu."Kenapa kamu di sini?"
"Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu di sini? Ini udah malam, Nil." Orang itu duduk di sebelahnya sambil mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Nila langsung memeluk orang itu. Ia menumpahkan semua air matanya pada dada bidang cowok tersebut. Ia tak bertanya apa alasan Nila menangis, yang ia lakukan hanya memeluk Nila balik dan mengusap punggungnya untuk menenangkannya.
"A-aku, aku sedih, Nil." Ucapannya bahkan terbata-bata.
"Udah diem aja, nangis dulu aja sampai kamu tenang, ya."
"Makasih, ya, Nil." Senyum tulusnya mengembang ketika mengatakannya.
"Apa pun untukmu, Nil. Danil akan selalu ada untuk Nila. Senyum dong." Nila menunjukan senyumnya untuk membuktikan pada Danil bahwa Nilanya Danil pasti bisa.
――――――――――――――――――
Happy reading untuk semuanya😉
Baru prolog, konfliknya masih lama.
Terus baca cerita aku yaa sampe ending.
Vote & komennya jangan lupa <3Cerita baru emang udah pasti sepi pembaca. Tapi aku yakin lama kelamaan lapak cerita ini pasti rame. Percaya diri itu perlu kan hihii
Absen dulu dari mana aja niih?
Spam untuk next.
Pesan untuk author apa nih hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionAku anak terakhir. Kakakku kembar. Tetapi, bukan aku yang disayang oleh kedua orang tuaku. Melainkan kakak kembarku. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Tapi fakta itu tak menjadikanku dipedulikan oleh mereka. Orang bilang aku berbeda. ...