Senyum boleh terbit.
Tapi hati tak dapat berkelit.-Danil-
"Gue cuma kangen lo, Nil."
Deg
"Tapi bohong, hahaha." Bagaimana perasaan kalian saat sudah terbang tinggi, lalu jatuh sedalam-dalamnya. Sangat sakit, bukan?
Nila mendelik kesal pada Danil. "Garing lo!" ketus Nila.
Tapi Danil masih saja asik tertawa, seakan-akan itu sangat lucu baginya. Padahal kenyataannya tidak sama sekali.
Setelah tawanya mereda barulah ia mulai berbicara, "Gue tuh gabut makanya gue ngajak lo jalan," ujar Danil menjelaskan.
"Kira-kira lo mau kem―"
"Toko buku! Lo yang traktir. Gue pengen novel," jawab Nila antusias.
"Eh, enggak mau gue. Lo aja yang beli, gue cuma anter," elaknya. Licik kan dia. Tadi ngajak jalan, terus nanya mau kemana. Tapi malah nolak saat Nila ajak ke toko buku.
Danil payah ya. "Ah, enggak seru. Tadi kan lo nanya," balas Nila dengan muka lesu.
"Ya tapi gue belum selesai ngomong itu udah lo potong," sanggah Danil.
Nila mencebik kesal. "Dah ah ayo cepet," gerutunya sambil menarik hoodie yang Danil kenakan.
"Eh lepasin enggak?! Ini gue udah kayak anak kambing digusur gini." Tapi Nila tetap jalan terus tanpa mengindahkan perkataan Danil.
Kalian bayangkan, Nila dan Danil berjalan dengan tangan Nila yang menarik depan hoodienya sepanjang perjalanan menuju toko buku. Banyak pasang mata yang memperhatikan mereka. Tapi Nila tak peduli.
Toko buku yang dimaksud ini tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah mereka. Karena itu, mereka hanya cukup jalan santai saja. Toko buku ini terletak di salah satu mall di daerahnya.
Langkah Nila mendadak terhenti. Otomatis Danil pun menghentikan langkahnya. "Nil," lirih Nila.
Danil langsung berpindah posisi menjadi di samping Nila―yang tadinya ada di belakangnya, karena Nila menarik hoodienya. "Eh, kenapa? Kok sedih sih tuh muka?"
Tanpa menunggu penjelasan Nila, Danil mengikuti arah tatapan Nila. Disana ... terlihat 4 orang yang sedang asik bercengkerama. Ya, mereka sebuah keluarga yang sangat harmonis.
Disana keluarga Nila berada― yang harmonis tanpa kehadiran dirinya. Di dalam cafe yang ada di sebrang Nila dan Danil― mereka sedang menunggu pesanannya.
Aku sedih, tentu saja. Kenapa mereka terlihat sangat bahagia tanpa aku. Padahal aku pun termasuk anggota keluarga mereka. Terlebih aku ini anak bungsu, dan aku satu-satunya anak perempuan yang diinginkan mereka. Tapi kenyataannya kenapa jadi seperti ini? Mereka tak sayang padaku. Mereka tak peduli terhadapku.
"Nil, gue salah apa sih? Kok gue kayak benalu ya di hidup mereka?"
"Sttt ... lo enggak boleh ngomong gitu, Nil. Lo bukan cenayang― yang bisa tahu apa isi pikiran mereka. Lo jangan mikir yang aneh-aneh ya."
"Tapi, Kak Diki―"
Danil memotong ucapan Nila, "Kak Diki terpaksa. Dia cuma enggak mau bikin Mama kecewa." Danil memang menyebut Mamanya Nila dengan sebutan Mama. Jadi tak heran jika mereka sudah sangat dekat.
"Tapi sekarang, Kak Diki yang udah bikin gue kecewa, Nil."
Kak Diki sayang lo, Nil.
"Gue berubah pikiran nih. Ayo dah ke toko buku, gue beliin lo no―"
"Gue mau pulang," kilah Nila. Lantas ia berbalik arah dan meninggalkan Danil begitu saja. Tapi Danil tak tinggal diam. Ia turut mengikuti Nila tanpa bertanya apa pun.
Saat melewati taman Nila melihat ada tukang ice cream. Kayaknya enak ya. Batin Nila.
Tapi Nila tetap saja jalan untuk pulang. Sekarang ia tak peduli pada apa pun. Yang ia inginkan sekarang hanyalah tidur.
"Nih." Tiba-tiba saja Danil menyodorkan ice cream dari samping Nila. "Gue tau lo pengen ice cream kalau lagi badmood."
Senyum Nila terbit seketika. Ia menarik ucapannya yang katanya tak peduli pada apa pun. Nyatanya dengan ice cream, Nila tak bisa untuk tidak peduli. Karena ice cream lah pengembali moodnya.
"Kok cuma satu sih?"
Danil melongo. "Udah gue kasih bukannya bilang terima kasih ya lo, malah nanya gitu!" ketusnya Danil, dan Nila hanya menyengir.
***
Danil POV
Terdengar gerung suara mobil pertanda mereka sudah pulang. Waktuku menemani Nila sudah habis. Karena sekarang sudah ada Kak Diki.
Bukan tanpa alasan aku tiba-tiba menelpon Nila untuk datang ke taman. Melainkan pesan Kak Diki kepadaku, yang menyuruhku untuk mengajak Nila keluar rumah. Karena Kak Diki dan anggota keluarganya―kecuali Nila, akan pergi makan keluar.
Diki
Ajak Nila jalan sekarang.Danileeee
Hah?Diki
Gue diajak nyokap makan
diluar brg keluarga tp tanpa
Nila. Lo ajak jalan dah dia
biar ga suntukDanileeee
YKarena itulah aku mengajak Nila ke taman. Tapi tak kusangka kejadian yang Nila lihat bisa membuatnya sangat sedih.
Untung nemu kang es krim.
Kak Diki pun tak memberi tahuku kalau makannya akan di sekitaran toko buku yang akan aku dan Nila kunjungi.
Harusnya tadi saat Nila memaksaku ke toko buku aku tolak saja. Bukannya menurut dengan ditarik-tariknya hoodieku ini. Karena malu juga sih banyak yang lihatin.
"Woi udah dulu yaa gue mo balik nih, tuh mereka juga dah balik."
"Yaudah gue matiin yaa telponnya, dadah."
Saking bosannya, kita telponan padahal kita duduk hanya terhalang meja saja hahaha.
"Eh, ada Danil," tegur Kak Diki ramah. Halah, di chat saja jutek parah. Bisa gitu ya.
Kak Diki saja bisa sandiwara, masa aku enggak. "Eh iya, Bang. Nih gue mau langsung balik," balasku seadanya.
Mama, Ayah, dan Ka Dika tidak menyapaku atau pun Nila. Mereka langsung masuk rumah tanpa sepatah kata pun. Hanya Kak Diki yang masih di sini― di teras rumah yang sedang aku dan Nila tempati.
"Main dulu lah, masa langsung pulang sih."
"Enggak apa-apa, Ka. Danil cape dari tadi nemenin gue di sini. Abisnya gue kesepian sih," ujar Nila dengan nada yang tersirat sindiran. Kak Diki hanya tersenyum lantas mengusap puncak kepalaku lembut.
"Gue masuk dulu, makasih ya, Nil."
"Siap, sama-sama, Bang."
Kini perhatianku kembali terfokus pada Nila. Setelah Kak Diki masuk rumah, Nila menunduk lesu. Tapi sedetik kemudian ia menghela napas dan mulai tersenyum tulus ke arahku.
"Makasih ya, Nil."
"Jangan maksain senyum lo. Masuk kamar terus nangis tanpa suara sepuasnya gih biar lo tenang. Lo harus inget, senyum boleh terbit. Tapi hati tak dapat berkelit."
―――――――――――――――――――
Happy Reading❣
Next?
Janlup voment nya yaa😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionAku anak terakhir. Kakakku kembar. Tetapi, bukan aku yang disayang oleh kedua orang tuaku. Melainkan kakak kembarku. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Tapi fakta itu tak menjadikanku dipedulikan oleh mereka. Orang bilang aku berbeda. ...