"Nil!" Nila dan Danil refleks menoleh bersama. Di belakang sana terlihat Santi menuju ke arah mereka yang sedang berjalan berdua.
"Gue panggil Nila, bukan Danil. Jadi, lo nggak usah ikutan nengok segala kali." Santi bersuara ketika melihat wajah kebingungan kedua temannya.
"Ya habisnya lo manggilnya 'Nil' kenapa nggak nama lengkap aja, sih?" Kini Danil yang bersuara, lagi-lagi dengan memasang wajah jutek andalannya.
Danil emang cowok jutek sih, mirip dengan namanya Danil Jutervan. Ledekin saja Danil jutekan, tapi kalau sudah kenal dekat dengannya enggak bakal jutek kok. Kalian pasti heran kalau melihat cowok jutek tiba-tiba humoris ketika bareng dengan teman dekatnya.
Terlebih dengan Nila. Mungkin karena mereka sudah berteman sejak kecil. Namanya, Nila Hasyima. Nila dan Danil tuh sering ledek-ledekan mulu kerjaannya. Kalau Nila memanggil Danil dengan sebutan kudanil. Sedangkan Danil memanggil Nila dengan sebutan ikan nila.
Kata orang-orang sih, mereka cocok, ledekannya saja sama-sama nama hewan. Tapi, katanya mereka cuma temen kok, bukan baru-baru ini temenannya. Malah sudah dari kecil.
"Suka-suka gue dong." Santi menjawab dengan muka menyebalkannya, tapi tak dihiraukan oleh Danil.
"Kenapa, San?" Nila angkat bicara.
"Pulang bareng yuk, gue enggak ada temennya nih. Sekalian main ke rumah lo deh."
"Nila bareng gue!" Bukan Nila yang menjawab ajakan Santi melainkan Danil.
"Lo kan cowok, mending sendiri aja deh. Masa gabung sama cewek-cewek sih."
Danil tak terima. "Bukan gue yang gabung, tapi lo. Tiba-tiba aja ngerebut Nila dari gue."
"Gue bilang kan suka-suka gue. Ih, lo rese banget sih jadi cowok!" jawab Santi dengan kesal.
Duh kenapa mereka jadi berantem. Aku harus gimana, ya?
Tinggalin.
Jangan.
Tinggalin.
Jangan.
Tinggalin. Ya udah lah aku tinggalin aja deh.
Akhirnya, Nila melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Baru beberapa langkah sudah terdengar suara Santi kembali memanggil namanya. "Kenapa lagi, San?" tanyanya jengah.
"Lo yang kenapa? Kok ninggalin gue sih ah." Santi merajuk.
"Lagian kalian malah berantem," ucap Nila.
"Ya abisnya Danil rese nih!"
"Lah malah nyalahin gue nih bocah," sanggah Danil tak terima.
"Tuh kan, Nil. Gue dibilang bocah. Ngeselin sumpah."
Pusing ya, lama-lama ngadepin mereka. Biarkan saja deh. Nila melangkahkan kembali kakinya dan tak menghiraukan teriakan Santi.
***
"Mama!"Tak biasanya rumah sesepi ini. Padahal kalau Nila pulang sekolah suka terdengar musik yang mengalun dari kamar Mamanya. Kebetulan kamar Mamanya tak jauh dari pintu masuk, jadi tak heran kalau musiknya sampai terdengar ke pintu masuk.
Nila tak ambil pusing. Langsung saja ia masuk kamar. Tubuhnya terasa pegal semua hari ini. Ia merebahkan diri sebentar berharap rasa pegalnya sedikit berkurang. Lalu, ia menutup matanya perlahan.
"Merem bentar ga apa-apa kali, ya." Batinnya bersuara.
Nyatanya, Nila malah tertidur sampai hari sudah hampir gelap. "Woi, bangun woi. Lo ngompol nih, kasur lo basah." Dengan seenaknya Diki― kakak keduanya, mengguncang tubuhnya dengan sangat kuat.
"Apa sih, Kak, gue ga ngompol tahu!" Nila terpaksa bangun walau matanya masih setia untuk terpejam.
"Hahaha, mandi lo ikan nila, tuh seragam kucel tau liat deh." Refleks ia melihat seragamnya yang memang sudah kusut itu.
Tanpa berkata sepatah katapun dirinya langsung menuju kamar mandi. Setelah siap, lalu ia menuju meja makan karena sudah memasuki waktu makan malam.
Seperti biasa, di keluarganya ini tak boleh ada yang berbicara saat waktunya makan. Setelah selesai, barulah mereka bercengkrama di ruang keluarga.
"Ma," panggil Nila pada Nura dengan suara pelan. Nura hanya menengok, tanpa menjawab panggilan darinya.
"Mama senyum, dong." Ia mencoba untuk membuat suasana terasa lebih hangat. Tiap malam keluarganya ini memang punya waktu khusus untuk berkumpul. Entah itu menonton tv bersama, ngobrol santai, bahkan saling berbagi cerita. Tapi, sikap Nura lah yang selalu membuat suasana sedikit canggung.
"Apa sih kamu, nggak usah kaya gitu ya sama mama!" ketus Nura pada Nila.
"Ma, Nila kan cuma pengen mama senyum. Itu doang kok, Ma. Kok mama gitu, sih?" Nila selalu kagum pada kakak keduanya itu. Walau kakaknya kembar, tapi sikap keduanya berbeda. Dika lebih dingin dari pada Diki. Nila memang lebih dekat dengan Diki.
"Udah, nggak apa-apa kok, aku mau cerita nih, Ma." Ia berharap setelah bercerita semoga suasana akan menghangat.
Nura tak menanggapinya, begitu pun Ayahnya dan Kakak pertamanya. Hanya Kakak keduanya yang merespon ucapanya. "Wiihh cerita nih, apa tuh?" Entah antusiasnya Diki ini benar-benar atau sekadar untuk menyenangkan hatinya saja.
Ya sudahlah tak usah terlalu dipikirkan. "Tadi di seko―"
Belum sempat Nila melanjutkan cerita, Nura memotong ucapannya. "Mama ngantuk, selamat malam semuanya." Nura meninggalkan mereka di ruang keluarga dan buru-buru ke kamarnya.
Karena Nura pamit pergi tidur, Anton pun turut mengikutinya. Kini tinggal Nila, Dika, dan Diki.
Ia berniat melanjutkan ceritanya. Walau Nura tak mau mendengarnya setidaknya ada kakak kembarnya yang pasti akan mendengarnya.
Kini Nila pindah tempat duduk, yang tadinya di sofa jadi di karpet. Itu karena ia ingin kakak kembarnya mendengar cerita dengan menatap wajahnya. Dengan begitu ia akan merasa dihargai.
"Kak, tad―" Lagi-lagi ucapan Nila terhenti. Sekarang Dika yang beranjak dari ruang keluarga menuju kamarnya. Tanpa sepatah kata pun ia berlalu menjauh.
"Kak, masa tad―"
"Tidur. Udah malam." Suara dengan penekanan itu berasal dari Dika sebelum benar-benar masuk ke kamarnya sendiri.
Nila sedih, tentu saja. Mengapa dari tadi ia mau cerita tapi tak ada satu pun yang mau mendengarkannya.
Diki kini berpindah duduknya jadi di sebelah Nila. Kemudian mengusap puncak kepala Nila dengan sayang. "Gue antar lo ke kamar. Ceritanya besok lagi, ya."
"Padahal gue lagi pengen cerita banget malam ini. Eh, malah lo suruh tidur. Gue belum ngantuk sama sekali, Kak. Lo temenin gue bentar, ya," pinta Nila dengan lirih.
Namun, Diki menggeleng tegas. Dengan terpaksa akhirnya Nila mengikuti perintah kakaknya.
"Tidur ya, jangan sampai begadang," ucap Diki. Sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu, ia tak lupa mematikan lampu kamar Nila dan menyalakan lampu tidurnya, dan tak lupa pula dengan menyelimutinya.
Tanpa sepatah kata pun Nila memejamkan mata perlahan. Barulah Diki menutup pintu kamar Nila dan melenggang menuju kamarnya sendiri.
Nila membuka kembali kedua matanya Lalu ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas dan menghubungi seseorang. Ia sangat butuh dia sekarang.
"Hallo, Nil."
―――――――――――――――――――
Happy Reading😉
Jangan lupa voment
Yang belum follow ayo follow dulu yaa
Sampai bertemu di part selanjutnya<3Gimana part 1 nya?
Spam untuk next.
Pesan untuk author apa nih hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionAku anak terakhir. Kakakku kembar. Tetapi, bukan aku yang disayang oleh kedua orang tuaku. Melainkan kakak kembarku. Aku anak perempuan satu-satunya di keluarga ini. Tapi fakta itu tak menjadikanku dipedulikan oleh mereka. Orang bilang aku berbeda. ...