6.

325 92 46
                                    


Nila memang menuruti apa kata Danil, masuk kamar. Tapi ia tak benar-benar menangis seperti yang Danil ucapkan. Yang dilakukannya hanya melamun.

"Kamu ini kerjaannya cuma ngurung diri di kamar doang ya? Enggak ada niatan bantu Mama gitu? Kamu 'kan anak perempuan."

Tiba-tiba saja Nura sudah berdiri di ambang pintu kamar Nila. Dengan tampang yang tak bersahabat ia menatap Nila.

Nila melangkahkan kaki berniat membantu Nura menyelesaikan pekerjaan rumah yang biasanya Nila kerjakan jika ada waktu luang. Fyi Nila tetap membantu Mamanya walau Mamanya tak peduli.

Gerakannya melewati Nura ia urungkan tepat mengalunnya interupsi dari Nura. "Stop disitu!"

"Kenapa, Ma?

"Mau ngapain kamu? Mama belum selesai ngomong ya!" ujar Nura dengan sinis.

Kadang pikiran buruk selalu menghampiri Nila kala Mamanya memperlakukan dirinya seperti ini. Apa Nura tak sayang padanya? Apa Nila tak berharga di mata Nura? Atau Nila bukan anak Nura?

Mengapa semua yang ia lakukan selalu salah di mata Sang Mama. Sebenarnya Mamanya kenapa sih? Seseorang tolong beritahu Nila sesuatu. Ia butuh penjelasan.

"Aku mau ba―"

"Enggak perlu! Mama bisa sendiri."

Ini memang murni keinginan Nura yang ingin mengurus rumah ini. Katanya agar Nura bisa merasakan bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Itu kata Kak Diki saat Nila tanya alasan di rumah ini tak ada asisten rumah tangga.

"Tapi tadi Mama kan nyur―"

"Mama cuma nanya!" Aura Nura benar-benar menakutkan. Salah sedikit perkataan saja bisa habis Nila.

Kini Nila hanya menundukan pandangan. Karena tak tahu harus bagaimana. Tak lama kemudian Nura beranjak meninggalkannya sendiri.

Bergegas ia mencari ponselnya. Nila harus konsultasi pada Danil. Apa pun masalahnya cuma Danil dan Kak Diki yang mengerti dirinya. Berhubung ia malas keluar kamar, jadi ia putuskan untuk menelepon Danil saja.

Pada deringan pertama Danil sudah mengangkat panggilan telepon darinya. "Ada apa?"

Tanpa basa-basi langsung ia utarakan permasalahannya. "Mama enggak suka gue diem di kamar mulu. Gue harus gimana, Nil? Padahal gabung bareng mereka aja enggak bikin gue nyaman. Selain kamar, mana ada sih tempat yang bikin gue nyaman."

"Mama lo enggak suka pasti ada alasannya, Nil. Enggak ada Mama yang marah tanpa alasan yang jelas. Lo abis ngelakuin hal apa sampai Mama bilang enggak suka lo diem di kamar terus?"

Ini yang Nila suka. Curhat sama Danil bukan cuma disuruh sabar, sabar, dan sabar. Selain nyaman dan sudah pasti aman, ia pun pasti selalu memberi solusi.

Benar kata Danil. "Enggak semua makhluk bernyawa bisa bocorin rahasia, apalagi bikin nyaman orang yang lagi curhat." Perkataan itu yang menyadarkan Nila saat mencurahkan isi hatinya hanya pada sebuah buku yang ia simpan rapat-rapat seorang diri.

"Lo pulang, gue masuk kamar. Enggak lama mama samperin gue ke kamar dan ngomel-ngomel. Gue bingung, Nil."

Tak ada sahutan. Nila melirik ponsel dan ternyata ... sambungan terputus dan ia tak menyadarinya. Awas ya kudanil. Gue pahat mukanya jadi kudanil beneran!

"Danil kan tadi berubah pikiran mau beliin gue novel, kenapa malah gue tolak ya? Duh bego banget sih gue," rutuk Nila pada dirinya sendiri.

Sekarang Nila benar-benar bingung harus bagaimana menghadapi Nura. Ia diam di kamar salah, gabung dengan mereka pun salah. Lantas apa yang harus dilakukannya jika sudah seperti ini?

"Nilaaaaa!" Teriakan Nura menyadarkannya dari lamunan. Bergegas ia menghampiri Mamanya.

Nura mendelik sinis pada Nila, "Kamu ini enggak ada inisiatifnya ya. Heran Mama sama kamu, udah Mama sindir masih aja diem di kamar. Ada apa sih di kamar betah banget."

Nila hanya menunduk tak berani menatap apalagi menjawab perkataan Sang Mama. Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana lagi. Posisinya selalu serba salah di mata Nura.

"Punya mulut tuh dipake. Mama lagi ngomong sama kamu, Nil." Kali ini ucapan Nura melembut.

Akhirnya ia beranikan membuka suara, "Maaf, Ma."

"Jujur selama ini aku bingung harus gimana, Ma. Sama Mama aku merasa selalu serba salah. Tolong Mama kasih tahu aku harus gimana, aku akan menuruti seperti yang Mama pinta asal Mama jangan kaya gini lagi sama aku, Ma. Aku sedih," ujar Nila panjang lebar. Butuh keberanian untuk mengungkapkan itu semua. Karena pada dasarnya nyalinya menciut saat akan menjelaskan apapun pada Nura.

Tak ada respon apapun dari Nura. Mamanya itu tetap bungkam sambil terus menyetrika pakaian.

"Ma ... aku salah apa sih sama Mama? Apa aku dulu anak nakal jadi Mama benci banget sama aku?"

Hening. Nura tetap mengabaikannya. "Aku bantu ya, Ma." Ia mencoba mengambil alih setrikaan dari tangan Mamanya. Tapi Nura tak menepisnya. Akhirnya, setidaknya Nura memberinya kesempatan walau tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Tak apa, ia tetap bersyukur.

Tak lama kemudian Nura berlalu dari hadapan Nila. Sepertinya menuju kamar. Mungkin Nura butuh istirahat yang cukup. Sebab tadi telah bersenang-senang dengan suami dan anak-anaknya― kecuali Nila tentunya, hehe.

"Nila, kamu ngapain, Nak? Tumben ngerjain kerjaan Mama."

Biasa juga ngerjain, tapi kalian enggak pernah lihat.

"Iya, Yah. Kasihan Mama pasti capek habis seneng-seneng kan tadi bareng kalian? Hehe."

Anton terlihat terkejut tapi ia berusaha terlihat biasa saja. Tak seharusnya Nila mengatakan itu tetapi mulutnya ini seakan gatal ingin mengatakannya. Maafkan aku, Yah.

"Tolong buatkan mie instan untuk Ayah bisa, Nil?"

Nila terkejut. Percakapan singkat tadi berlanjut dengan Ayahnya yang memulai. Nila tak menyangka, biasanya Ayahnya itu selalu dingin kepadanya. Apa karena sekarang Mamanya ada di kamar, jadi ia enggan untuk menyuruh Mamanya? Tapi, Nila tak peduli. Ini suatu kemajuan Anton berkomunikasi dengannya. Ia berharap semoga seperti ini terus, aamiin.

"Iya bisa banget, Yah," jawab Nila antusias.

Perlahan garis tipis terbit di bibir Anton. Ayahnya tersenyum! Ini benar-benar di luar dugaannya. Ayahnya tersenyum? Ini seperti mimpi, mengingat betapa tak pedulinya Anton pada Nila. Sungguh, Nila senang sekali.

Kudanil, Ayah senyum. Huaaaaa!

Tak dapat ia pungkiri bahwa sekecil senyum Anton mampu membuatnya bahagia. Dengan telaten ia mulai memasak mie instan untuk Ayahnya. Nila harus menunjukkan kalau Nila anak Anton itu tak mengecewakan.

Setelah selesai, ia lanjutkan menyetrika pakaian kembali yang sempat tertunda. Tapi, tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu.

Tok tok tok

"Iya sebentar," teriak Nila dari arah ruang belakang. Bergegas ia menuju pintu berniat untuk membukanya. Tapi, belum sampai ke tempat tujuan sudah ada Kak Dika yang membukakannya. Ya sudah, saatnya ia kembali menyetrika.

"Saya mau bertemu Nila sebentar, ada yang perlu saya bicarakan."

Siapa disana? Kenapa ingin menemui Nila? Sepertinya ia pernah mendengar suaranya, tapi dimana ya?

"Nila berhak tahu semuanya, Ka."

"Belum waktunya."




――――――――――――――――――
Tbc ...
Hayo siapa tuh orang dibalik dipintu?
Sebenernya Nila berhak tahu apa ya?

Next?
Jangan lupa kasih semangat buat author😉
Taburin bintang juga yupss

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang