Ustad Abu Bakar bin Faurak mengatakan bahwa seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali. Sementara Ustad Abu ‘Ali al-Daqaq dan Abu Qasim al-Qusyairi (muridnya) mengatakan bahwa hal itu mungkin. Alasan kedua pendapat yang berseberangan ini cukup banyak.
Alasan pertama: Kalau seseorang mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka ia akan merasa aman, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak merasa takut dan tidak bersedih hati (QS Yunus [10]: 62). Akan tetapi meraih keyakinan rasa aman itu tidak diperbolehkan, karena beberapa alasan:
1) Allah berfirman, Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi (QS Al-A’raf [7]: 99). Putus asa juga tidak diperbolehkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya, Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir (QS Yusuf [12]: 87). Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat (QS Al-Hijr [15]: 56). Artinya, rasa aman hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya lemah, keputusasaan hanya akan dirasakan oleh orang yang keyakinannya sedikit. Keyakinan yang lemah dan sedikit kepada hak-hak Allah adalah perbuatan kufur, maka orang yang merasa aman dari siksa Allah dan putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang kafir.
2) Ketaatan sebesar apa pun tetap lebih besar rasa terpaksa, jika rasa terpaksa ini mendominasi jiwa seseorang, maka tidak akan diperoleh rasa aman.
3) Rasa aman akan menyebabkan hilangnya penghambaan kepada Allah. Hilangnya sikap pengabdian dan penghambaan kepada Allah akan menimbulkan rasa permusuhan, sedangkan rasa aman menyebabkan hilangnya rasa takut.
4) Allah menyifati orang-orang yang ikhlas dengan firman-Nya, Dan mereka berdoa kepada Kami dengan rasa berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami (QS Al-Anbiya’ [21]: 90). Sebagian orang menafsirkan bahwa berdoa dengan rasa berharap di sini adalah berdoa memohon pahala kepada Allah, sementara berdoa dengan rasa takut adalah takut terhadap siksa Allah. Pendapat lain mengatakan bahwa ayat di atas bermakna berdoa dengan mengharap karunia Allah dan berdoa dengan rasa takut terhadap siksa-Nya. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat di atas menganjurkan berdoa dengan mengharap dapat berjumpa dengan Allah, dan berdoa dengan rasa takut berpisah dari Allah. Adapun pendapat yang paling tepat adalah berdoa dengan mengharap kepada Allah dan rasa takut terhadap-Nya.
Alasan kedua: Seorang wali tidak mengetahui bahwa dirinya wali, sebab ia menjadi wali karena Allah mencintainya, bukan karena ia mencintai Allah, demikian juga sebaliknya seseorang menjadi musuh Allah karena Allah memusuhinya bukan karena ia memusuhi Allah. Mencintai dan memusuhi Allah adalah dua rahasia yang tidak tampak pada diri seseorang. Ketaatan dan kemaksiatan hamba tidak mempengaruhi seseorang untuk mencintai atau memusuhi Allah, karena ketaatan adalah sesuatu yang baru muncul kemudian, sedangkan sifat Allah itu kekal dan tidak terbatas. Sesuatu yang baru dan terbatas tidak dapat mengalahkan yang kekal dan tak terbatas.
Berdasarkan hal ini, terkadang seorang hamba bermaksiat kepada Allah saat ini, padahal sebelumnya ia mencintai-Nya, terkadang juga seorang hamba taat kepada-Nya saat ini padahal dulunya ia bermaksiat terhadap-Nya. Pada prinsipnya, mencintai dan memusuhi Allah adalah sifat, sedangkan sifat Allah tidak bisa dijelaskan alasannya. Barangsiapa mencintai Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi musuh-Nya karena melakukan maksiat. Barangsiapa memusuhi Allah tanpa alasan, maka ia tidak akan menjadi pencinta Allah karena melakukan ketaatan. Karena mencintai dan memusuhi Allah merupakan dua rahasia yang tidak bisa dilihat, maka Nabi Isa a.s. berkata.
Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sementara aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib. (QS Al-Maidah [5]: 116)
Alasan ketiga: Seorang wali tidak mungkin mengetahui bahwa dirinya wali karena hukum yang menentukan bahwa seseorang termasuk wali, orang yang berpahala, dan penghuni surga tergantung pada akhir kehidupan, dalilnya adalah firman Allah yang menyatakan, Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa membawa amal yang buruk maka dia ia hanya diberi balasan yang sepadan dengan amal buruknya (QS Al-Maidah [6]: 160). Firman Allah tersebut bukan berbunyi, Barangsiapa mengerjakan kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sepadan dengan perbuatannya itu. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pahala dari Allah tergantung pada akhir pelaksanaan, bukan pada awal perbuatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jami'karamatul Auliya
Randomلبسم الله الر حمن الر حيم Rasulullah Saw. dalam sabdanya, Sesungguhnya ada golongan hamba Allah yang bukan termasuk nabi dan bukan syuhada (syahid), yang pada hari kiamat nanti mereka menempati tempat para nabi dan syuhada. Para sahabat lalu bertany...