Sebagaimana pecinta kopi menelan bulat-bulat seluruh hitam dan pahit yang terkandung dalam kopi, seorang pecinta juga harus bertindak demikian, segala keburukan, aib, borok pasangan juga harus diterimanya dengan baik.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bagi pasangan, apa yang lebih penting dari angka satu?
Satu jiwa, satu rasa, satu cinta
Satu adalah segalanya, Sehingga ia selalu menjadi yang pertama.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Subuh masih menggerayangi langit, membuatnya tampak sendu dan syahdu. Papa memandanginya tanpa henti, bilang bahwa betapa indahnya langit ketika dilihat ditemani dengan seduhan kopi robusta.
"Cobalah, Hen. Kau akan ketagihan," kata Papa sambil menyodorkan cangkir kopi miliknya.
Aku mengangguk masam, terpaksa mengiyakan. Walau tak suka yang pahit-pahit, ada sesuatu yang ingin kupinta darinya. Selagi mood-nya sedang baik akibat robusta nikmat dan pemandangan langit subuh dan pelataran kebun kopi yang menyegarkan.
"Pahit, Pa," tukasku.
Papa tergelak mendengarnya, "Papa sudah minta tambahan dua sendok gula, padahal. Robusta memang kental akan rasa pahit.
"Pa ... boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku menyela tawa berdehamnya.
Dengan antusias yang sama ketika menyeruput secangkir robustanya, Papa mengalihkan seluruh perhatiannya untukku. Menanti benar apa yang hendak dikatakan oleh putri semata wayangnya yang sudah beranjak dewasa ini. "Katakanlah."
"Pa ... bolehkah Heni ... menikah dengan Mas Kersa?"
Hening, pertanyaan itu tak berujung pada jawab.
Pahit di tenggorokanku terasa menjadi-jadi. Entah karena sisa robusta tadi yang tak lekas hilang atau karena kata-kata yang baru saja kuucapkan. Tapi aku yakin, ditilik dari ekspresinya, tenggorokan Papa terasa berkali-kali lebih pahit, bukan karena sepahit apapun robusta yang baru saja diteguknya, tapi karena ucap yang baru saja meluncur dari bibirku.
