Empat adalah suatu keutuhan yang teguh
Saling membangun. Saling menguatkan
Tak hanya itu, ia juga indah dengan segala
Bentuk simetrisnyaDeg ....
Jantungku serasa berhenti seketika itu juga. Apa yang salah denganku hari ini? Aku melirik teman di sekitar, mencari apa tepatnya yang membuat aku berbeda dengan yang lain sehingga perlu untuk dipanggil ke depan. Tak ada, kita semua sama. Sama-sama berbeda.
"Maju sana, cepetan," ucap Divan sambil menyikut tanganku, "bener, kan, kataku, dia pasti naksir kamu," tambahnya.
Seharusnya aku memelototi dan menjiwit pipi tembemnya sekeras mungkin. Tapi tampaknya hal itu mustahil dilakukan sekarang.
Aku berjalan dengan penuh bimbang. Ternyata doaku tadi didengar Tuhan, padahal aku tak sungguh-sungguh.
"Apakah kamu tahu alasanmu dipanggil ke depan?" tanya Kak Dama.
Ekspresinya 180° dengan saat aku menemuinya kemarin sore. Dihadapan orang banyak, ia tampak begitu kuat, begitu memesona. Seolah yang ada hanya kesempurnaan pada pria itu, padahal aku yakin, banyak hal yang ia sembunyikan dengan senyumnya yang menawan itu.
"Tidak." Aku menggeleng.
"Baiklah, rupanya kau tidak mendengarkan lagi."
Aku menautkan kedua alis, "Memang jawaban apa yang seharusnya kuberikan?"
Ia mendekatiku, yang mana membuatku reflek untuk mengambil langkah mundur. "Diamlah," katanya. Aku menurut saja, tak punya banyak pilihan apalagi di hadapan banyak calon teman se-angkatan seperti ini. Ejekan mereka bisa saja bertahan hingga kami lulus nanti.
Wajahnya terus mendekat ke wajahku. Astaga, apa-apaan pria ini! Apa ia mau menciumku di atas panggung yang bahkan disaksikan oleh pak rektor yang kini sudah kuketahui namanya itu!
"Owh ... sepertinya telingamu baik-baik saja."
Aku menghela napas lega. Kurang ajar. Ia membuatku hampir jantungan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepahit Itu
Ficção GeralSebagaimana pecinta kopi menelan bulat-bulat seluruh hitam dan pahit yang terkandung dalam kopi, seorang pecinta juga harus bertindak demikian, segala keburukan, aib, borok pasangan juga harus diterimanya dengan baik.