1 | Arumdalu di Kala Fajar

146 17 90
                                    

[Arumdalu : (bunga) sedap malam]

~~

Sang candra bertahta megah di langit malam yang kelam, bersanding dengan semaraknya kerlap-kerlip kartika. Cahayanya menerangi jalan setapak yang di titi para pertapa dan pengelana.

Dan siapa yang tahu, di balik rimbunnya pepohonan itu ada telik sandi yang sedang menyamar dalam kegelapan. Berbaur dengan geraman rendah harimau serta siamang yang bergelantungan pada sulur-sulur di sepenjuru hutan.

Suara kokobeluk dan serangga bersahut-sahutan di dalam hutan yang menggilingi padepokan itu. Padepokan yang tidak seberapa besar, terkesan sederhana. Selain para cantrik yang bertugas jaga bergiliran, hampir semua penghuninya sudah terbuai oleh alam mimpi.

Pengecualian itu adalah seorang wanita yang baru saja terbangun dari tidurnya yang tak lelap. Napasnya putus-putus, dadanya berdebar kencang dan peluh membasahi sekujur tubuhnya.

Bermimpi apa dia gerangan tadi? Apa maksudnya? Mengapa ia memimpikan-apa tadi itu mimpi?

Wanita itu bangkit dari tempat tidurnya—dipan bambu berlapis tikar jerami. Di lilitkannya kembali kembennya yang setengah menjuntai, rambut sepanjang bokongnya ia biarkan tergerai, hanya di sibakkan ke samping kiri.

Ia berjalan menuju pawon* sambil membawa suluh kecil yang temaram lalu menuangkan air dari sebuah kendi ke dalam bumbung bambu, meneguknya habis dalam sekejap. Dadanya masih sedikit berdebar, namun ia merasa lebih baik.

[*Pawon: dapur]

Api dalam suluh yang tergantung di pintu belakang gubuknya bergoyang-goyang.

Wanita itu waspada. Menajamkan indranya dan memasang kuda-kuda. Ia dengan hati-hati melangkah menuju pintu belakang ketika ada sosok yang keluar dari kegelapan. Ketika hampir saja wanita itu melancarkan jurusnya, sosok itu dengan tenang membuka topeng dan tudungnya.

"Nimas, engkau membuatku ngeri dengan kuda-kuda ajian Agni Bhuwanamu."

"Respati!" Wanita itu terkesiap. Perlahan Melonggarkan sikap tubuhnya.

"Sttt!!" Pria yang di panggil Respati itu mendekat. "Jangan teriak, nanti aku di sangka melakukan yang iya iya."

Plak!

"Aduh! Gepukanmu Sih, remek belungku! (Pukulanmu Sih, remuk tulangku)" Respati mengusap lengannya yang di pukul dengan cukup keras oleh wanita itu.

"Omongan mu itu loh."

"Lha kan bener."

Wanita itu memasang wajah garang. "Wes, arep pinarak ora? (Sudah, mau bertamu apa tidak?)"

"Lho, yo iyo to."

Wanita itu lalu mempersilahkan Respati duduk di dipan ruang tengah. "Enteni diluk, ya (tunggu sebentar, ya)," tambahnya sebelum kembali lagi ke dapur.

Respati menyulut satu suluh lagi yang terpasang di dinding *gedhek rumah itu. Menjadikan ruangan itu sedikit lebih terang, namun tetap temaram agar tidak menarik perhatian orang.

ALKISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang