T h i r t e e n

80 7 13
                                    

Kepergian mama dan nenek Valerie pagi-pagi buta ternyata adalah untuk mendatangi seseorang yang lokasinya sangat jauh dari kota.

Ini adalah tempat, dimana biasanya sang nenek akan mempercayakan masa depan keturunannya.

"Ibu, apa kita masih jauh lagi berjalan? Aku takut encok ibu kumat lagi, sedangkan Pak Choi hanya menunggu dibawah sana," keluh Jung Hara yang mulai letih karena mendaki jalan setapak.

"Kalau untuk masa depan keturunanku, berjalan jauh mendaki gunung seperti ini pun, rasanya tak ada apa-apanya. Lihat ...," Ibunya berhenti berjalan untuk menepuk-nepuk kaki dan pinggangnya.

... aku masih kuat! Kau lihat diujung sana? Kuilnya sudah mulai tampak. Tinggal beberapa langkah lagi, kita akan tiba."

Jung Hara tak menjawab, dia hanya menghembuskan napasnya secara kasar, lalu melanjutkan langkahnya kembali.

Bulan ini sudah memasuki musim dingin. Walaupun salju belum turun, akan tetapi cuaca dikawasan pegunungan seperti ini, suhunya jauh berkali lipat lebih rendah daripada di perkotaan.

Ditambah lagi dengan kondisi ibunya yang belakangan ini kurang sehat, dan jauhnya jarak tempuh yang harus mereka lalui, ia takut kalau tiba-tiba saja kondisi orang tuanya itu akan drop.

Mau mengeluh pun percuma, tekad wanita berusia 8 dasawarsa itu, sangat keras. Sakitpun dilawannya demi mendatangi tempat ini.

Setibanya di atas kaki gunung, rasa lelah sepanjang perjalanan pun terbayar sudah.

Dari atas sini, mereka dapat melihat indahnya pemandangan pepohonan hijau yang terhampar luas mengelilingi kuil. Suara gemercik air sungai yang mengalir dibawah sana. Serta hempasan angin yang menerpa wajah mereka, membuat mereka dapat menghirup dalam-dalam pasokan oksigen terbaik untuk hari ini.

Udara pegunungan memang sangat segar dan sejuk. Sangat baik untuk kesehatan. Berbeda dengan perkotaan yang sudah padat penduduk dan penuh polusi.

"Ayo kita masuk. Karena aku sudah membuat janji tadi malam dengan beliau, kita tak perlu repot mengantri lagi seperti yang lain," ajak Nyonya Lee lalu menggeser pintu utama kuil tersebut.

Penampakan yang pertama terlihat setelah pintu utama digeser ialah, banyaknya pengunjung yang ternyata sudah mengantri. Mereka duduk bersimpuh dibawah lantai yang telah dilapisi Zabuton.

Tak jauh dari situ, terpampang tiga patung besar Budha yang menghadap ke arah barat, dan beberapa pintu-pintu lainnya yang tidak lain tidak bukan adalah tempat Dong Shaman meramal para clientnya.

•••

"Bagaimana Dong Shaman?" tanya seorang wanita kisaran umur 50-tahun yang saat ini sedang meramalkan nasib anaknya.

Pria didepannya berdeham pelan. "Hmm ... dalam beberapa bulan kedepan kalian akan kedatangan tamu yang sangat spesial dan tak terduga-duga. Jika hari itu tiba, kalian harus memastikan bahwa dialah orangnya," ucapnya tersirat.

"Baiklah kalau begitu." Ia menyodorkan sebuah amplop putih didepan meja, yang isinya lumayan tebal. "Terimakasih banyak atas bantuan anda," pamitnya undur diri lalu keluar dari ruangan yang didominasi warna putih tersebut.

"Asisten Ahn, silahkan panggil client selanjutnya," teriak Dong Shaman dari dalam ruangannya.

Asisten Ahn lalu mempersilahkan Nyonya Lee dan anaknya untuk segera masuk kedalam ruangan Dong Shaman.

"Selamat pagi, Dong Shaman," sapa Jung Hara dan ibunya bersamaan.

"Wah ... tak perlu terlalu formal begitu kau, Lee. Sudah lama sekali kau tak kesini, eoh? Sudah dimulai lagi kutukannya pada keturunanmu?" todong Dong Shaman spontan tanpa basa-basi.

Ties Of Destiny | K.T.HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang