Rangga jadi kebingungan sendiri melihat sikap Singa Gurun yang tetap akan mengabdi padanya, karena sudah kalah bertarung. Sedangkan Rangga sendiri tidak menginginkan semua ini, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sampai menolak, sudah barang tentu Singa Gurun ini akan menghabisi nyawanya sendiri karena merasa tidak lagi pantas untuk hidup. Apalagi sampai mengingkari perjanjian yang sudah diucapkannya bersama Pendekar Rajawali Sakti.
"Ki, bangkitlah. Aku tidak ingin kau bersikap begitu padaku," kata Rangga meminta.
"Tapi kau sekarang junjunganku, Anak Muda. Sudah sepantasnya aku merendahkan diri padamu," sahut Singa Gurun dengan kepala masih tertunduk menekuri tanah.
"Tidak, Ki. Aku bukan junjunganmu. Kau orang yang bebas, seperti yang lain. Bangunlah..., Ki. Kalau kau memang menganggapku sebagai junjungan, turutilah permintaanku ini," kata Rangga lembut, sambil mengambil pedangnya yang tadi diletakkan di bawah pohon dan langsung dikenakan kembali di punggungnya.
"Baik, Gusti," sahut Singa Gurun.
Rangga jadi tersenyum dipanggil Gusti. Tapi Rangga pantas dipanggil sebutan itu, karena sebenarnya memang seorang Raja Karang Setra. Hanya saja, tidak pernah mau dipandang sebagai raja kalau sedang mengembara seperti ini. Sayangnya kali ini Pandan Wangi tidak ikut mengembara bersamanya. Pandan Wangi sekarang masih berada di istana Karang Setra. Sementara itu, Singa Gurun sudah bangkit berdiri kembali. Dan Rangga memandanginya dengan kelopak mata tidak berkedip sedikit pun juga. Ada sesuatu yang dirasakan amat janggal dalam hatinya melihat Singa Gurun yang semula tegar, gagah, dan pemberang, kini begitu layu seperti seorang pesakitan yang harus menjalani hukuman pancung.
"Ki, aku ingin tahu siapa namamu yang sebenarnya. Kalau kau tidak keberatan, sebutkan namamu," pinta Rangga lagi dengan nada suara lembut sekali.
"Apakah itu penting, Gusti?" tanya Singa Gurun seakan enggan untuk menyebutkan nama yang sebenarnya.
"Ya! Sangat penting bagiku. Kau sudah menyatakan pengabdiannya padaku. Rasanya sangat janggal kalau aku tidak tahu namamu," sahut Rangga berlasan.
Sejenak Singa Gurun terdiam, seakan tengah memikirkan permintaan Rangga barusan. Belum pernah ada orang yang menanyakan nama aslinya. Dia sendiri hampir melupakannya, setelah terjun dalam rimba persilatan dan setelah puluhan tahun menyendiri di daerah gurun pasir yang gersang dan tidak ada kehidupan sama sekali. Itu sebabnya dia selalu dipanggil Singa Gurun. Karena memang berasal dari daerah gurun yang gersang. Bahkan segala tindakannya seperti seekor singa yang tidak pernah memberi ampun sedikit pun pada siapa saja yang mencoba menjajal kepandaiannya. Tapi memang baru kali ini dia dapat ditaklukkan.
"Kau keberatan memberitahukan namamu, Ki...?" desak Rangga tetap lembut nada suaranya terdengar.
"Bramasati...," sahut Singa Gurun pelan, menyebutkan namanya. Begitu pelannya, hampir suaranya tidak terdengar telinga Rangga.
Tapi itu pun sudah cukup jelas bagi Pendekar Rajawali Sakti. Hanya saja rasanya masih ada ganjalan yang mengganggu hati Pendekar Rajawali Sakti, walaupun sudah tahu nama sebenarnya dari Singa Gurun ini. Dan Rangga sendiri tidak ingin terus memendam ganjalan dalam hatinya. Terlebih lagi dia memang ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang kini sudah menyatakan diri menjadi abdi setianya.
"Ki, aku ingin menguji kesetiaanmu sekali lagi. Kalau kau memang benar ingin mengabdikan hidupmu padaku, kau harus memenuhi permintaanku yang terakhir...," kata Rangga berhati-hati.
"Apa pun permintaanmu akan kuturuti," sahut Bramasati yang selama ini selalu dikenal sebagai Singa Gurun.
"Hm.... Kau selalu menutupi wajahmu dengan kain. Apa aku tidak boleh melihat barang sebentar saja...?" pinta Rangga langsung.
"Oh...?!" Kali ini Bramasati tidak dapat lagi menyembunyikan rasa keterkejutannya mendengar permintaan Rangga yang sama sekali tidak diduga. Hingga untuk waktu yang cukup lama, Bramasati jadi terdiam membisu. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti dari balik kain kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Dalam keadaan malam yang gelap ini, memang sulit bisa melihat wajah Singa Gurun ini, kecuali sepasang bola matanya saja yang berwarna kuning kehijauan seperti mata kucing.
"Gusti... Sejak lahir, aku sudah terasing. Dan aku dirawat oleh seseorang yang tidak pernah menunjukkan wajahnya. Sampai dia meninggal pun, aku tidak pernah melihat wajahnya. Sedangkan aku sendiri..." Bramasati tidak meneruskan kata-katanya. Seakan dia begitu berat untuk memperlihatkan wajahnya pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau sendiri kenapa, Ki...?" desaknya.
"Aku..., aku juga tidak pernah melihat wajahku sendiri selama hidup. Apa lagi memperlihatkannya pada orang lain. Aku tidak tahu seperti apa wajahku ini. Tapi ayah angkatku yang juga guruku, sudah mengatakan kalau aku tidak seperti manusia pada umumnya. Ada kelainan pada diriku yang tidak boleh diperlihatkan pada orang lain. Dan kelainanku ini akan membawa bencana besar bagi diriku. Tapi ayah angkatku itu telah berpesan agar aku pergi ke Karang Setra dan langsung menemui rajanya di sana. Katanya, darinya aku bisa memperoleh perlindungan yang tidak akan didapat dari orang lain," jelas Bramasati panjang lebar.
"Perlindungan apa yang kau harapkan, Ki?" tanya Rangga jadi semakin ingin tahu.
"Hidup, Gusti," sahut Bramasati.
"Hidup...?" kening Rangga jadi berkerut.
"Benar, Gusti. Dari Raja Karang Setra aku bisa memperoleh kedamaian hidup, tanpa merasa terasing lagi dari dunia ramai. Dan aku harus mengabdi padanya nanti. Tapi sekarang..., semua sudah musnah. Kau dapat mengalahkanku. Dan aku harus mengabdi padamu. Padahal, ayah angkatku mengatakan kalau hanya Raja Karang Setra saja yang bisa mengalahkanku. Bukan orang lain...," jelas Bramasati lagi.
"Kau akan mendapatkan semua keinginanmu itu, Ki. Aku jamin Raja Karang Setra akan menerimamu kalau memang kau akan mengabdikan hidup padanya," kata Rangga memberi harapan.
"Oh! Lalu..., bagaimana denganmu, Gusti?" tanya Bramasati seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Kau mengabdi padaku, atau Raja Karang Setra sama saja, Ki. Aku juga berasal dari sana. Dan salah satu dari sekian banyak ksatria yang ada di sana adalah aku sendiri. Jadi, tak ada bedanya kalau kau mengabdi padaku atau pada Raja Karang Setra. Tapi memang sebaiknya kau teruskan semua impianmu itu, Ki. Aku akan mengantarkanmu sampai ke pintu gerbang kota Karang Setra. Bagaimana...?" ujar Rangga memberi harapan pasti.
"Oh... Terima kasih, Gusti. Hatimu sungguh mulia," ucap Bramasati terharu. "Aku berjanji, tidak akan melupakan jasamu ini. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu, Gusti...."
"Ah, sudahlah...," desah Rangga jadi jengah. Dan kembali mereka terdiam beberapa saat. "Sudah terlalu larut malam. Sebaiknya kita beristirahat saja di sini, Ki. Besok pagi, baru kita pergi ke Karang Setra," kata Rangga memecah kebisuan yang terjadi sesaat.
"Baik, Gusti," sahut Bramasati dengan sikap hormat. Rangga jadi tersenyum kemudian melangkah menghampiri sebatang pohon yang tumbang. Dan tubuhnya dihentakkan di sana, bersandar pada batang pohon itu. Sementara Bramasati mengumpulkan ranting-ranting kering, lalu membuat api unggun untuk mengusir udara malam yang semakin terasa dingin menusuk tulang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
136. Pendekar Rajawali Sakti : Singa Gurun
БоевикSerial ke 136. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.