Cerita Jakarta - Tanpa Identitas

3.1K 90 3
                                    

CERITA JAKARTA - TANPA IDENTITAS

Genre: Fiksi Umum

A short story by @angelaftracta

Silahkan berikan vote jika anda menyukai cerita ini. Vote dan komentar adalah mood booster yang amat berharga untuk setiap penulis di wattpad.

****

Tahun 2009

"Ke Jakarta, mbak?"

"Iya, ke Jakarta. Cari duit di Jakarta biar bisa bangun rumah di kampung. Liat mbak-mu ini sudah bisa beli emas." Kata Mbak Sri sambil memamerkan perhiasan emas yang dipakainya.

Jakarta, Ibukota Indonesia yang terdengar asing untukku. Aku belum pernah ke Jakarta. Aku hanya melihat Jakarta dari TV hitam-putih milik keluargaku. Kami tidak mampu membeli TV berwarna. Penghasilan suamiku sebagai buruh tani hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Semua perkataan indah Mbak Sri tentang Jakarta kini menjadi impian dan tujuanku untuk datang ke Jakarta. Dengan menggadaikan beberapa peralatan di rumah, akhirnya aku mampu membeli tiket kereta api menuju Jakarta ditambah bekal uang yang tak seberapa.

Kira-kira 10 jam kemudian, sampailah kami di Stasiun Senen, Jakarta. Stasiun ramai yang penuh sesak dengan orang-orang, persis seperti yang kulihat di TV.

"Mbak, aku ndak punya KTP." Ucapku cemas saat kulihat dua orang petugas berseragam sedang merazia KTP tak jauh dari pintu gerbong.

"Rapopo, kamu ikutin mbak terus ya." Kemudian aku berusaha mengikuti gerak-gerik Mbak Sri setelah keluar dari gerbong. Susah payah kuikuti langkahnya karena langkahku terganggu oleh orang-orang yang memadati stasiun.

Lega rasanya saat kami berhasil melalui petugas dan keluar dari Stasiun Senen. Untung saja jumlah penumpang yang turun lebih banyak dari petugas razia dan untungnya kami juga cukup gesit untuk menghindari petugas.

"Mbak punya KTP Jakarta?" Tanyaku iseng saat kami sudah naik angkot.

"Ndak punya. Sudah, jangan tanya-tanya. Bikin KTP Jakarta itu ribet."

Aku mengikuti saran Mbak Sri, lebih baik diam daripada aku bertanya lebih lanjut. Meskipun banyak sekali yang ingin kutanyakan sebenarnya. Pertanyaan seperti kami akan kerja dimana, kerja seperti apa, semuanya tidak kutanyakan dan kubiarkan waktu yang menjawabnya.

Kami berhenti disebuah tempat yang sama sekali asing buatku. Kupikir kami sudah hampir sampai, ternyata kami terus berjalan hingga akhirnya aku dihadapkan dengan gedung dengan banyak ornamen lampu neon berbagai macam warna. Lampu-lampu neon itu memang belum menyala karena hari masih sore. Kuyakin malam nanti mereka akan menyalakannya.

"Kamu mulai kerja malam ini."

Aku mulai bingung, Mbak Sri bahkan belum menjelaskan pekerjaan yang harus kukerjakan. "Kerja opo toh, mbak?"

"Ndak susah kok, cuma tidur aja."

"Tidur?" Aku makin kebingungan.

"Iya, tidur. Kayak kamu tidur sama suami kamu di kampung."

Aku masih belum menangkap maksud Mbak Sri sampai aku melihat Mbak Sri mengganti bajunya dengan baju yang lebih terbuka. Di ruangan lain, kulihat beberapa wanita membiarkan tubuhnya yang terbuka dibelai-belai oleh pria hidung belang. Tangan-tangan nakal itu menggerayangi tubuh si wanita bahkan tak segan-segan mencium bibir dan buah dadanya. Mengertilah aku apa yang Mbak Sri kerjakan di Jakarta.

"Aku ndak bisa mbak, dosa."

Mbak Sri yang sedang menyemprot parfum langsung menghentikan aktivitasnya. "Dosa? Jakarta itu ndak tau yang namanya dosa."

Petrichor - Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang