"Anak pertama kok tidak bisa diandalkan sama sekali? Ngajarin adiknya aja engga bisa. bisanya apa toh disekolahkan tinggi-tinggi?"
Suara itu memenuhi seisi rumah. Meskipun aku sudah mengalah dengan masuk ke kamar, tapi suara itu masih dapat menembus dinding kamarku bahkan menembus hatiku.
Lahir di keluarga yang nyaris tidak ada kata harmonis, menjadi anak pertama yang selalu dibanding-bandingkan dan dituntut ini-itu hampir membuatku ingin resign saja jadi manusia di dunia. Bayangkan saja setiap hari rumahmu penuh dengan pertengkaran, kata-kata kasar dari orangtua yang seharusnya orangtua adalah kamus terbaik bagi anak-anaknya untuk digugu dan ditiru.
Ditambah dengan seorang adik yang sangat-sangat menyebalkan bahkan hampir membuatmu menumpahkan minyak panas ke tubuhnya.
Bagaimana?
Apakah suasana dalam rumahmu seperti itu?
Kalau tidak mari banyak mengucap syukur dan berterimakasih pada Tuhan. Tuhan telah menjadikan kamu salah satu orang yang beruntung. Tidak seperti aku ini.
Aku membuka buku catatanku. Seperti biasanya mencurahkan seluruh perasaan yang kupendam jauh dalam lubuk hatiku tanpa seorang pun tahu. Kutuliskan semua yang membuatku sakit dan merasa tidak berguna di hidup ini. Pertanyaan 'mengapa' memang tak selalu ada jawabnya. Tetapi mungkin saja karena aku terus mengulang-pertanyaan 'mengapa', aku akan sadar sendiri dengan jawabannya.
Lagipula, menulis adalah cara kedua bagiku untuk meringankan derita sakit yang aku rasa. Pertama, berdoa dan mengadu pada Tuhanku. Yang kedua, menulis yang diiringi tangisan pilu, dan terakhir mungkin ini yang ekstrim. Tapi justru kadang cara terakhirlah yang membuatku merasa jauh lebih baik.
Kalian tahu apa itu?
Selfharm. Aku suka selfharm. Pastinya tanpa sepengetahuan keluargaku. Aku hanya akan mempublikasikannya ke media sosial agar banyak yang melihat. Setelah melakukannya aku merasa sangat senang dan cukup tenang. Pastinya setelah itu teman-temanku mulai bermunculan. Aku tidak tahu apa maksud dari kepedulian mereka.
Aku sangat jarang mementingkan nasihat mereka. Mungkin hanya seorang dua orang yang kubalas pesannya sekedar menanggapi kebaikan mereka. Aku tak pernah menceritakan apa yang aku lakukan dan aku alami ke orang lain. Tidak ada yang aku percaya. Entah aku terlalu sulit percaya pada mereka atau mungkin aku memang berniat menyakiti diriku sendiri karena menyenangkan.
Aku sudah selesai dengan tulisanku karena bukan keluh kesahku yang telah habis, tapi karena buku ku yang sudah lelah menampung semua ceritaku alias habis. Aku harus bergegas membeli yang baru. Aku berganti baju dan bersiap untuk pergi ke luar rumah.
Kubereskan semua kekacauan yang ada di diriku sebelumnya. Ku pasang ekspresi sebahagia mungkin agar orang-orang hanya tahu aku selalu bahagia.
Aku lemah tapi aku tidak suka orang-orang mengasihani aku.
Aku keluar dari kamarku. Menuruni tangga dan bergegas ke pintu keluar. "Mau kemana?" tanya ibu sarkas.
"Ke toko buku," jawabku seadanya.
Braakk!!! Ibu membanting gelas plastik yang sedang ia genggam. "Keluyuran aja bisanya! Apa engga ada keahlian lain, hah?!"
Sebetulnya aku sangat ingin membalas perkataan ibu tapi aku baru saja mendingan dari rasa sakit tadi. Jadi kuputuskan untuk segera keluar rumah saja.
"Punya kuping engga ada fungsinya!" teriak ibu dari dalam rumah
Biar saja. Fungsi telingaku hanya untuk mendengar yang baik-baik saja kok.
***
Aku sampai di toko buku tujuanku. Aku pergi mengendarai sepeda. Aku segera masuk ke dalamnya."Sudah habis lagi bukunya?" tanya yang punya toko.
Aku hanya menyeringai. "Koh, tolong buku yang biasa ya satu."
Kokoh si pemilik toko mengacungkan ibu jarinya dan bergegas mengambil pesananku.
Selama menunggu aku sibuk dengan HP ku. Buka instagram, buka twitter, buka whatsapp, buka facebook, dan isinya hanya ramai dengan komentar serta pesan-pesan dari orang-orang. Dua hari yang lalu aku mengunggah hasil karya selfharmku di seluruh media sosial yang aku punya. Setelah itu aku tidak mengecek lagi apa yang terjadi, begini lah akhirnya ramai sekali.
Ketika aku sedang asik membaca pesan mereka tiba-tiba ada orang yang mengejutkanku.
"Hayyaaaaaaaaaaa!!!!!" teriak orang itu.
Aku terkejut dan hampir saja HP ku satu-satunya yang sudah 5 tahun belum ganti itu terjatuh.
"Lo gila, Ya! Minggu lalu lo baru selfharm. Terus kemarin lo udah selfharm lagi?! Gila .. gila lo Hayya! Lo bisa mati kalau terus-terusan ngelukain itu, Hayya!" sergah orang itu.
Itu Mirna, teman kampusku yang selama ini mungkin hanya dia teman terdekatku. Dan hanya sebatas teman. Maaf Mirna, aku hanya menganggapmu seperti itu. Aku hanya berdesah pelan sebagai jawaban dari reaksi dia tadi.
Mirna berdecak kesal, "Hayya, lo mau sampai kapan di fase ini? Apa lo bakal kuat terus ngelakuin hal kayak gini?"
Aku tahu Mirna sangat menyayangiku. Tapi memang sangat sulit bagiku untuk percaya orang, bahkan setiap saatnya aku selalu ragu pada diriku sendiri. Aku masih diam dan mendengarkan omongannya.
"Lo cantik, lo pintar, lo multitalenta, lo bisa ngelakuin hal ini-itu yang orang lain engga bisa. Lo itu engga ada celah kekurangannya Hayya!"
Mendengar itu aku hanya tersenyum miris. Kalian harus tahu, bukan hanya Mirna saja yang berpikiran seperti barusan. Hampir semua orang penilaiannya begitu padaku. Tapi bukannya kalian para pembaca sudah ku beritahu di awal? Iya kan?
Aku tersenyum pada Mirna. "Terimakasih selalu memuji Hayya. Terimakasih sudah mau jadi teman anak aneh ini. Tapi semua yang dipikirkan orang itu tidak benar. Misalnya semua yang tadi kamu katakan adalah benar, tapi kamu engga pernah kelihatan seperti itu di keluargamu, bagaimana rasanya? Apa itu semua masih penting?"
Mirna menatapku penuh iba. Ahh, aku benci tatapan itu.
"Gue tahu Hayya, kalau lo engga bisa cerita banyak ke gue karena lo takut. Gue sangat berharap ada orang yang mampu buat lo percaya untuk segala hal apapun supaya lo engga terus-terusan begini."
Aku mengangguk sambil mengelus tangan Mirna. "Mungkin ada, tapi nanti."
Hallo!!!!!
Apakabar? Masih adakah pengunjung lapak ini?
Aku balik lagi dengan cerita baruuu😁
Semoga suka dan bisa diambil baiknya yaaa😁21 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hayya & Hanif
Teen FictionDari kaktus aku belajar ; Tak pernah mengeluh meski di padang tandus, Ikhlas membuatnya kuat dan bertahan, Sabar menanti tumbuhnya bunga cantik di detik akhir hidupnya. Meski hidup penuh dengan duri derita, tapi tidak menutup sedikit hal keindahan d...