Virus ini melumpuhkan banyak hal, mematikan segala kebiasaan yang biasanya kulakukan secara rutin setiap harinya. Mandi menjelang subuh, bersolek sambil mengantuk, menyepadankan pakaianku meski yang kupunya hanya itu-itu saja, sarapan pagi, dan pergi ke kampus yang jaraknya 15 km dari rumahku.
Percaya atau tidak aku bak orang waras yang harus percaya atas cerita-cerita gila yang tak masuk akal – yang akhir-akhir ini bising sekali menyelimuti dunia. Berita ini mungkin sudah mengudara hingga ke lapisan mesosphere, atau mungkin saja alien-alien di galaksi tetangga sedang asyik memperbincangkan virus mematikan yang sudah kurang lebih enam bulan berlalu-lalang di bumi mengincar peparu siapapun tanpa pandang bulu.
Dengan tekhnologi yang sudah sedemikian canggih, makhluk terkutuk yang ukurannya bahkan lebih kecil dari spesies kutu kerdil itu belum bisa terkalahkan, rupanya makhluk tersebut jauh lebih canggih sehingga masih terus hinggap dan bertahan di muka bumi. Anehnya hanya manusia yang kalut – sibuk berlindung diri sambil dihantui rasa takut, pun rasa khawatir yang menari-nari di dalam dada. Dibalik itu, kucing-kucing peliharaan mereka ataupun kucing jalanan yang setiap hari singgah di depan pagar, tetap menagih jatah makan tepat waktu, tak peduli seberapa menyeramkan pandemi ini di mata para majikannya, yang ia tahu – menu royal canin kesukaannya kini telah diganti dengan ikan tongkol kering yang didapatkan secara gratis dengan cara memelas ke pedagang ikan di pasar. Hal demikian sah-sah saja terjadi sebab pandemi ini bukan hanya menggerogoti peparu manusia, sekaligus kantong, dompet, tabungan masa depan, dan deposito yang tersisa. Ingin menangis rasanya. Yang terlihat berbahagia sepertinya hanya burung-burung yang masih bisa bercericit damai sepanjang hari, memerdukan kicauannya kemudian berdansa di latar langit yang bersih tanpa ada polusi dan rasa kalut.
Di kota kami memiliki udara yang bersih rasanya memang seperti mendapatkan doorprize surga versi uji coba dari Tuhan. Tetapi di masa ini terlahir juga berbagai hikmah. Salah satunya banyak sekali insan yang mulai menghargai diri dan sekelilingnya. Contohnya oknum geng motor yang pada minggu pagi ku lihat sedang bersepeda ramai-ramai di sepanjang jalan gelora. Senang sekali. Hitung-hitung ikhtiar memperkuat raga serta menjaga imunitas dan yang paling penting meliburkan diri dari menyumbang polusi.
Di tengah rasa senang setelah melihat hikmah-hikmah yang lahir atas ulah pandemi. Sore itu pukul tujuh belas lewat delapan menit, aku pulang menuju Tanah Abang dari Pondok Labu. Usai menjenguk kucing kekasihku yang baru melahirkan dua anak. Masih membekas betapa lucunya bayi kucing tersebut, tak sengaja playlist spotify-ku memutar lagu Iwan Fals yang berjudul ‘Sore Tugu Pancoran’.
Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
di simpang jalan tugu pancoran
Tunggu pembeli
Jajakan koranTepat di persimpangan lampu lalu lintas, aku melihat tubuh persis seringkih Budi di lagu itu, sedang bernyanyi dengan penuh percaya diri saat lampu merah menyala. Aku dan si pengemudi ojek online berhenti tepat di sebelah segerombolan pesepeda menunggu lampu kembali menghijau. Tubuh seringkih Budi itu menatap segerombolan pesepeda, malang aku melihatnya ketika ia berkata pada temannya “Kalau aku punya sepeda setiap habis ngamen kita muter-muter dulu ya, baru pulang”. Hatiku luluh-lantak. Andai saja aku bisa dengan mudah membelikan budi sepeda semudah menebak jenis-jenis ikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARALYZED
General FictionSekumpulan cerita pendek yang ditulis saat pandemi berlangsung. Memperbincangkan banyak hal. Kalau sudi, mampirlah kemari. Setiap scene dari satu cerita pendek, selalu diselipkan kisah nyata penulis.