Cincin Perak

21 2 0
                                    

"Berhentilah kamu seperti itu. Memangnya bisa kamu jamin hidupmu akan maju dengan puisi atau karya-karya tulismu itu? Kau ingat pamanmu tidak waras gara-gara kepingin menjadi sastrawan. Lulus kamu SMA kita tinggal di Yogyakarta.  Lanjutkan usaha almarhum ayahmu."

Candra hanya bisa terdiam. Ia tidak pernah ada niat sedikitpun untuk membantah omongan sang Ibu. Namun, laki-laki tampan berkulit putih nan beralis tebal itu tidak ingin harapannya menjadi penulis kandas di tangan Ibunya sendiri. Apalagi untuk melanjutkan usaha kerajinan perak di Kota Gede, bukan keinginannya. Walaupun keadaan di sana lebih klasik dan sendu dibandingkan dengan Jakarta, Candra tetap berpikir bahwa, Jakarta adalah gudang inspirasinya.
Segala hal yang terlintas di hadapannya mampu ia sulap menjadi kata-kata magis. Dari mulai anak jalanan yang tetap bahagia meski sejatinya hak mereka telah direnggut oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Sampai romansa sepasang insan yang sedang menuju tua bersama.

Setiap malam ia tumpahkan puisi itu ke dalam secarik kertas hampir usang. Terkadang ia juga tak segan untuk mengirim puisi lewat surel kepada Numara, kekasihnya. Jika dipikir tidak terasa masa sekolah bersama gadisnya kini akan segera usai
"Dua bulan lagi kita akan lulus. Mau lanjut kemana kamu nanti? "
"Aku ingin kuliah di Bandung. Arsitektur. Kalau kamu, Can?" tanya Numara sembari merapikan isi tas Candra yang sudah tidak karuan. Laki-laki terkadang memang acuh terhadap kerapiannya sendiri.
"Aku belum tau akan kuliah di mana, yang jelas ingin pilih jurusan Sastra Indonesia. Oh iya, aku akan pindah ke Yogyakarta" Mendengar ucapan kekasihnya, Numara bak tertimpa reruntuhan langit. Suasana seketika hening.
"Lalu kita bagaimana? Apa nanti kamu akan membeli ponsel?"
"Nanti aku menelponmu. Pakai telepon rumah. " seru Candra disertai senyuman tipis.
“Oh baik kalau gitu. Ngomong-ngomong setelah perpisahan panjang nanti, kita bisa terus berdekatan seperti ini lagi, kan?"
"Kamu itu rumah bagiku, tentu saja aku akan selalu rindu untuk pulang. Sekarang, capai apa yang kita inginkan. Kelak kita akan menjadi pasangan yang unik" ucap Candra yakin.
"Unik?" tanya Numara mengerutkan alisnya.
"Ya. Aku seorang sastrawan. Dan, kau seorang arsitek"
Mereka tertawa bersama sambil melihat secangkir kopi yang asapnya meliuk menuju angkasa. Di kafetaria ini, banyak sekali kenangan yang telah mereka ukir. Tentu, mereka akan merindukan semuanya saat berpisah nanti.

5 tahun kemudian, Di Bandung.

Numara memang gadis yang beruntung. Selain cantik, ia juga sangat cerdas. Wanita itu merupakan mahasiswi kebanggaan jurusannya, karena bisa tamat tiga tahun dengan indek prestasi yang sangat membanggakan. Lulus dengan predikat Magna Cum Laude. Berbeda dengan Candra, walaupun pada akhirnya ia membuat hati ibunya luluh. Ia tak berhasil membuat Ibunya bangga.
Ia memang terkenal mahir dalam bersajak, menulis, dan karyanya yang lain. Tetapi semua itu tidak membantunya di jurusan yang telah ia pilih.  Ketika Numara sudah berhasil menggapai impiannya untuk menjadi seorang arsitek, lelaki kurang beruntung itu kini masih terkungkung di semester sepuluh. Belum lagi, nilainya yang selalu hancur di mata kuliah salah satu dosennya yang pernah ia ajak berkelahi. Ia tak kuasa menahan amarahnya ketika itu, saat karya tulis terbaiknya diklaim sepihak oleh sang dosen.

Candra bukan lelaki yang bodoh, ia mampu meluluhkan dunia ketika sudah bersajak. Gaya bahasanya pun tidak jauh beda seperti karya sastra Chairil Anwar, terkadang Sapardi Djoko Darmono, dan terkadang seperti Soe Hok Gie.
Jarak membuat Candra kerap kali rindu wanitanya yang selalu berkata, "hobimu itu, bisa membuat rambutku keriting. Apa gak ada hobi yang lebih menyenangkan?" Berulangkali dengan bijaknya Candra mengatakan betapa pentingnya literasi membaca dibudayakan, Di Indonesia kini sedang banyak hal yang tidak pantas dan memilukan. Ray Douglas Bradbury mengatakan “Tidak perlu membakar buku untuk menghancurkan sebuah bangsa, buat saja orang-orangnya berhenti membaca”. Candra tidak ingin berkontribusi dalam menghancurkan bangsa, sebab Soekarno berwasiat kepada kita “Kutitipkan negeri ini kepadamu”. Ya, kepada kita, sebab itu perjuangkanlah apa yang bisa kita lakukan.

Sedari dulu ia rela mengorbankan dirinya buta media sosial. Bukan berarti ia gagap teknologi. Tidak mungkin seorang yang menjadikan buku sebagai karib, tidak paham teknologi. Candra ingin menghindari penjajahan modern, berupa dampak buruk globalisasi. Meskipun hidup bagai orang jadul, ia jauh lebih berwawasan dibanding orang-orang sekitarnya.
Numara nun jauh di sana, sudah 2 bulan tidak sempat mengangkat telepon dari Candra. Belakangan, ia sedang direpotkan oleh salah satu corporate yang membeli jasa berupa ide propertinya untuk membangun sebuah motel di tengah kota. Karenanya, Candra terpaksa membeli ponsel demi merapihkan daun-daun rindu yang terlalu lebat, selain itu agar ia dapat lebih instan berkabar dengan Numara. Hampir 6 tahun mereka bertahan pada kesetiaan, berjuang dalam kesabaran. Mengerti bahwa jarak adalah hal yang bisa dikendalikan. Di tengah kesibukannya Di Bandung, Numara selalu menanti kehadiran Candra.

Kabar baik datang kepada Candra. Bukunya yang berjudul "Kohesi Cakrawala" hari ini resmi terbit. Tidak ada keraguan, ia langsung menghubungi Numara dan berjanji besok akan datang ke Bandung untuk mengatakan suatu hal.
"Numara. Ini aku, Candra"
"Candra! Aku rindu" teriakan itu sontak membuat hati Candra berdenyut perih.
"Apa di Bandung bukuku sudah terbit? Buku yang selama ini aku tulis untukmu. Bacalah itu, agar kamu tahu, aku cukup sulit melawan rinduku selama ini. Kamu jangan sedih, besok aku akan pergi ke Bandung"
"Kamu serius? Aku sedang di Jakarta, Candra, sedang ada kerjaan."
"Oh, baiklah besok kita bertemu di kafetaria dekat sekolah kita dulu. Akan kubawakan bukunya untukmu. Plus tanda tanganku”
"Sudah banyak tanda tanganmu sejak kau mengkhayal menerbitkan buku dahulu hahaha. Aku ingin bicara banyak hal padamu"
"Hahaha. Baik Numara, aku pun begitu"

Candra ingin mempersunting Numara. Sebuah cincin perak sederhana yang ia buat sendiri kini sudah terbungkus rapi nan lucu. Malam sebelum ke Jakarta, Candra sulit untuk terlelap. Rindu yang terpendam rupanya cukup kejam. Sehingga tidak mengizinkannya pulas.

"Kau yakin akan membahagiakan Numara? Ingat, anak-anakmu butuh susu. Bukan sajak-sajakmu itu" Perkataan pesimisme sang Ibu tidak membuat Candra ragu untuk berangkat ke Jakarta. Ia tetap melangkah gagah dan penuh percaya diri. Dengan tulus ia mencium punggung tangan sang ibu dan berpamitan.

Jakarta.

Sudah banyak yang berubah di kafetaria ini. Letak kursinya, warna pintunya, juga payung-payung besar yang meneduhkan kini semakin indah. Semoga sama indahnya dengan sambutan  dari gadisnya, yang bertahun-tahun tidak ia temui.
"Candra!!" Seorang wanita berteriak. Belum juga Candra membalas sapanya, Numara langsung memeluknya begitu hangat.
"aku rindu" ujar Numara dibersamai airmata.
"Numara, aku pun sama rindunya. Kau semakin cantik, nyonya arsitek" pujian itu membuat Numara merah merona.
"Ini untukmu" Candra menunjukan sesuatu di tangannya. Sebuah cincin perak sederhana yang prosesnya begitu istimewa ia berikan kepada yang ia cintai.
"Jadilah istriku, Numara"
Numara terdiam. Ia tidak berkata-kata apa. Ia bingung harus memulai dari mana. Hanya terdengar semilir angin yang membawa bunga-bunga kecil terbang mengikutinya. Cemara-cemara di ujung sana melambai-lambai tidak sabar ingin mendengar ucapan Numara.
"Candra, maafkan aku, aku sudah tunangan dengan laki-laki pilihan ayahku. Aku tidak cinta, tapi aku tidak mungkin membantah orang tuaku, ini adalah hal utama yang ingin kusampaikan.”

In Another Place            

Candra akhirnya harus rela, karena hasil dari perjuangan adalah hal diluar kendali manusia. Kanzia menggenggam Candra, "Sudahlah jangan menangis terus, sekuat apapun memaksa. Jika bukan untukmu. Tuhan punya seribu cara agar kalian tidak bersama".

Wanita itu paham betul rasanya, bagaimana melepas seseorang yang dicinta. Ia pernah merasakan duka yang begitu merejam, merupa gigil paling kejam.  Kanzia adalah gadis yang bertahun-tahun lalu, dengan rela melepas Candra demi sahabatnya -- Numara. Anak-anak Numara tidak akan pernah disusui oleh sajak-sajak Candra. Karena mereka adalah calon darah daging dari seorang Dokter Kardiologi.

PARALYZEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang