Hai, aku mau nanya deh, setelah berjalan sekian lama di dalam kubangan pandemi ini. Kalian suka ngerasa bosen dan mengkhawatirkan yang ga seharusnya dipikirin gak sih? Kalo aku, iya. Terlebih aku ini pengidap Boderline Personality Disorder. Nah, aku menulis cerita-cerita pendek ini untuk mengelabui rasa-rasa yang kurang nyaman itu. Happy reading! maaf kalau membosankan.
___________________________________________________Bertahun-tahun yang lalu tepatnya sebelum tahun 1968 warna layar televisi di Indonesia masih terbatas pada gambar hitam dan putih. Mungkin masyarakat strata lapisan teratas sudah bisa menikmati bagaimana rasanya memiliki televisi yang sudah tergradasi dengan berbagai macam warna. Berbeda dengan keluargaku yang pada saat itu, ketika di pekarangan rumah eyang masih dipenuhi banjar pepohonan lamtoro atau kebanyakan orang mengawamkannya dengan nama petai cina. Ibuku bercerita kalau dia merasa sangat bosan dengan layar televisi yang hanya menyediakan satu saluran dengan gambar berwarna hitam dan putih. Sampai-sampai bocah kecil yang sekarang aku panggil dengan sebutan "Ibu" itu seringkali berkhayal dan memikirkan ‘Bagaimana warna, kondisi, dan situasi yang ada di belahan bumi lainnya?’
Ibu bercerita mengenai rasa bosannya ketika imaji yang ia miliki harus terkunci karena pesawat televisi yang hanya menyediakan gambar hitam dan putih tersebut. Terlarut dalam asyiknya lantunan cerita Ibu, tak terasa jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Lumayan pikirku, membabat habis rasa bosan akibat pandemi dengan diceritakan hal tentang kebosanan juga. Dalam rutinitas normal, biasanya jam sembilan malam kami sudah terlelap agar siap bangun pagi dan kembali menjalani aktivitas masing-masing hingga kembali lagi di rumah bakda magrib.
“Sudah jam 10” Adikku mengingatkan.
“Ya sudah, besok kan, libur” bantahku. “Lagi asik juga denger cerita Ibu, abis gak tahu mau ngapain. Bosen” aku menggerutu.Detik itu disamar-samar suara gerimis, handphone-ku berdering. Kekasihku. Nun jauh di sana.
“Sedang apa?”
“Ngobrol sama Ibu. Bosen juga ya, gak bisa kemana-mana”
“Iya. Kita patuhi saja arahan yang ada. Untuk kebaikan bersama, kan?”
“dan tidurnya jangan kemalaman!” Kata Madra, pacarku. Aku mengiyakan.
Setelah bertukar kabar sebentar, aku segera membersihkan badan untuk bersiap istirahat. Meski besok, besoknya lagi, besoknya lagi, dan besoknya lagi aku pun tidak kemana-mana. Sudah empat bulan aku tidak berani keluar rumah. Demi Kesehatan. Apalagi aku termasuk jenis manusia yang gampang sekali sakit, meskipun hanya mencicip ice cream sedikit.Kutulis cerita ini di sebuah kota di mana banyak aksi premanisme marak berekeliaran. Pacarku, Madra, tinggal di sebuah kota yang jaraknya kurang lebih 20 km dari kediamanku. Tidak terlalu jauh memang. Tetapi terhitung sejak 10 April 2020, Pemegang Otoritas tertinggi yang ada di kota ini memutuskan untuk mengambil kebijakan ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’ atau pendeknya PSBB. Keputusan tersebut ditujukan demi mencegah angka penularan virus terkutuk yang tak kunjung pergi dari muka bumi ini.
Semenjak itu hari-hariku serupa dengan gambar layar televisi pada tahun 60-an – hitam dan putih, penuh dengan kebosanan. Dalam kisahku dengan Madra, terkadang aku menjadi yang paling sering menunggu, seperti orang bodoh yang tak ingin melakukan apa-apa selain menunggu handphone-ku berdering. Menunggu sekadar kabar darinya atau menunggu ia datang menemuiku, meski ini sangat mustahil. Cukup pelik menjalin cinta jarak jauh di dalam kubangan pandemi ini. Dan bukan hal mudah juga untuk melapangkan kesabaran ketika semesta seolah memang tak mau mempersilahkan waktu dan tempat untuk kita.
“Sal, kemarin aku panggil kok gak denger?” Kata Gendis, temanku, lewat direct messages Instagram.
“Hah? Kapan, Dis? Di mana?” aku merasa bingung karena aku sama sekali tidak merasa pernah keluar rumah selama pandemi ini berlangsung.
“Kemarin kamu sama Madra, kan? Di Gramedia Mal Senayan,”
Aku menarik napas. Jantungku membeku. Aku seketika merasa prihatin dengan diriku sendiri. Jika boleh membenci satu hal saja, mungkin aku akan membenci firasatku sendiri. Benar kata orang, firasat wanita itu hanya mengandung 0,002 persen kesalahan. Aku sudah bisa menebaknya ketika Madra mengirim foto martabak keju lewat pesan Whatsapp dengan keterangan “kesukaan kamu nih, mau ndak?”. Padahal selama ini dia yang paling tahu dan merasa paling khawatir sebab aku ini alergi susu dan anak-anaknya, termasuk keju.Dalam hidup yang singkat ini, aku memutuskan untuk tidak ingin berlama-lama larut dalam lautan lara dan kecewa. Aku hanya tersenyum kecil sembari berkata di dalam hati, “mungkin jarak terkadang umpama simalakama, di mana terkadang seseorang dihadapkan pada dua situasi yang sulit untuk dipilih”. Kalau aku sendiri jelas lebih memilih jalur setia di tengah peliknya jarak, meski seringkali rasa sepi mungkin seperti ingin meninabobokan kita secara paksa di dalam ruang kamar hotel prodeo, tetapi banyak yang belum tahu bahwa ternyata buah simalakama bermanfaat banyak bagi kesehatan apabila diolah dengan benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARALYZED
General FictionSekumpulan cerita pendek yang ditulis saat pandemi berlangsung. Memperbincangkan banyak hal. Kalau sudi, mampirlah kemari. Setiap scene dari satu cerita pendek, selalu diselipkan kisah nyata penulis.