1

4 0 0
                                    

"Udah, ih. Ma..."

Decakkan lidah terdengar dari mulut Handayu Saputri pada putri sulungnya yang terlihat masih mendongakkan kepala sambil duduk di atas sofa itu. Alfadia Galilea.

"Mama udah pernah bilang kalo jerawat jangan dimainin, kan, Le?"

"Ini jadinya luka. Nanti berbekas. Yang lebih parah itu, kamu mau kulit wajah kamu ada bopeng kecil-kecilnya?" Lea menggelengkan pelan kepalanya sebagai jawaban.

"Nah, itu. Kamu itu cewe. Rawat diri kok males banget. Tinggal oles gini apa susahnya, sih?" Balas Dayu sambil mempraktikkan mengoles herbal-oinment khusus pada bagian wajah putrinya yang berdarah dan sudah kering karena kebiasaan putri sulungnya itu untuk menggaruknya.

"Biarin ma, biar aja. Percuma mama ngomelin kakak sampe berbusa. Keajaiban dunia kalo didengerin. " Timpal Betalia Sharmila. Adik perempuan Lea yang mengambil tangan kanan Dayu untuk di salimi dan kemudian berlalu pergi.

"Takut kesaing jauh, kan. Lo!" Balas Lea dengan wajah jumawa pada adiknya yang kemudian mendengus.

"Mimpi!"

"Le... bahasanya sama adek dijaga. Gamma ngikutin kamu panggil Mila lo, loh kemaren." Lea meringis saat mamanya menyebut nama adik bungsunya yang masih berumur empat tahun itu. Perempuan tujuh belas tahun itu mengangguk pelan dan ikut menyalimi ibunya dan berlalu meninggalkan perempuan yang telah melahirkannya itu yang terlihat menggelengkan kepala beliau. Gadis itu melangkahkan kakinya melewati area perumahan rumahnya dengan santai karena hari masih pagi. Lea sudah memperkirakan bahwa ia tidak  akan terlambat hari ini tanpa harus terburu-buru berangkat ke sekolahnya.

Setelah menaiki bus, Lea harus memasang wajah cemberut karena angkutan umum yang ia tumpangi itu sangat penuh kali ini. Ia mulai menyesal tidak memakai sepeda motor saat berangkat sekolah tadi.

Dengan susah payah gadis berambut ikal dan berwarna coklat hampir piraang itu memasang earphone pada telinganya. Ia mulai mendengarkan lagu begenre indie yang diputar pada playlist ponselnya dan mengedarkan pandangannya demi melihat orang-orang di sekitarnya yang kebanyakan juga merasa sumpek di dalam bus itu.

Ia mengernyit saat menghirup asap rokok yang dihembuskan oleh kenet bus yang sedang berdiri di pintu.

Jujur saja. Ia tidak suka pada rokok. Bukan hanya karena bahaya di baliknya, melainkan juga karena dadanya terasa berat saat sedang bernafas saat menghirup asapnya.

Lea menghirup udara dengan lega saat turun dari bus itu.

Brumm..

Galilea tersentak karena deruman mobil di belakangnya. Ia baru sadar bahwa posisinya hampir di tengah-tengah jalan. Menyingkir dengan perlahan ke tepi. Ia harus merelakan telinganya mendengar umpatan dari pengemudi yang baru saja membuka kaca sampingnya.

Niat banget mau ngatain. Batin Lea jengkel.

Dia harus berjalan di tepi saat memasuki gerbang sekolah dengan papan bertuliskan 'SMA SATRIA JUANDA' - salah satu SMA elit swasta  yang menjadi tempatnya menuntut ilmu itu - karena kebanyakan murid di sana menggunakan kendaraan pribadi entah itu motor maupun mobil dan sedang bergantian memasuki gerbang sekolahnya. Sangat jarang murid di sana yang memakai transportasi umum. Kalau pun ada, mereka lebih cenderung memakai angkutan daring seperti halnya ojek online maupun go-car. Sisanya lebih memilih di antar jemput dengan kendaraan pribadi milik keluarga.

  Lea harus kembali tersentak saat sebuah tepukan cukup keras mengenai bahunya. Ia menoleh ke belakang dan menemukan teman sebangkunya. Caitlin Hartmann.

Ah, satu lagi. Kebanyakan murid di sini memiliki garis wajah barat  yang kental atau pun blasteran dan beberapa berwajah oriental serta yang lain berwajah pribumi seperti dirinya. Salah satu hal yang sempat membuat Lea merasa minder bersekolah di sini saat awal masuk dulu.

"Bikin kaget aja, Lin" gerutunya pelan. Caitlin hanya membalas dengan cengiran,

"Sorry. Siapa suruh dipanggil nggak nyaut dari tadi." Lea menunjukkan earphone di telinganya dan lalu melepaskannya.

"Pantesan."

  Lagi-lagi Lea tersentak dan bahkan kali ini terhuyung pelan ke arah depan karena senggolan di bahu kirinya.

"Oooups, sorry... nggak sengaja." Ucapan disertai dengan pandangan mencemooh itu nembuat Lea memutar bola matanya jengah. Ia harus menahan bahu Caitlin agar tidak meladeni gadis yang baru saja sengaja menabraknya dengan gerombolannya yang berlalu begitu saja.

"Lo kenal di mana, sih, tu cabe, Le!  Perasaan annoying banget jadi orang."

"Santuy, Lin. Gue nggak papa,"

"Nggak papa - nggak papa. Hampir setiap ketemu lo dia bikin ulah, tau! Lo kenapa diem aja lagi?! Bikin jengkel aja. Kali-kali lawan napa."

"Emang arena tempur apa dilawan segala." Caitlin mendengus saat mendengar jawaban sahabatnya itu. Ia berjalan cepat saat melihat seorang gadis berambut sebahu di hadapannya.

"Woy! Ra, Tungguin!" Teriak Caitlin pada gadis itu.

"Sensi amat bocah." Decaknya malas saat tau temannya kesal padanya.

Ia segera menyusul ke duanya memasuki kelas mereka di kelas sebelas IA dua.

Kelas sudah cukup ramai karena sebentar lagi, bel masuk sekolah akan berbunyi. Terdengar siulan dan godaan dari beberapa siswa, saat melihat ke dua sahabat Lea yang dianugerahi dengan wajah attractive dan disebut-sebut sebagai salah satu dari most-wanted girl di  sekolah mereka.

"Masih marah?" Tanya Lea pada Caitlin yang masih diam dan duduk satu meja dengannya, yang dijawab ketus cewek itu,

"Pikir, ndiri.."

"Masih marah berarti," putus Lea

"Kok gitu, sih?"

"Apa?"

"Bujuk, kek. Apa, kek.."

"Males."

Dan Liora harus tersedak untuk menahan tawanya mendengar itu. Caitlin hendak mendebat saat seorang guru memasuki kelasnya dan memaksanya untuk mengurungkan niatannya itu.

***

Akhirnya aku ngelanjutin, ye?

Gimana chapter ini menurut kalian?

Kamis, 3 September 2020

Vote?

Comment?

Recommend?

Thank you❤❤

GalileaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang