"Ssst.. Ra. Hey.." panggil pemuda bernama Bimo pada Liora.
"Sssst... heh! Liora."
Dengan malas gadis yang dipanggil Liora itu menoleh ke samping kanannya itu."Apa?!" Balas Liora Wong ketus.
"Yaelah... jutek amat, bu." Liora mendengus dan hendak kembali memperhatikan guru yang sedang menerangkan pelajaran biologi di depan sebelum dicegah lagi oleh Bimo Virgiawan.
"E-eh, Ra, jangan marah dulu. Pinjam bolpoin dong. Punya gue habis, nih."
Dengusan terdengar di samping Bimo,
"Jatuh miskin, lo. Bolpoin orang diakuin." Sindir Rajata Khan pada teman satu mejanya itu."Biasa aja kali, Ja. Udah abis juga." Sebuah toyoran mendarat di kening Bimo dari Rajata atau biasa dipanggil Jata itu.
"Masalahnya tuh, lo udah ke sekian kalinya ngabisin bolpoin gue,"
"Gue ganti deh."
"Lo udah bilang kek gitu dari kelas sepuluh." Gerutu Jata saat mengingat temannya selalu meminjam bolpoinnya dari tahun pertama mereka bersekolah di sini - yang kebetulan sekelas juga - dan tidak pernah mengembalikannya sama sekali. Dan saat ia memintanya, Bimo akan menjawab hal yang sama dan sama sekali tidak pernah melakukan apa yang cowok itu ucapkan.
"Eh, Ra.... Oke," Bimo menyerah memanggil Liora. Pandangannya lalu mengarah pada Caitlin.
"Eh, beb. Pinjem bolpoin dong." Caitlin merasa kesal karena Bimo memanggilnya 'beb' dan lebih kesal lagi karena guru biologi yang sedang mengajar menegurnya.
Ia melempar bolpoin di tangannya asal yang mengenai kening Bimo, membuat pemuda itu memekik tertahan sementara Jata terkekeh pelan.
"Nasib cowok ganteng ya Alloh," gumam Bimo narsis sambil mengelus pelan keningnya. Tak ayal pemuda itu tetap memakai bolpoin yang dilempar kan itu untuk menulis dan kelas kembali tenang sampai bunyi bel istirahat yang terdengar dari speaker yang berada di setiap kelas.
"Thanks, beb." Ucap Bimo sambil mengangsurkan bolpoin gel ber-chasing warna biru di genggamannya saat setelah guru meninggalkan kelas dimana jam istirahat baru berhenti berdering.
Caitlin bersedekap di depan pemuda itu, "don't beb, me."
"Lagian nggak usah sok-sok an ngembaliin kalo mau dipinjem lagi." Lanjut gadis itu yang membuat Bimo cengengesan,
"You know me so well, beb." Ucap pemuda berambut cepak itu dengan tangan yang hampir menjawil hidung Caitlin sebelum sebuah tangan kekar lainnya mencegah.
"Eits, tangannya tolong dikondisikan, ya. Pacar gue, nih." Ucap Darren Jhonson-pemilik tangan tadi.
"Weh jangan ngaku-ngaku kutil badak." Bantah Bimo tidak terima Darren mengaku-aku,
"Sembarang! Upil unta!" Balas Darren juga tidak terima karena dikatai.
Lea hanya tersenyum malas melihat pertengkaran ke duanya. Pemandangan ini adalah hal yang biasa terjadi di kelas mereka hampir satu semester ini. Melihat fisik Caitlin, tidak heran banyak yang memperebutkan gadis itu.
"Berisik, lo pada. Ikut ke kantin nggak Lin?" Tanya Liora di samping Lea yang mulai jengah dengan situasi di hadapannya.
"Eh? Iya, iya."
"Lin gue ikut," ucap Darren yang menyadari Caitlin sudah pergi dengan Lea dan Liora namun dicegah oleh Bimo.
"Heh! Jangan ngikutin bebeb gue ya!"
"Kurang kerjaan lo pada." Jata meninggalkan ke dua temannya yang masih berdebat di kelas hendak menuju ke kantin sekolah.
Sepanjang koridor Lea harus merasa risih karena kebanyakan siswa maupun siswi yang mereka lewati memandang ke arah mereka lebih dari sekali -lebih tepatnya dua gadis di sebelahnya- karena ke dua temannya merupakan salah satu murid yang memiliki tampang di atas rata-rata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galilea
Teen Fiction[Budayakan Follow Dulu Sebelum Baca] Kesalahan terbesar Lea adalah mencoba untuk menyapa bagian dari masa lalu. Hanya karena sebuah kesalahpahaman. Harapan untuk sebuah senyuman yang akan mengembang berubah menjadi kesedihan tanpa persiapan. . ...