🍭
V I N D A
"Mohon maaf Mbak, akses Wi-fi saat ini sedang ada gangguan. Banyak juga pelanggan yang protes tadi."
Pramusaji wanita ini mengatakannya agak sedikit menyesal saat aku menanyakan password wi-fi.
"Gitu ya, yauda deh gak apa apa." Aku memasang wajah mengerti.
Dia membungkukkan sedikit tubuhnya. "Maaf atas ketidaknyamanannya. Saya permisi."
Yah, gak apa apa juga sih. Gak butuh banget soalnya. Sebenarnya juga aku gak berniat datang ke kafe ini. Cuma karena aku tidak juga mengantuk padahal sudah pukul setengah sebelas malam, jadilah aku kesini.
Kopi yang kupesan masih hangat. Aku baru meneguknya sekali.
Kafe ini sepi. Jelas sih, lagian sudah mau larut. Hanya ada satu orang pria di sudut kafe dengan mata terpaku ke laptop dihadapannya. Jarinya mengetik cepat. Mungkin dikejar deadline.
Ponselku berdering, nama Citra Kusuma terpampang.
"Dimana?"
"Kafe deket rumah. Kenapa?"
"Gak bisa tidur kan? Sama tau. Apa gara gara bakso yang kita makan itu ya, ada obatnya buat gak bisa tidur."
Aku terkekeh. "Apa deh."
"Udah ya mau tidur. Babay."
Panggilan terputus begitu saja. Dasar Citra. Sifatnya sedikit mirip Dara. Suka menelpon malam malam hanya untuk bertanya dimana dan membicarakan hal tidak jelas. Tapi, baik Dara maupun Citra keduanya benar benar baik. Aku beruntung mengenal mereka.
Lagi lagi sepi. Sampai aku bisa mendengar suara ketikan pria itu. Aku tak tau harus apa. Kalau ada wi-fi, aku berniat membuka media sosial, melihat kabar terbaru teman teman SMAku. Begitu pikirku tadi. Tapi ternyata sedang ada gangguan.
Omong omong soal wi-fi...
***
A L I K A
Koperasi saat ini penuh dengan siswa siswi yang ingin membeli wi-fi. Sama denganku, aku juga disini, tidak untuk membeli wi-fi tapi menunggu Niki, dia salah satu siswi yang antusias terhadap wi-fi berbayar ini.
"Tadaaa!"
Niki keluar dari koperasi, menunjukkan kartu seukuran KTP berwarna merah yang berisi password wi-fi.
"Akhirnya sekolah kita mau bikin tower wi-fi baru. Lemot banget yang di aula. Masa mau download lagu aja nunggu setengah jam." Katanya mengomel.
"Kan yang make banyak."
"Iya sih. Sebelum balik kelas, beli minum dulu yuk?"
***
"Hei,"
Dia datang. Duduk di kursi Dara yang ditinggal pemiliknya ke kantin.
"Gue nemu soundtrack film semalem."
"Bener?" Aku menyahut antusias. Aku langsung menyukai lagu itu walau hanya mendengar sekali saja. Apa dia menyukainya juga?
Aku melihatnya membuka membuka aplikasi musik, memutar lagu di urutan paling atas.
Tiga menit duapuluh detik terlewati, lagu selesai kudengarkan.
"Lo suka lagunya juga?" Tanyaku penasaran.
"Lumayan. Tapi gue inget semalem lo suka banget lagu ini kan?"
"Em-hm. Terus?"
"Yaudah gue download." Katanya santai tanpa melihatku.
Dia mendownload lagu itu untukku? Kenapa dia mau repot, aku bisa mencarinya sendiri.
"Nih pake." Dia menggeser ponselnya ke hadapanku. "Kirim aja kalo mau lagunya."
"Mau dong." Aku mengambil ponselku yang ternyata habis baterai. Tadi pagi baterainya memang tidak penuh saat kubawa sekolah.
"Dengerin pake ponsel gue aja."
"Nanti deh ngirimnya. Kayaknya Dara bawa charger." Aku menggeser ponselnya. Yang malah di geser kembali padaku.
Dia kemudian berdiri. "Pake dulu aja. Gue abis beli wi-fi tadi. Udah ya gue keluar."
Dia keluar kelas. Membiarkan ponselnya di mejaku. Aku meraihnya. Aku sedang malas nonton saat ini. Jadi aku menaruh ponselnya di laci mejaku sampai bel pulang sekolah berbunyi.
***
Dia marah.
Saat tau aku tak memakai ponselnya sedikit pun. Jadi aku harus apa? Aku juga tidak bisa memakainya sesuka hati walau memang dia yang menyuruhnya.
"Kenapa gak lo pake sih? Kan udah gue bilang pake aja. Kalo gini ya percuma gue beli."
"Itukan wi-fi lo yang beli. Kenapa gak lo aja yang pake?" Dara sampai ikutan bicara.
Dia berdecak. Pergi begitu saja.
"Napa dah, dari SMP anehnya gak ilang ilang." Dara menggerutu. "Ganggu waktu pulang aja."
Aku jadi merasa bersalah. Lagi lagi perasaan itu hinggap. Apa dia membeli wi-fi itu untukku?
Aku tidak ingin memikirkan ini sebenarnya. Tapi perasaan itu terus menganggu sampai aku tiba di rumah.***
V I N D A
Sampai sekarang.
Tujuh tahun yang lalu aku memang sempat geer. Yah habis bagaimana, mulai dari dia mendownloadkan lagu, membeli wi-fi dan menyuruhku memakai ponselnya dan dia marah karna aku tidak memakainya.
Sekarang siapa yang aneh?
Aku, yang baru sekarang memikirkan kejadian tujuh tahun lalu atau dia, yang sikapnya membuatku bingung?
Hah, tujuh tahun.
Waktu yang sangat--ah tidak, lumayan lama.
Pramusaji wanita tadi datang, memberi tahu bahwa kafe akan tutup sebentar lagi. Aku kira kafe ini buka 24 jam, ternyata tidak. Aku menghabiskan sisa kopiku kemudian menaruh bayaran dan uang tip di meja sebelum keluar kafe.
***