New York, beberapa bulan sebelumnya.
Angka di jam tangan Isabella baru menunjukkan pukul sebelas, tetapi gadis dengan sikap esnya itu sudah berjalan pulang menuju rumahnya. Dahinya memerah, sedikit memar. Namun tampaknya Isabella sama sekali tidak peduli. Jika yang lainnya mungkin meringis menahan perih atau bahkan menangis terisak, Isabella justru hanya berdiam di sebuah bangku taman berbahan kayu dan menyesap sebatang rokok miliknya.
Suasana taman di dekat sekolahnya siang itu benar-benar sepi. Tidak akan ada yang memergokinya merokok di sana. Lagipula, Isabella hanya perlu menghabiskan sisa-sisa olahan tembakau tersebut dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi padanya. Merokok adalah caranya untuk melepaskan penat, mengurangi rasa sakit dan melupakan hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupnya. Kegiatan yang tidak lebih dari beberapa menit itu dapat menjadi obat, sekaligus vitamin bagi tubuhnya yang sudah rusak.
Sampai akhirnya, Isabella selesai menghabiskan rokok. Ia menjatuhkan puntung rokok yang tinggal sedikit ke aspal dan menginjaknya dengan keras, menggilasnya tanpa ampun sampai tak bersisa. Gadis itu kemudian mendongak, menengadahkan kepalanya ke arah langit yang abu-abu dan menghela napas jenuh. Embusan napas yang terdengar berat dan dalam. Matanya menyorot kumpulan awan-awan dengan sedih, lalu sejurus kemudian berubah menjadi pandangan yang kesal disertai seringaian miring di sudut bibirnya yang merah muda.
"Isabella!" panggil seseorang dari arah belakang.
Isabella memutar kedua bola matanya malas setelah menyadari bahwa suara nyaring dan tinggi itu adalah milik seseorang yang tak asing di hidupnya. Wajahnya yang tirus menoleh ke sumber suara dengan eskpresi malas. Menunjukkan bentuk rahangnya yang tinggi dan kurus pada sang lawan bicara yang kini sudah berdiri di sebelahnya dengan tatapan kesal. "Apa kau sudah hilang akal?!"
Sebenarnya Isabella merasa kesal dengan sikap Alisa yang tergesa-gesa dan tak sabaran. Ia bahkan langsung meneriaki Isabella tanpa memintanya menjelaskan insiden yang baru saja menimpanya. Namun gadis berkulit putih itu akhirnya memilih diam, menatap manik hijau Alisa datar;tanpa minat.
"Kau seharusnya tidak membongkar rahasia Jane di depan umum seperti itu, Isa!" Alisa memekik lagi. "Apa yang orang lain pikirkan tentangmu? Bukankah kau dan Jane berteman?"
Isabella mendesah panjang, lalu menyilang kedua tangannya di dada. Iris biru itu mendelik tak suka pada Alisa sebelum akhirnya berpaling ke depan, menatap jauh ke arah bunga-bunga mawar merah yang tumbuh dengan baik di kawasan hijau tersebut. "Aku tidak berteman dengan Jane, tidak pernah," ucapnya berterus terang.
Membuat dahi Alisa berkerut dalam seketika. Ia pun mengamati setiap titik bagian wajah Isabella seraya duduk di sebelahnya. Ekspresi penasaran tak terelakkan lagi dan raut muka Alisa yang dipenuhi rasa ingin tahu tercetak di sana. "Lalu, kau dan Jane itu apa selama ini? Apa dia pacarmu atau semacamnya?" tanya Alisa sarkas.
Gadis itu menoleh cepat, mengernyitkan kening dan melihat Alisa tak habis pikir. "Kau gila?"
Alisa mengedikkan kedua bahunya. "Aku hanya bertanya," dan menjawabnya dengan santai. "Lalu, apa yang kau lakukan dengan Jane selama ini? Kalian pergi ke perpustakaan bersama, makan siang bersama dan bahkan kau melindunginya dari anak laki-laki di kelas. Tapi hari ini, lihat sikapmu. Kau seperti menusuknya dari belakang."
"Aku tidak menusuknya lebih dahulu," ujar Isabella, masih dengan suara rendah dan dalam. "Dia yang mencoba menancapkan pisau lebih dahulu. Aku hanya mendekat, lalu membalik arah pisaunya. Itu tidak bisa disebut menusuknya, aku hanya membela diri."
"Apa ini semacam trik 'kau memeluknya agar bisa menancapkan pisau lebih dalam'. Begitu?"
"Tujuan yang sama dengan pola yang sedikit berbeda." Seulas senyum puas tampak muncul di sudut bibir Alisa siang itu. "Aku tidak bisa melihatnya terus menerus merisakmu. Bahkan meski kau akan pindah sekolah minggu depan, dia masih mengintimidasimu, Alisa. Sudah kewajibanku sebagai sahabat untuk melindungimu, bukan?"
Rona di pipi Alisa terlihat memerah. Senyum yang tersungging di bibirnya benar-benar merekah. Ia kemudian sedikit beranjak dan memeluk Isabella dalam satu gerakan cepat. "Kau memang yang terbaik, Isabella," katanya, lalu melepas pelukan tersebut. "Aku akan mengingat trikmu yang satu ini untuk berjaga-jaga di asrama baruku nanti."
"Pastikan tidak ada yang berani menyentuhmu di sana," kata Isabella, diakhiri senyum tipis di bibirnya yang merah muda. "Kita akan berpisah dan aku tidak bisa melihat apapun. Pastikan kau menulis surat atau jurnal, tulis nama-nama orang yang menganggumu, aku akan segera membuat perhitungan setelah aku menerima surat atau jurnalnya."
Alisa mengangkat kedua tangannya ke udara dan mengacungkan jempol pada Isabella takjub. "Kau memang keren, Isabella!" Kemudian, gadis berambut ikal kecokelatan itu baru menyadari bahwa aksi Isabella di sekolah telah membuat bekas luka yang kentara di dahi gadi itu. Alisa mengerutkan alis dan mengamati dahi Isabella yang tampak membiru. "Dahimu terluka. Apa itu sakit? Kurasa Jane memukulmu dengan keras tadi," tukasnya cemas.
"Dia tidak memukulku, dia membenturkan kepalaku ke tembok," balas Isabella mengoreksi. "Polanya sama, tujuannya yang berbeda."
Membuat Alisa tertawa kecil di bangku tersebut. Ia lalu mengangguk-anggukan kepala dan menggumam pendek, sebelum akhirnya berkata, "Jane pasti bukan hanya ingin melampiaskan amarahnya, tapi juga ingin membunuhmu tadi." Isabella mengangguk setuju. "Kau lihat wajahnya, bukan? Dia pasti malu sekali saat kau bocorkan semua rahasia itu di depan seluruh murid. Kau benar-benar mengesankan, Isabella."
Tiba-tiba, Isabella memegang tangan Alisa dan menggenggamnya erat. "Pastikan kau tidak menjadi Jane saat pindah ke asrama, Alisa," ujarnya serius.
Membuat anak dari investor besar di kota New York itu menatap Isabella heran. Ia menepis tangan sahabatnya dan mendengus remeh. "Apa maksudmu, Isa?"
"Jangan percaya pada siapapun di sana." Suara Isabella yang rendah dan dalam, terkesan menggurui di telinga Alisa. Sehingga gadis itu kembali mendengkus pendek dan menggeleng tak habis pikir. "Aku memperingatkanmu."
"Kalau aku tidak boleh percaya pada siapapun, apa itu artinya aku tidak boleh berteman dengan orang lain?" Isabella menekuk dahinya dalam-dalam. "Apa aku harus berakhir sepertimu?"
"Aku tidak berteman dengan orang lain karena sudah memilikimu."
Alisa tertawa pendek dan beranjak dari kursinya. Ia lantas melipat kedua tangannya di dada dan mengedikkan bahunya acuh. "Kita adalah makhluk sosial, Isabella. Artinya, kita memerlukan orang lain dan diperlukan orang lain untuk bertahan di dunia yang kejam ini."
"Ya, aku memerlukanmu," kata Isabella buru-buru, mempertegas bahwa Alisalah yang ia butuhkan saat ini, bahkan sampai seterusnya. Isabella ingin mengatakan bahwa ia hanya membutuhkan satu orang untuk bertahan dan orang itu adalah Alisa, melalui pesan yang tersirat. "Kau juga begitu, bukan?"
"Tentu aku membutuhkanmu, tapi aku juga membutuhkan orang lain. Kau tidak bisa hidup hanya dengan memiliki satu teman selama kau hidup. Apa kau pikir ini bahkan masuk akal?"
"Tapi aku bisa, Alisa."
"Apa? Bisa apa?"
"Aku bisa hidup dengan hanya berteman denganmu. Bagiku, kau saja sudah cukup. Aku tidak butuh teman lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIGH SCHOOL SECRET : Alisa
Mystery / ThrillerAlisa Harrison, seorang anak dari investor terbesar di Star High School ditemukan tewas di dalam toilet asrama dengan luka sayatan di nadi kirinya. Namun, Alisa kidal dan tak mungkin melakukan sayatan dalam sekali percobaan. Isabella, sahabat Alisa...