Maaf.
Aku sangat ingin mengatakan itu pada Sie. Tetapi suaraku tidak mau keluar setelah kecelakaan yang menimpaku. Dan Sie pun sepertinya menjauhiku karena menghilang tanpa memberitahunya.
Aku ingin memberitahu Sie bahwa selama ini aku tengah dirawat di rumah sakit, bukan bermaksud membuatnya khawatir tentangku. Aku tak sempat meminta izin pada wali kelas karena tidak sadarkan diri selama dua bulan lebih. Orangtuaku tewas di tempat. Waliku tidak kunjung datang. Makanya aku lost contact.
Apakah teman-teman tidak ada yang mencari tahu fakta menghilangnya aku adalah karena terlibat kecelakaan? Apakah tidak ada di antara mereka datang untuk menjengukku?
Setelah bangun dari koma, aku disuguhi fakta bahwa aku harus kehilangan kemampuan berbicara. Belum cukup, aku mendapat kabar pemakaman orangtuaku sudah berlangsung tanpa adanya aku. Lalu aku menerima pesan dari Sie dua minggu yang lalu; kita putus saja.
Tidak ada kabar baik setelah aku bangun. Mending aku koma saja selamanya. Toh, orangtuaku juga sudah meninggal. Lalu aku sudah tidak bisa berbicara. Hahaha.
Seminggu istirahat di rumah sakit, aku akhirnya diperbolehkan pulang. Aku menelepon Pak Colde, sopir pribadi keluargaku yang setia. Namun, beliau tidak menjawab panggilanku. Dua jam menelepon, aku gemas dan pulang sendirian dengan berjalan kaki.
Beruntung aku berada di rumah sakit yang dekat denga kawasan tempat tinggalku. Aku tidak perlu takut tersesat karena lumayan hapal rute jalan daerah sini.
Di sudut kota, berdiri sebuah rumah laksana istana dengan luas halaman seluas studio sepak bola. Ada hutan buatan, air pancur, dan sebagainya menjadi pemenuh halaman. Pagar besi membentang membatasi bak benteng pertahanan.
Inilah rumahku. Aku menganggap diriku beruntung menjadi anak tunggal di keluarga kaya raya. Tapi jangan salah paham. Aku sama sekali tidak suka dengan kekayaan ini. Karena yang kaya itu orangtuaku, bukan aku. Rumah ini bukan dari hasil kerja kerasku melainkan mereka berdua.
Makanya aku bertekad akan menjadi pebisnis di masa depan. Aku akan membuat diriku pantas berada di rumah ini walau Ayah sama Ibu sudah pergi lebih dulu.
Aku tiba di depan gerbang rumahku, gerbang dengan tinggi lima meter mirip pintu markas. Kucoba untuk membukanya tetapi terkunci dari dalam. Apakah smart lock berfungsi selama aku di rumah sakit?
Aku menekan bel. Satu kali, dua kali, sampai lima kali tidak ada jawaban. Benar sih, siapa yang mau masuk ke rumahku? Maling? Ayolah, mereka takkan bisa melompati pagar rumahku.
Tak habis akal, aku pun lewat jalur rahasia yang tersambung dengan basemenku. Di sana ada perpustakan pribadi untukku yang dibuatkan Ayah.
Membutuhkan waktu setengah jam agar aku bisa sampai di dalam rumah. Bajuku kotor oleh debu. Apakah pembantu tidak ada yang mau membersihkan tempat ini? Jangankan membersihkan, mereka bahkan tidak mengetahui aku koma!
Mereka harus dipecat, sungutku menepuk-nepuk ujung kemeja yang kumuh. Rambutku penuh oleh sarang laba-laba yang menggantung di langit-langit.
Diri ini ingin berteriak histeris, tetapi aku sadar aku sudah tidak bisa berbicara. Mengingat fakta ini membuatku sedih.
Tapi aku harus tegar! Aku ini laki-laki, tidak boleh cengeng. Apa salahnya menjadi tunawicara? Kan aku bisa berkomunikasi dengan tangan atau buku. Yang penting aku masih hidup! Masih berkaki dan bertangan! Aku beruntung bukan mereka yang hilang.
Ayah sama Ibu pasti menyemangatiku di atas sana. Aku harus semangat menjalani hidup.
Aku tak ingat apa yang terjadi. Ingatanku samar. Yang jelas aku baru saja keluar dari bangunan sekolah sambil melambaikan tangan kepada Ayah dan Ibu yang menunggu di depan gerbang. Aku juara satu di kelas, memegang piala.
Lalu setelahnya, aku tidak ingat. Pandanganku memburam tanpa alasan jelas.
Sayup-sayup, telingaku menangkap suara percakapan dari atas. Aku berhenti melangkah, tertegun. Ada orang di rumahku? Siapa? Apakah itu Tante dan Om? Tapi, kan, beliau tinggal di luar negeri. Mungkinkah waliku?
Tunggu. Jangan-jangan waliku tidak datang menjengukku karena berfoya-foya di rumahku dan berharap aku mati saja?!
Keterlaluan! Aku akan—
Bruak!
Aku tersandung sesuatu dan terjatuh cukup keras. Sial! Sakit sekali! Daguku rasanya ingin lepas saja. Sikuku lecet.
Aku duduk bersimpuh, meniup-niup sikuku yang terluka, beralih menatap seonggok plastik panjang di lantai. Benda apa ini? Ada yang masuk ke basemenku? Tapi hanya sedikit orang yang tahu sandinya! Kepala pelayan dan Ayah. Dan ukh! Baunya menyengat sekali!
Aku menutup hidung, mual mencium bau yang dikeluarkan benda ini lama-lama.
Sepertinya aku harus memeriksanya, Aku beringsut ke arah plastik hitam tersebut. Kubuka secara perlahan dengan tangan kanan sementara tangan kiri menutupi hidung.
Aku terperangah. I-itu ... Kepala Pelayan rumahku? K-kenapa ada di situ? Kenapa organnya terpisah-pisah begitu? A-ada pembunuh?
Sejenak aku merasa bersyukur Tuhan sudah mengambil suaraku, jadi, aku takkan berteriak pada detik mencekam saat ini.
"HAHAHAHA! DI SINI MEMANG ENAK SEKALI! KITA BISA BERSENANG-SENANG SEPUAS HATI!" Terdengar suara tawa bahak dari lantai atas, mengagetkanku. "Oi, kalian para babu, baik-baik ya kalo mau masih hidup panjang. Ntar bernasib sama yang di bawah itu tuh."
Tanganku terkepal. Mataku berkaca-kaca. Bukan karena sedih, melainkan marah. Jadi benar ada pembunuh masuk ke rumahku dan Kepala Pelayan mencoba melawan tetapi terbunuh. Dan aku bodohnya malah menyalahkan beliau.
Kututup kembali plastik tersebut. Semoga engkau tenang di alam sana, Nona Kepala.
"Bagaimana, sayang? Rumah ini amat nyaman, kan? Aku tidak salah memilihkanmu istana, kan? Apakah kau sudah menerimaku jadi pacarku?" Di antara suara barbar tersebut, terdapat suara wanita familiar. Apa itu Tante?
"HAHAHA! TENTU SAJA!" Dan terjadilah adegan apalah itu. Aku tidak ingin menyebutnya karena jauh di atas umur.
"Tapi, apa kau yakin pemilik rumah takkan kembali lagi?"
"Tentu, sayang. Kepala keluarga dan Ibu rumah tangga sudah meninggal. Lalu 'Tuan Muda' sudah koma selama dua bulan. Karena yang kupukul tepat tengkorak belakangnya. Dia takkan pernah bangun lagi. Jangan mempedulikan itu."
"HAHAHAHA! HARTA KELUARGA INI MILIK KITA! KITA MILIARDER SECARA INSTAN!"
Mereka tertawa bersama.
Mata kosongku menatap sebuah kapak di rak. Melangkah pelan ke situ, aku menarik benda tersebut sehingga perkakas lain jatuh ke lantai. Karena ini ruang bawah tanah, mereka tidak akan mendengarnya.
Aku melangkah naik ke atas tanpa ekpresi.
Oh, begitu toh. Begitu. Aku paham sekarang. Jadi dia ya, yang membunuh orangtuaku, Kepala Pelayan, dan membuatku tidak bisa bicara lagi.
Tapi, dia harus waspada sekarang.
BRAK!
Tawa mereka menguap melihat sosokku bergabung dengan wajah kosong.
"Hah? Siapa kuman sialan ini—" Kepalanya putus sebelum kalimatnya selesai. Darah menyembur.
"KYAAAA!"
Maaf, Yah, Bu. Sepertinya aku tidak bisa.
Lima menit membantai mereka, aku berdiri di depan gadis yang meringkuk ketakutan, memohon ampunan padaku. Pakaiannya sungguh tidak layak.
"Ma-maafkan aku, Losi! Sungguh, maafkan aku!"
Sepertinya aku tidak bisa menjadi sukses kayak kalian. Maafkan aku.
Aku melempar secarik kertas ke depannya.
Lo Siento No Lo Siento.
Goodbye, Sie. []
![](https://img.wattpad.com/cover/231404824-288-k268162.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Ajaib [KUMCER]
Short StoryAku mendapatkan sebuah cermin ajaib saat bersih-bersih di gudang. Cermin itu menjawab semua pertanyaanku. Siapa yang paling cantik? Ia menjawab Snow White. Gaun yang paling indah di dunia? Ia menjawab Cinderella. Pasangan mana yang paling menyakitka...