Penyair Tanpa Telinga

797 173 32
                                    

Namaku Tulip. Teman-teman sering memanggilku tuli karena aku tidak bisa mendengar meski sudah memakai alat pendengar.

Tetapi, kekuranganku itu tidak membuatku putus asa melanjutkan sekolah. Tidak seperti mereka yang bermental lemah yang langsung berhenti sekolah begitu diejek kekurangannya.

Memangnya kita manusia bisa menentang ciptaan Tuhan? Tidak, kan? Jadi terima saja. Setidaknya yang diambil-Nya bukan mata. Aku masih bisa kok belajar seperti biasa.

Lagian aku tunarungu. "Tuli" adalah istilah merendahkan untuk menyebut orang yang kehilangan pendengarannya karena bawaan lahir. Di kasusku, aku kehilangan fungsi telingaku karena suatu kejadian.

Kapan ya itu terjadi? Sudah lama sekali seingatku. Saat aku masih duduk di bangku SMP.

Aku punya nenek yang sakit-sakitan. Waktu itu aku sedang sibuk mencoba menulis lagu karena cita-citaku ingin jadi kompuser. Jadi, hampir setiap hari telingaku disumbat headset.

"Tulip, tolong ambilkan Nenek nasi. Nenek lapar."

"Ck," aku berdecak. Aku masih bisa mendengar panggilan beliau karena aku tidak memasang volume yang paling keras.

Dengan hati kesal, aku melangkah menuju dapur. Mengambil nasi, sambal, sayuran dan air putih seperlunya.

Ke mana sih Ibu? Dia belum pulang? Aku benar-benar tidak bisa diganggu saat merancang sebuah lagu! Ini menyebalkan.

"Nih," ketusku menyerahkan nampan ke sebelah meja Nenek. "Jangan panggil Tulip lagi ya, Nek, Tulip mau bikin lagu. Kalau lagu Tulip bagus dan sesuai syarat-syarat, Tulip bisa jadi kompuser termuda yang pernah ada. Kita takkan tinggal di gubuk ini lagi. Mohon perhatiannya ya, Nek."

Nenek membalas dengan senyuman hangat. "Semangat, ya, Tulip. Nenek mendoakanmu."

Aku tersentum mendengarnya, lantas kembali melangkah ke bilik kamar.

Siulan burung dan semilir angin masuk ke kamar, membuat ruanganku semakin sejuk. Nah, begini kek dari tadi. Tenang tidak ada gangguan. Aku, kan, bisa konsentrasi. Merancang sebuah lagu tidaklah mudah kalian tahu.

Jika mudah, tidak mungkin ada banyak kompuser berserakan tanpa agensi. Kecuali dia solo.

Aku sudah menyelesaikan bagian pertama dan mengalami buntu pada awalan bait kedua. Padahal biasanya aku lancar dalam lagu modern dan klasik.

Apa aku memang tidak bisa menulis lagu cinta?

Tidak! Sudah sejauh ini, aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus menyelesaikan lagu ini dan mengirimnya pada Pak Fallen. Aku bisa dapat kesempatan jika laguku dipublikasikan.

Aku sudah bosan tinggal di gubuk kumuh ini. Aku ingin pindah ke rumah yang layak disebut rumah. Yang bisa disebut rumah "sebenarnya".

Baru saja aku melanjutkan pekerjaanku, terdengar seruan Nenek, "Tulip, tolong ambilkan obat Nenek."

Refleks aku mencoret kertas laguku, berteriak frustasi. Aku sudah setengah jalan menyambung laguku, kenapa Nenek menganggu?! Dia sendiri yang bilang takkan memanggilku lagi! Sial.

Aku melangkah penuh amarah ke kamar Nenek, menyingkap tirai. "APA LAGI MAU NENEK?! KUBILANG JANGAN MENGANGGU, KAN?"

Nenek terbatuk. "Tolong ambilkan obat Nenek," suruhnya lemah.

"Di mana?" tanyaku masih dalam setengah kekesalan.

Beliau menunjuk laci meja di sebelah tempat kasur. Itu membuat makin emosi. "Sedekat ini, masih butuh bantuan?! CUMAN DI SEBELAH NENEK TAPI MASIH MEMANGGILKU? APA GUNANYA KAKI NENEK?"

Cermin Ajaib [KUMCER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang