⏳Prolog : I Surrender

102 3 3
                                    

Dikeheningan malam, terdengar isak tangis seorang perempuan. Sedih, sesak, tangisnya memuncak seakan dunianya hancur berkeping-keping seperti hatinya sekarang.

Ia kemudian meraih gagang telepon. Kombinasi nomor telepon terpencet berbarengan dengan bunyi bip-bip khas telepon analog. 5 detik kemudian ia tersambung dengan lawan bicaranya.

"Rinn, kamu kemana aja seharian, chatku nggak dibales, teleponku nggak diangkat? Apa yang terjadi? Omo... kau membuatku cemas eoh", oceh wanita yang menjawab teleponnya, khawatir karena sahabat karibnya seharian tidak bisa dihubungi.

"Maaf, hp ku tertinggal di restoran tad-"

"Jinja? Kalian benar-benar kencan toh.. wahhh congrattss! Jadi bagaimana? Sukses? Kalian harus traktir aku kalau kalian jadian hehehe", ucap Viy bahagia. Namun tidak dengan Arin. Keheningan membalas ucapan Viy

"Kenapa? Arin? Kau masih disana? Ada apa?", tanya Viy cemas. Tangis Arin bertambah kencang. Kesedihan ia luapkan semua kepada Viy. Viy hanya bisa terdiam mendengarkan, turut merasakan kesedihan yang dirasakan Arin.

"Apa yang terjadi?". Viy memberanikan diri lagi untuk bertanya setelah merasa Arin sudah lega dengan tangisnya.

"Ia.. maksudku kami.. hanya makan biasa, layaknya teman biasa, obrolan biasa, tanpa ada.. tanpa ada pengutaraan rasa yang kuharapkan sebelumnya. Hampa. Kalau tau akhirnya akan begini, lebih baik aku tidan pernah berharap sama sekali kepadanya", ucapnya lemah.

"Kalau hanya obrolan biasa kenapa kau begitu sedih?", tanya Viy penasaran.

"Besok ia berencana untuk kencan dengan Nadhya. Dia sangat antusias. Bahkan dia bertanya kepadaku pakaian apa yang harus dikenakan, parfum seperti apa yang disukainya, dan hadiah seperti apa yang harus ia bawa".

"Apa??? Dasar nappeun namja, buaya!!!!", Viy kesal.

"Sebenarnya ini bukan idenya, namun aku yang menyuruhnya", ucap Arin menyesal.

"Apa??? Kau-". Viy seakan tak percaya dengan kata-kata yang barusan ia dengar.

"Ya.. entahh ini keputusan yang salah atau gila. Namun aku sudah tidak tahan lagi. Aku tak mau membuatnya sedih. Sudah lama ia menanti seseorang yang bisa menemaninya. Dan aku yakin Nadhya adalah orang yang tepat", ucapnya sembari berusaha untuk tegar.

"Kau yakin?"

"Yaa"

"Ikhlas? Tanpa penyesalan".

"Hmm.. yea.. maybe hehe".

"Mungkin butuh waktu. mengikhlaskan memang tidak semudah mengucapkan".

"Kau benar. Waktu dapat menyembuhkan luka. Dan aku percaya, kedepannya pasti akan lebih baik lagi". Suara Arin melemah.

"Arin.... semangattt. Kalau ada apa-apa kabarin aku. Aku selalu ada kalo kamu mau cerita", ucap Viy tulus. Viy sangat peduli. Arin bangga memiliki sahabat sebaik Viy.

"Viy, nanti aku harus bagaimana?", ucapnya pelan. Ia menyerah.

"Anggap saja ia hanyalah teman. Hanya teman lama. Tidak lebih. Jadi tidak akan ada kata berharap". Kalimat Viy bagaikan panah yang menancap tepat di hatinya. Vie benar. Ia terlalu berharap kepada lelaki tersebut.
.
.
harapan dapat membuatmu bahagia, namun jika kau terlalu berharap, justru hal itu akan membuatmu sakit
.
.
Setelah lega, Arin berpamitan dan menutup telepon. Ia beranjak ke ranjang, membenamkan kepalanya di bantal. Ia ingat hari-hari dan waktunya ia habiskan dengan Arka Aziezil Alvarendra, sahabat masa kecil Arin. Suka duka ia habiskan bersama. Dekat, bahkan terlalu dekat sampai-sampai orang yang baru pertama kali melihat mereka pun akan mengira kalau mereka berpacaran. Padahal mereka berdua hanyalah sahabat masa kecil. Tidak lebih. Tidak lebih bagi Azil namun hal ini berbeda bagi Arin.

Arin menginginkan Azil, namun ia sadar bahwa ia dan Azil hanyalah sahabat lama. Ia tak mau rasa ini hanya sepihak, karena Azil sendiri tidak menunjukkan rasa kepadanya. Karena itulah Arin membiarkannya pergi, dengan harapan ia dapat melupakan Azil dan azil pun mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya.

Jam di dinding menunjukkan pukul 11.48 PM. Arin masih juga belum bisa tidur. Ia lalu membuka Joox-nya dan memutar lagu Natalie Taylor-Surrender🎶
.
.
No one will win this time
I just want you back
I'm running to your side
Flying my white flag, my white flag

My love where are you?
My love where are you?

Whenever you're ready, whenever you're ready
Whenever you're ready, whenever you're ready
Can we, can we surrender?
Can we, can we surrender?

I surrender...
.
.
Ya.. aku menyerah Zil...
.
.
.

 aku menyerah Zil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Berjanjilah Untuk Kembali☄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang