Chapter 02

9 2 0
                                    

--

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-
-

"Aku ambil kasurmu," putus Lee Paran segera setelah pintu apartemen kututup.

"Mau minum sesuatu? Jus?"

Tapi gadis itu mengabaikan pertanyaanku. Berjalan lurus menuju tempat tidurku yang tidak terlalu besar. Mungkin hampir sama besarnya dengan ranjangnya sendiri di ruang 266.

Lee Paran kembali tidak tahu malu. Dia membuka longsleeve toscanya, melemparkannya sembarangan. Menyisakan sehelai kain tanktop tipis berwarna latte yang bahkan memperlihatkan bra hitam yang dikenakannya.

Kardigannya? Sudah dia lempar sejak di dalam mobil.

Gadis itu duduk di atas tempat tidur. Kemudian melepaskan hotpants jeans nya. Kembali melemparkan celana itu sembarangan dengan kaki kurusnya.

"Hei, Lee Paran! Gak lihat ada cowok di sini? Bisa gak sih gak sembarangan buka baju gitu?" protesku kesal.

Lee Paran malah tertawa. Dengan wajah merahnya, menutupi seluruh tubuh dengan selimut.

"Memangnya kamu 'nafsu' sama cewek kurus kayak aku? Haha."

What the... gadis itu barusan bilang apa?

Aku akui dia memang kurus. Semakin kurus karena terapinya. Mungkin dia sudah kehilangan 10kg dari berat badannya sejak kami pertama bertemu.

Tapi kan, tetap saja tidak mengubah gender dia yang seorang perempuan.

"Kamu cepet deh baikan sama dia. Kalau dia gak hubungin kamu duluan, kamu yang harus inisiatif. Aku tau kamu masih cinta mati sama dia."

Cinta?

Apa kalau aku masih cinta dengan 'dia', aku bisa mencium Lee Paran tadi?

Entahlah. Aku juga bingung dengan perasaanku sendiri.

Aku mengusap wajahku penat.

"Kamu mabuk. Istirahatlah. Besok pagi-pagi aku antar."

Aku merapikan selimut di atas tubuhnya. Menepuknya sekilas, sebelum berjalan menuju dapur. Mencari jus atau apapun yang bisa melegakan tenggorokanku.

"Sleep here," ujar gadis di belakangku mengejutkan. Aku hampir mengeluarkan lagi jus jeruk dari mulutku.

"Apa? Kenapa?"

"Bosan."

Singkat. Dan tidak tahu malu.

Baru saja dia mengklaim tempat tidurku dan sekarang menyuruhku tidur di sana. Di sampingnya.

"Play me a song. Sing me a lulaby," pinta Lee Paran lagi. "I like your voice, Cho Seungyoun."

Aku memicingkan mata. Apa aku tidak salah dengar?

Dia memintaku bernyanyi? Saat ini?

Lee Paran menepuk-nepuk sisinya.

Dan dia mau AKU tidur di sampingnya yang malam ini setengah telanjang?

Apa obat-obatan yang selama ini masuk ke tubuhnya membuat otaknya tidak waras?

"Ayolah Cho Seungyoun. Aku lelah tapi gak bisa tidur."

Menghela napas, aku menurut saja. Entah ranjangku itu cukup untuk kami berdua atau tidak. Terserah. Yang penting gadis itu tutup mulut dan tidur saat ini juga.

Aku mengambil tabletku, mencari lagu yang mungkin sekiranya bisa membuat Lee Paran tertidur. Kemudian duduk bersandar di kepala tempat tidur.

Tepat ketika lagu yang kupilih diputar, lengan Lee Paran melingkar di pinggangku. Memelukku dengan lembut.

Aku bisa merasakan dadanya menyentuh kakiku.

Dia tidak sedang berusaha membangunkan singa tidur kan?

"Seungyoun," panggilnya lembut.

Aku menatap gadis yang berada di bawah jarak pandangku itu, meletakkan tablet di atas nakas di sampingku.

Di bawah lampu kamarku yang temaram, gadis itu terlihat berbinar. Entah karena apa. Atau mungkin hanya mataku yang bermain dengan filter sendiri?

"Kenapa? Pusing? Sakit lagi?" cercaku tidak sabar. Takut saja kalau tiba-tiba kondisinya down.

Lee Paran menggeleng.

"Makasih. Karena waktu itu kamu menghentikan aku di parkiran atas. Dan makasih karena mau temenin aku sampai hari ini."

Tanganku reflek mengusak surai coklatnya yang semakin menipis, efek obat keras.

Kalau diingat-ingat, kenapa saat itu aku menghentikan dia untuk lompat dari atas gedung ya?

Ah, ada kemungkinan dia sedang mabuk dan perilaku dia waktu itu karena alkohol.

Lee Paran mengeratkan pelukannya. Aku merasakan ujung kausku, yang menjadi tempat wajah gadis itu, semakin basah. Dia menangis dalam diam.

Dan aku tidak bisa tidak menyentuh wajah itu. Memaksa gadis itu mendongak. Mencium bibirnya agar Lee Paran tidak lagi menangis.

Aku tidak suka melihat dia menangis seperti itu. Apalagi diam-diam tanpa isakan.

Wajahnya yang basah, entah kenapa semakin membuat ciumanku di bibirnya lebih dalam. Aku melumat bibir merah yang sejak tadi menggoda itu.

Lee Paran? Dia mengimbangi saja apa yang saat ini kulakukan padanya.

Tanganku menyusup ke balik selimut. Dengan cepat menemukan apa yang aku cari.

Kali ini aku sudah berada di atasnya, sambil meremas lembut si kembar yang tidak bisa kulihat. Tapi dengan jelas kurasakan. Berkali-kali seiring dengan lumatan yang kulakukan di bibirnya.

"Seungyoun- hhh..."

Lenguhan itu membuatku kembali tersadar. Tidak seharusnya aku melakukan hal ini.

Ingat, dia Lee Paran, seorang gadis pasien kanker yang baru saja melakukan kemoterapi kemarin dan harus mengikuti terapi radiasi besok pagi.

"Maaf," aku melepaskan genggamanku pada her twins. Melepaskan kontak kami berdua. Membuat jarak.

Gadis itu tertawa. Padahal tidak ada yang lucu.

Bukankah seharusnya dia marah? Dia tahu aku punya seseorang. Dia bahkan memintaku untuk berbaikan dengan orang itu.

"You're great, Seungyoun. Aku bisa tau kalau dia gak akan melepaskanmu semudah itu."

Sekali lagi Lee Paran tertawa.

Aku tidak mempedulikan tawanya. Saat ini aku turun dari tempat tidur. Berjalan menjauh, menuju ke kamar mandi.

"Aku gak tau kau bernafsu juga dengan gadis kurus."

"Diamlah Lee Paran," sungutku kesal. "Sebelum aku kehilangan akal sehat dan menjadikanmu pelampiasan."

Jujur, di bawah sana sudah sangat sesak. Aku harus cepat menyelesaikan urusanku.

Malam itu, setelah aku menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Kami tidur bersama. Benar-benar hanya tidur. Di satu ranjang sempit. Sambil dia masih memelukku.

Karena, tentu saja, Lee Paran memaksa.

💙💙💙

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang