Karena kini apa yang kita lakukan akan selalu salah di mata orang lain. Yang kata tidak suka terhadap diri kita sudah tersemat di hatinya.
Mereka yang bahkan juga ngga mengerti gimana kebenaran yang sesungguhnya. Tapi cukup dengan satu kesalahan mereka merasa tak ada lagi kebaikan yang dapat kita dilakukan.
Sedangkan kita, kita yang mati-matian berjuang untuk segala halnya. Berharap ngga akan ada yang kecewa. Tapi apa daya.
Mungkin memang cacat itu ada di diri kita. Karena kenyataannya ngga akan ada yang sempurna. Kecuali Dia yang menciptakan kita.
Dan luka yang kita terima, atas terlalu pekanya hati kita terhadap mereka. Hingga kata-kata yang tak sepantasnya bertamu pada rasa. Kita biarkan masuk begitu saja.
Kemudian, kita lupa untuk memberi hadiah pada diri. Seolah tak mendengar bahwa perlahan luka itu semakin kuat mengakar. Seolah tak merasa bahwa perlahan luka itu sudah menerobos jauh sampai relung hati yang paling dalam. Dan akhirnya susah dikeluarkan.
Memang seharusnya dari awal kita bangun pondasi yang kuat, dinding yang kokoh dan atap yang memayungi dengan gagah.
Memang seharusnya dari awal kita tahu, apa arti kehidupan sesungguhnya. Agar tak perlu sakit saat dihina, padahal yang kita lakukan adalah sebuah kebenaran.
Memang seharusnya dari awal kita memberi ruang pada diri. Ruang untuk mengapresiasi karna dia sudah melangkah sejauh ini.
Tapi tenang sakit, lelah semuanya itu. Akan berharga nanti. Bahkan mereka bisa saja akan melihat iri.
Karena sekarang kita tahu, apa dan siapa yang boleh bertamu. Karena sekarang kita tahu, Allah tidak pernah meninggalkan untuk membantu.
Karena sekarang kita mengerti, bahwa cukup Allah yang mengganti. Karena sekarang kita percaya, jika kita sudah benar-benar berjuang dijalanNya kebahagiaan yang akan menghampiri kita.
alfath, 27 Juli 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me, About Us
PoetryFrom me, about us Tentang kita, yang----- ••• Tulisan ini adalah sebuah teman dalam sunyi, kekuatan pondasi pertahanan diri, ungkapan rasa dari masa lalu dan rangkaian kata mewakili hati yang tengah terluka. - 𝑨𝒎𝒂𝒍𝒊𝒂 𝑵𝒖𝒓𝒊𝒏 𝑨𝒍 𝑭𝒂𝒕𝒉