Cermin

5 1 0
                                    

"kau!"

"Aku benci dirimu"

"Bodoh!"

"Memalukan!"

"Kenapa melihatku seperti itu?!"

"Kau sungguh aib"

"Kau tak seharusnya ada"

"Hidupmu sungguh malang"

"Hei kau!"

"Aku jijik melihat wajahmu itu"

"Jangan tersenyum bodoh!"

"Dasar sampah!"

"Kau!.. mati pun tak ada yang peduli"

"Heh tak ada yang dapat di banggakan darimu"

"Sungguh sial hidupmu, tak ada harganya"

Ia mulai geram dengan orang yang sedang ia tatap, tangannya mengepal

"Aaaaaaaaakkkhh!!!"

Bbraakkk! Cermin itu pecah, ia  tersenyum menang..

"Setidaknya aku tak melihat wajah itu saat ini haaaa"

***

Pagi hari di lantai dua sebuah kost-kostan ia duduk dengan penuh kelegaan diteguk dengan penuh kenikmatan secankir jus jeruk yang tak biasa ia minum di pagi hari bagai sebuah perayaan senyumannya terus merekah sedari tadi.

Di sudut ruang itu tertumpuk kertas-kertas bukti kerja kerasnya beberapa bulan terakhir untuk menyelesaikan skripsinya, di sisi lain ruangan itu tergantung baju yang akan ia gunakan di hari wisudanya juga tak lupa sepasang baju baru yang ia siapkan untuk ayah ibunya.

Ia bangkit mengambil sebuah album yang penuh kenangan bersama teman-teman kelasnya yang berjuang suka duka bersamanya. Tampak penuh kerinduan dari sorot matanya hingga hampir setengah jam ia membolak-balikkan album tersebut. 

Kemudian ia beranjak ke depan meja riasnya, ia membuka baju yang sedang ia kenakan menyisakan bra dan cd-nya hingga tampaklah tubuh yang ia rawat agar selalu -kembali mulus. Perlahan ia sentuh bagian-bagian tubuhnya dengan tidak melepaskan pandangannya dari cermin. Ia sentuh pipinya, di sana pernah ada bekas tamparan dan cakaran. Ia sentuh keningnya, di sana pernah ada bekas luka lemparan balok dan sebuah tinjuan. Ia sentuh lengannya, di sana pernah ada bekas cambukan dari kayu, ikat pinggang, selang air, tali tambang. Ia sentuh pinggangnya, di sana juga pernah ada bekas luka yang sama seperti di lengannya. Ia sentuh betisnya, di sana pernah ada lebam akibat pukulan kursi plastik. Kemudian ia perhatikan jari-jari lentiknya, di sana pernah ada luka-luka hasil usahanya membuktikan kalau ia anak yang berbakti. Walau ia selalu seperti anak yang tidak diinginkan.

Kemudian ia sentuh perut ratanya, ia tersenyum konyol. Sebagai wanita normal tentu ia ingin merasakan hamil,  membayangkan ia akan membuncit mungkin akan sangat lucu baginya yang bertubuh tak mungil. Bohong jika ia mengatakan mimpinya ingin menjadi psikolog ia kuliah bukan untuk mengejar profesi itu melainkan untuk menghindari ibunya, mimpi aslinya cukup sederhana menjadi istri dan ibu yang baik untuk keluarga kecilnya, Bonus jika ia bisa menikah dengan seorang guru.

Kemudian ia teringat sesuatu, ia mengambil sebuah kaset film biru dari dalam laci meja riasnya yang akan ia tonton setelah menikah siapa tau ia tidak tau melakukan itu, tentu saja itu ide gila temannya yang usil. Entah karena apa ia melempar ke sembarang arah kaset itu seolah tak membutuhkannya lagi.

Dilihatnya juga di samping kaset tadi ada sebuah earphone yang sering menemaninya di kala sang ibu sedang mengomel dan melontarkan sumpah serapahnya. Sungguh ia tak membenci ibunya sekarang saja ia sangat rindu masakan ibunya juga rindu ocehannya.

Kemudian ia menutup laci itu dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Setelah di rasa puas menatap diri ia pun mengambil baju wisudanya dan mengenakannya dengan penuh debar. Ia wisuda juga akhirnya. Entah karena gugup atau apa ia duduk cukup lama seperti menimbang-nimbang suatu pilihan yang ada di otaknya kemudian mengambil handphone-nya  mengetik suatu pesan yang entah untuk siapa

Dek hari ini mbak wisuda
Mbak nunggu ibu dari kemarin tapi tak ada yang datang.
Dek, mungkin setelah ini kalian tidak akan menerima pesan dari mbak lagi mbak mendapat pekerjaan bagus dan akan sibuk
Jadi mbak harap kalian akan baik-baik saja tanpa mbak.
Belajar yang giat, jaga kesehatan, jangan terlalu sering main, mbak mau adek-adek mbak nanti jadi orang hebat jadi orang sukses. Jangan buat mbak kecewa ya buat ibu sama bapak bangga.
Mbak titip bapak sama ibu ya
Jangan buat mereka marah jangan sampai mereka sakit
Mbak sayang kalian

Kemudian send, pesan itu pun terkirim. Dan di menit-menit setelahnya air matanya tak lagi dapat ia tahan. Ia menangis sejadi-jadinya diantara kedua lututnya. Begitu lama begitu deras begitu sesak tak ada kering-keringnya seolah memang telah lama ia tahan.

Dengan perlahan ia raih baju ibunya yang ia siapkan untuk hari ini.
"Aku wisuda buk, aku sarjana... Tanpa uangmu" lirihnya dengan suara serak.

Ya memang, ia kuliah tanpa uang dan restu orang tuanya. Mati-matian ia mengejar beasiswa mati-matian ia bekerja sambilan untuk hidupnya beberapa tahun terakhir hingga di satu titik ia benar-benar kehabisan uang tepat saat revisi skripsinya hampir selesai. Kemudian ia bekerja di cafe, hanya semalam. Hanya semalam dan mendapat bayaran mahal saat ia terbangun di pagi harinya.  Ia yang dijanjikan akan bekerja sebagai juru masak itu pun dengan bodohnya menerima pekerjaan itu. Yang ternyata hanya semalam yang berhasil menghancurkan seluruh hidupnya.

Kini ia terlalu takut...
Takut sang kekasih yang menunggunya selama dua tahun terakhir ini tak menginginkan dirinya lagi.
Takut ibunya yang akan marah dan melukainya lagi.
Takut adik-adiknya juga akan benci padanya.
Takut jika ternya ada benih yang tumbuh di rahimnya dan membuat dirinya menjadi seperti ibunya.
Takut...

Ia menatap cermin tadi sesaat kemudian memejamkan matanya

Ddoorrrr!!!

Ia terjatuh dengan darah yang mengalir dari kepalanya dengan sebuah pistol yang belum terlepas dari genggamannya.

Seperti telah di rencanakan sejak jauh-jauh hari, ia memilih cara cepat ternyata. Semoga tenang disana mbak...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ombak Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang