Jika cerita anak biasanya dimulai dengan pada zaman dahulu, atau pada suatu hari. Maka kisah ini tak perlu melakukan itu. Sebut saja seorang anak laki-laki yang merasa tak berguna, merasa hancur, dan memilih menyakiti dirinya sendiri, hidup di tengah teriknya kota Bandung.
Ah, sepertinya kita memulainya terlalu jauh. Mungkin awal yang bahagia akan sedikit menenangkan kalian. Ia hidup bahagia, bersama neneknya yang telah tua. Dan seorang bibi penjaga, yang akan selalu menuruti apapun keinginannya. Meski itu harus menggunakan gajinya sendiri.
"Zaman dahulu, hiduplah seekor kancil dan-"
"Nek, umur ku sudah empat belas tahun. Sangat menjengkelkan jika nenek masih saja menceritakan dongeng anak sekolah dasar padaku."
Wanita renta itu terkekeh. Tangan keriputnya mengelus pucuk kepala sang cucu. Kemudian dirangkulnya bahu kecil itu dan mengajaknya untuk duduk di lantai dingin bersama.
"Kamu tahu kenapa namamu ada riansyahnya?" tanya sang nenek.
"Nama papa. Malik Riansyah, benar kan?"
Sang nenek mengangguk samar. Wajah sedunya tampak lelah dan susah. Tapi ia sangat ingin membantu cucu cerdasnya ini.
"Lalu, apa Ali tahu mengapa Ali bisa menjawab semua pertanyaan guru di sekolah?"
"Karena Ali pintar," jawab bocah itu sambil membentuk tanda centang dengan jarinya dan meletaknya di bawah dagu.
"Benar. Riansyah itu nama kakek kamu. Dia dulu seorang dokter. Di tempat nenek dan kakek tinggal dulu, seseorang yang menjadi dokter itu sangat jarang. Sehinggal ketika kakekmu menjadi dokter semua orang ikut bahagia. Saat nenek melahirkan papamu, kakekmu berharap papamu akan meneruskan dirinya. Karena itu di berinya nama Malik Riansyah."
"Berarti Ali juga seperti itu? Papa memberi Ali nama Riansyah juga karena ingin meneruskan papa?"
"Betul sekali. Hebatnya Tuhan memberi kalian semua kepintaran itu. Papamu sangat berharap kau menjadi seorang dokter. Karena ia belum berhasil melakukan itu. Ali mau melakukannya kan?" ujar sang nenek.
Ali mengangguk cepat. Kemudian ia ikut merangkul sang nenek, bercerita tentang kejadian apa saja di sekolahnya. Saat itu, Ali masih bahagia. Ia masih anak polos yang belum tahu arti rasa sekit.
.
.
.
.
"Ali ganteng deh. Mau kan jadi pacar nya Ica?"
Jika kini kita mendengar kalimat semacam itu, mungkin kalian akan mengatakan, lebay, ganjen, modus, atau semacamnya. Tapi Ali saat itu hanya siswa kelas dua Sekolah menengah Pertama. Ia belum tahu sepenuhnya apa yang mesti dilakukan ketika berpacaran. Atau bagaimana cara menerima atau menolak seseorang.
"Ica suka sama Ali?" tanya Ali polos.
"Iya. Mau kan?"
Ali tak tahu harus melakukan apa. Jika ia menolak bukankan itu akan menyakiti perasaan Ica. Jadilah di terimanya teman sekelasnya itu. Ia akhirnya memiliki apa yang di sebut orang pacar. Dan Ica adalah pacar pertama Ali.
Mungkin awal-awalnya Ali menerima semua perlakuan Ica. Seperti memeluk lengannya, atau mencium pipinya ketika jam sekolah habis. Tapi lama kelamaan, Ali merasa sedikit risih. Ia bukannya tidak suka dengan perlakuan Ica. Tapi Ali malu, teman-teman sekelas atau pu yang tidak sekelas dengannya mengejeknya habis-habisan. Mereka mengatai Ali tidak gentle karena terus-terusan membiarkan Ica menuntunnya.
Karena itu siang hari sepulang sekolah, Ali mengajak Ica berbicara. Ia mengatakan dengan pelan dan baik-baik, jika ia tak lagi ingin berpacaran dengan Ica. Gadis itu menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healing: Help Me
Teen FictionWARNING 'Self Harm' Prekuel 'BAD' [ALI] Awalnya hidup Ali biasa saja. Ia bermain layak anak seumurannya. Menyukai wanita dan berpacaran. Ah, yang lebih penting keluarganya masih bahagia. Iya, di mata Ali. Tahu-tahunya, satu kata yang dikenalinya seb...